Ada 7 Subjek Inti dari ISO 26000 yang Dapat Menjadi Rujukan RUU CSR

CSR bukan hanya sekadar bagi-bagi bantuan ke masyarakat.

Sumber Foto: https://www.gbnews.ch

Direktur Corporate Social Responsibility Dompet Dhuafa Sosial Enterprise, Herdiansyah mengatakan bahwa Rancangan Undang-Undang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau CSR dapat merujuk dan berpedoman kepada ISO 26000.

Menurut Herdiansyah, selama ini CSR dipahami hanya sekadar donasi kepada masyarakat atau kegiatan sosial saja. Padahal hal tersebut hanyalah salah satu komponen yang baru terpenuhi dari subjek-subjek ISO 26000.“Jadi bukan hanya program bagi-bagi, bikin sekolah, perbaikan jalan, melibatkan orang untuk  bekerja di perusahaan itu. Bukan seperti itu, atau mungkin itu hanya satu elemen saja dari tujuh core subject dalam ISO 26000,” katanya kepada KlikLegal melalui sambungan telepon di Jakarta, Jumat (28/7). (Baca Juga: Ini Tips Melakukan CSR yang Berdampak).

Herdiansyah menjelaskan ada tujuh core subject yang menjadi fokus CSR dalam ISO 26000. Pertama, tata kelola organisasi (organizational governance). Hal ini mengacu pada bagaimana perusaaan membuat dan menerapkan keputusan yang strategis sehingga prinsip tanggung jawab sosial dapat diterapkan. Kedua, hak asasi manusia (human rights). Ia menyebutkan hal ini berkaitan dengan hak dasar yang berhak dimiliki semua orang sebagai manusia, yang antara lain mencakup hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

Ketiga, praktek-praktek ketenagakerjaan (labor practices). Hal ini mengenai segala kebijakan dan praktik yang terkait dengan pekerjaan. “Misalnya tenaga kerjanya dia dibayar dengan upah rendah, disiksa, atau kerja dengan 20 jam/ 15 jam perhari. Itu nggak fair. Nah, itu contoh masalah labour practice ya,” kata Herdiansyah. (Baca Juga: DPR Ingin Menciptakan Model Wali Amanat Bagi Perusahaan Melalui RUU CSR).

Keempat, lingkungan (environment). Ia menuturkan bahwa perusahaan bertanggung jawab penuh atas dampak lingkungan kepada masyarakat dari kegiatan bisnis yang dilakukan. Kelima, prosedur operasi yang wajar (fair operating practices). Herdiansyah menjelaskan prosedur di sini adalah perilaku perusahaan saat berhubungan dengan tenaga kerjanya.

“Jadi kalau berbicara CSR, sebenarnya yang namanya tanggung jawab perusahaan itu akan berbicara dari hulu sampai dengan ke hilir. Dari hulu itu apa? Supply chains bagaimana, fair nggak, jujur nggak, jahat nggak, kemudian di dalam prosesnya ada tenaga kerja yang dilibatkan tidak, tenaga kerjanya ada anak-anak kecil tidak atau orang tua yang sudah renta enggak yang dipaksa bekerja. Kan itu ada batasannya usia juga,” terangnya.

Keenam, isu konsumen (consumer issues). Menurutnya, ada hak-hak konsumen yang harus dipenuhi oleh perusahaan seperti, memberitahu tentang produk atau layanan, tidak menginformasikan pemasaran yang menyesatkan, tidak adil atau tidak jelas, dan sebagainya. (Baca Juga: Dari Sudut Good Corporate Governance, Aturan CSR untuk Swasta Dinilai Kurang Tepat).

Ketujuh, pelibatan dan pengembangan masyarakat (community involvement and development). Herdiansyah menyebutkan hal ini berkaitan dengan pembagian dana untuk bantuan masyarakat, pendidikan, dan kesehatan. “Nah, saat ini orang-orang hanya focus pada community involvement and development saja, yang semacam bagi-bagi itu. Padahal idealnya tidak hanya berbicara tentang itu,” tukasnya.

Sebagai informasi, RUU CSR ini sebenarnya telah ditetapkan menjadi salah satu prioritas DPR yang akan dibahas pada 2017 ini di Komisi VIII DPR. Namun, Wakil Ketua Komisi VIII DPR Deding Ishak mengungkapkan bahwa pembahasan RUU ini ditunda untuk sementara waktu. Saat ini, Komisi VIII akan lebih fokus membahas RUU Haji dan Umroh, serta RUU Pekerja Sosial. Meski begitu, ia menuturkan tidak tertutup kemungkinan untuk menetapkan kembali RUU CSR ini menjadi prioritas pada 2018. (Baca Juga: DPR Menunda Pembahasan RUU CSR).

(PHB)

Dipromosikan