Sejauh Mana Direksi BUMN Dapat Berlindung pada Prinsip Business Judgment Rule?

Sejauh Mana Direksi BUMN Dapat Berlindung pada Prinsip Business Judgment Rule?

“Penilaian terhadap business judgment rule terhadap direksi tidak bisa diterapkan secara menyeluruh. Ada batasan dimana tindakan direksi BUMN dapat dikenakan sanksi pidana.”

Diketahui bahwa PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) melalui anak perusahaannya PT PINS Indonesia memiliki 24% (dua puluh empat persen) saham PT Tiphone Mobile Indonesia Tbk (TELE). Saham tersebut bernilai sebesar Rp 1,17 triliun pada tahun 2019. Lebih lanjut TELE pun telah dinyatakan pailit dan didepak dari bursa saham karena tidak terjadinya kesepakatan pada PKPU yang diajukan oleh PT Bank Ganesha Tbk sejak September 2020.

Saham yang dimiliki TLKM di TELE pun terus mengalami penurunan. Dari yang bernilai Rp 1,17 triliun pada tahun 2019 kemudian turun menjadi Rp 485 miliar pada tahun 2020 hingga nihil pada saat ini. Karena hal tersebut Bursa Efek Indonesia (BEI) meminta penjelasan kepada TLKM mengenai 24% (dua puluh empat persen) saham yang dimiliki TLKM.

Dikutip dari keterbukaan informasi BEI (5/8/21) TLKM memberikan keterangan sebagai berikut, “Perseroan menjadikan harga pasar saham TELE sebagai acuan utama dalam menghitung pencatatan nilai wajar investasi tahun 2019. Informasi ini sudah tercantum dalam Catatan 8 Laporan Keuangan Audited tahun buku 2019. Adapun untuk tahun 2020 management mengakui penurunan nilai penuh sebagai dampak persaingan pasar.”

Kemudkan, TLKM mengakui telah mengetahui adanya permasalahan yang dialami oleh TELE semenjak dilakukannya audit konsolidasi TelkomGroup tahun buku 2019, dimana auditor pun melihat adanya keraguan substansial keberlangsungan usaha TELE. Diketahui TELE telah mengalami defisiensi modal, gagal bayar atas pokok pinjaman dan/atau bunganya pada saat jatuh tempo, serta adanya tuntutan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) oleh salah satu kreditur.

TLKM mengaku telah melakukan upaya maksimal dalam melakukan pengawasan dan monitoring secara langsung maupun tidak langsung melalui PT PINS Indonesia. Hal tersebut dilakukan atas dasar performa maupun kinerja dari TELE. Selain itu TLKM juga memastikan terwujudnya sinergi bersama yang telah memberikan manfaat bagi TelkomGroup dengan nilai investasi yang lebih besar.

Lebih lanjut TLKM menjelaskan pertimbangannya melakukan investasi pada TELE. Pada tahun 2014 TELE merupakan salah satu authorized dealer voucher terbesar di Indonesia dengan cakupan bisnis yang luas, memiliki 98 cabang, 146 gerai, 92 service center dan 180.000 reseller. 

Melihat capaian tersebut, TLKM menilai kinerja TELE paling sesuai dengan strategi investasi TelkomGroup untuk memperkuat Telkomsel. Pembelian saham TELE pada tahun 2014 hingga 2018 pun mampu memberikan dampak yang positif bagi TelkomGroup terutama Telkomsel.

Disayangkan pada tahun 2019 TELE terlilit kasus PKPU hingga akhirnya perusahaannya dihapus dari pencatatan bursa saham Indonesia. Saham yang dimiliki oleh TLKM pun ikut anjlok hingga nihil. Karena peristiwa tersebut TLKM melalui anak perusahaannya PT PINS Indonesia mengalami kerugian.

Kasus ini pun terus bergulir hingga adanya dugaan pemanggilan direksi TLKM oleh KPK dan juga Polda Metro Jaya. Terlebih lagi TLKM merupakan perusahaan BUMN, apakah hal ini merupakan murni kerugian bisnis atau adanya konflik kepentingan yang dilakukan oleh direksi TLKM dan berpotensi merugikan negara.

Apakah tindakan yang sudah diambil direksi TLKM dapat dikategorikan sebagai business judgement rule

Melindungi Direksi

Pada dasarnya business judgment rule adalah doktrin bahwa kebijakan direksi suatu perusahaan tidak dapat diganggu gugat dan dapat dibenarkan walaupun menimbulkan kerugian selama kebijakan tersebut dilakukan demi kepentingan perusahaan. 

Berdasarkan Black’s Law Dictionary, business judgment rule merupakan suatu peraturan yang melindungi direksi dan pengurus perseroan dari pertanggungjawaban atas kerugian perseroan akibat transaksi yang dilakukan oleh direksi dan pengurus perseroan, jika transaksi tersebut telah dilakukan dengan iktikad baik, prinsip kehati-hatian, dan sesuai batas kewenangan direksi dan pengurus perseroan.

Lebih lanjut business judgment rule ini telah diserap pada UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (UU PT). Pada Pasal 97 ayat (5) UU PT disebutkan bahwa Direksi tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban atas kerugian yang dialami perseroan selama dapat membuktikan:

  1. Kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
  2. Telah melakukan pengurusan dengan itikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan;
  3. Tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
  4. Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.

Menjadi pertanyaan, apa benang merah dalam tindakan direksi yang dapat dikategorikan sebagai business judgment rule sehingga dapat melindungi direksi dari jerat hukum akibat kerugian yang dialami oleh perseroan. Pada praktiknya penerapan doktrin ini masih jadi perdebatan terkait pembelaan dalam berbagai kasus korupsi pada perusahaan BUMN. 

Contohnya pada perkara yang melibatkan Mantan Direktur Utama PT Pertamina, Karen Agustiawan, yang pada saat itu melakukan akuisisi minyak Basker, Manta, dan Gummy di Australia. Perkara tersebut akhirnya menjerat Karen dalam perkara tindak pidana korupsi dan kemudian diputus bebas di tingkat kasasi melalui putusan Mahkamah Agung Nomor 121 K/Pid.Sus/2020. 

Pada awalnya Karen divonis bersalah melakukan tindak pidana korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan putusan nomor 15/Pid.Sus-TPK/2019/Pn.Jkt.Pst dan dihukum 8 tahun penjara dan denda Rp 1 (satu) miliar subsider 4 bulan kurungan. 

Dalam pertimbangannya hakim menilai Karen melakukan tindak pidana korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa. Hakim menilai Karen telah memutuskan untuk melakukan investasi PI di Blok BMG Australia tanpa melakukan due diligence terlebih dahulu dan tanpa adanya analisis resiko yang ditindaklanjuti dengan penandatanganan Sales Purchase Agreement (SPA). 

Lebih lanjut Hakim menilai penandatanganan perjanjian tersebut dilakukan tanpa persetujuan bagian legal dan dewan komisari PT Pertamina. Serta Hakim menganggap perbuatan Karen telah memperkaya Roc Oil Company Ltd Australia dan menimbulkan kerugian Negara sebesar Rp 568 miliar.

Pada akhirnya Karen mengajukan kasasi hingga diputus bebas melalui putusan Mahkamah Agung Nomor 121 K/Pid.Sus/2020. Hakim menilai bahwa Karen melakukan perbuatan akan tetapi tidak termasuk kedalam perbuatan pidana. Majelis mempertimbangkan tindakan Karen termasuk dalam kriteria business judgment rule dan bukan merupakan tindak pidana. MA menilai keputusan direksi tidak dapat diganggu gugat meski berujung kerugian bagi perusahaan.

Kekayaan BUMN merupakan kekayaan Negara?

Yang masih menjadi perhatian adalah kekayaan BUMN dianggap sebagai kekayaan negara. Sehingga kerugian BUMN pun kerap dinilai sebagai kerugian negara. 

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) telah menyebutkan bahwa BUMN merupakan badan usaha yang kekayaannya dipisahkan dari kekayaan negara. 

Dalam Pasal 1 angka 6 UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara (UU Perbendaharaan Negara) jelas menyebutkan bahwa piutang negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah. Dalam pengertiannya piutang BUMN bukan merupakan piutang negara.

Namun dalam UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara) justru menyebutkan bahwa salah satu kekayaan negara termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/daerah. 

Tidak hanya disitu, UU nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksaan Keuangan (UU BPK) menyebutkan bahwa BPK berwenang menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara.

Menurut Prof Erman Rajaguguk kekayaan yang dipisahkan tersebut dalam BUMN dalam lahirnya adalah berbentuk saham yang dimiliki oleh negara, bukan harta kekayaan BUMN tersebut. Dengan kata lain yang menjadi kekayaan BUMN bukanlah kekayaan negara, dimana negara hanya memiliki saham sebagai bukti penyertaan modal dan kepemilikan perusahan. 

Senada dengan pendapat di atas, Dr. Rudy Prasetya menyampaikan bahwa berdasarkan hukum perusahaan, negara yang memiliki sejumlah saham dalam suatu perseroan harus menanggalkan statusnya sebagai negara. Konsekuensinya adalah uang negara yang sudah disetor sebagai saham menjadi harta perseroan.

Bahkan Mahkamah Agung pernah mengeluarkan fatwa dengan Nomor WKMA/YUD/20/VIII/2006 Tahun 2006 tentang Piutang BUMN dimana pada pokoknya menjelaskan bahwa kekayaan BUMN merupakan kekayaan yang terpisah dari kekayaan negara. Dimana permodalan yang ada di BUMN tidak didasarkan pada APBN melainkan didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat.

Meskipun telah dikeluarkannya fatwa Mahkamah Agung tentang piutang BUMN. Pada tahun 2007 MA menjatuhi hukuman tindak pidana korupsi pada E.C.W. Neloe serta Direktur Risk Management I Wayan Pugeg, dan Direktur Corporate Banking M. Sholeh Tasripan masing-masing 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan. Putusan tersebut karena terdakwa terbukti bersalah dengan melakukan pemberian kredit Rp 160 miliar kepada PT Cipta Graha Nusantara.

Mantan Jaksa Agung, Hendarman Supandji pernah menyampaikan bahwa kekayaan BUMN plat merah, uang negara yang dipakai swasta sekalipun tetap menjadi uang negara dalam rezim pemberantasan korupsi. Bahkan menurutnya, aparat hukum seperti kejaksaan, tetap bisa meminta Badan Pemeriksa Keuangan melakukan audit terhadap setiap penggunaan uang negara.

Belajar dari preseden kasus yang ada, tumpang tindih undang-undang mengenai kekayaan BUMN merupakan kekayaan negara, tentunya menjadi rambu-rambu bagi direksi BUMN. Dalam praktiknya sering kali pelanggaran terhadap fiduciary duties yang menimbulkan kerugian oleh BUMN, harus ikut diparkir dalam pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi. 

Fiduciary duties dan kecermatan dalam mengambil tindakan dan keputusan adalah pegangan wajib bagi direksi BUMN. Sehingga kalaupun timbul kerugian, maka kerugian perseroan tersebut tidak termasuk dalam kategori kesalahan pengurusan yang berujung pada kerugian BUMN, atau bahkan menjadi kerugian negara.   

DS

Dipromosikan