Jalan Buntu Di Tikungan Penolakan Pembatalan Arbitrase

{"origin":"gallery","uid":"FBA03834-8A3A-4CA7-90FA-4FBF64FF9438_1628654357850","source":"other"}

Jalan Buntu Di Tikungan Penolakan Pembatalan Arbitrase

“Dalam teori hukum, apabila terdapat perbedaan antara rumusan pasal dengan rumusan penjelasan maka yang berlaku adalah rumusan pasal, karena hanya rumusan pasal yang mengandung kaidah hukum yang bersifat mengikat.”

Tidak ada nomor antrian untuk sidang perkara khusus. Termasuk sidang pembatalan putusan arbitrase. Menunggu hingga hakim lengkap sidang baru bisa dimulai, dengan sejumput harapan yang didasari pada Pasal 70 Undang- undang Arbitrase. “Kalaupun tidak dikabulkan, setidaknya masih ada upaya hukum ke Mahkamah Agung,” ujarnya pada dirinya sendiri dalam hati.

Benar saja, permohonannya ditolak. “Kalau tidak puas silahkan ajukan upaya banding ke Mahkamah Agung,” ucap Hakim Ketua di muka persidangan yang disusul dengan ketuk palu tanda sidang ditutup. 

Sepekan setelahnya Ia datang ke PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu) dengan harap Hakim Agung pada Mahkamah Agung dapat mengoreksi putusan yang telah dijatuhkan oleh hakim di tingkat pertama. Gagal. Upaya hukumnya tidak dapat diterima didasarkan aturan internal Mahkamah Agung yang disebut dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA).

Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2016 Nomor 04/Bua.6/HS/SP/XII/2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan yang dapat mudah diunduh melalui gawai di manapun berada. Pada halaman 8 terkait Arbitrase tertuang :

“Sesuai dengan ketentuan Pasal 72 ayat (4) Undang- undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan penjelasannya, terhadap putusan pengadilan negeri yang menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase tidak tersedia upaya hukum baik banding maupun peninjauan kembali. 

Dalam hal putusan pengadilan negeri membatalkan putusan arbitrase, tersedia upaya hukum banding ke Mahkamah Agung, terhadap putusan banding tersebut Mahkamah Agung memutus pertama dan terakhir sehingga tidak ada upaya hukum peninjauan kembali.”

Jelas dan padat, mendasarkan pada penjelasan Pasal 72 ayat (4) UU Arbitrase.

Menelisik ketentuan banding dalam Pasal 72 ayat (4) UU Arbitrase

Pasal 72 ayat (4)  UU Arbitrase berbunyi, “Terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus dalam tingkat pertama dan terakhir”. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 72 ayat (4) UU Arbitrase dijelaskan, “Yang dimaksud dengan ‘banding” adalah hanya terhadap putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70”.

Prof Basuki Rekso Wibowo, Guru Besar Hukum Perdata Universitas Nasional dalam tulisannya yang berjudul “Masalah Pembatalan Putusan Arbitrase” menjelaskan ketentuan dalam Pasal 72 ayat (4) UU Arbitrase menggunakan frasa “banding” sebagai bentuk upaya hukum terhadap putusan Pengadilan Negeri. Ketentuan Pasal 72 ayat (4) sama sekali tidak memberikan kriteria tentang putusan pengadilan negeri yang yang dapat dimohonkan banding ke Mahkamah Agung. Apakah yang putusannya mengabulkan permohonan pembatalan, atau yang menolak permohonan pembatalan, atau yang menyatakan permohonan pembatalan tidak dapat diterima. Pasal 72 ayat (4) hanya mengatur kebolehan pihak yang tidak puas terhadap putusan pengadilan negeri untuk menempuh upaya hukum banding ke Mahkamah Agung.

Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 72 ayat (4) yang menyatakan :”…..hanya terhadap pembatalan putusan arbitrase…”, dapat menimbulkan tafsir secara argumentum a contrario bahwa seolah-olah permohonan banding ke Mahkamah Agung hanya dibatasi apabila putusan pengadilan negeri yang amarnya membatalkan putusan arbitrase, sedangkan putusan yang amarnya menolak permohonan pembatalan tertutup tidak dapat dimohonkan banding. Dalam teori hukum, apabila terdapat perbedaan antara rumusan pasal dengan rumusan penjelasan maka yang berlaku adalah rumusan pasal, karena hanya rumusan pasal yang mengandung kaidah hukum yang bersifat mengikat.

Latar belakang dan eksistensi SEMA 4 Tahun 2016

Mahkamah Agung berpendapat tentang pertanyaan hukum apakah putusan pengadilan negeri yang menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase nasional dapat diajukan upaya hukum banding ke Mahkamah Agung atau tidak. Pada Rapat Pleno Kamar Perdata Mahkamah Agung yang dilaksanakan pada tanggal 23-26 Oktober 2016 disepakati bahwa atas putusan pengadilan negeri apabila ditolak tidak dapat diajukan banding maupun peninjauan kembali. Kesepakatan tersebut kemudian diikuti oleh Kamar Perdata secara konsisten.

Putusan pertama yang memutus sesuai dengan kesepakatan Kamar Perdata tersebut yaitu putusan No. 929 B/Pdt.Sus-Arbt/2016 (PT Angkasa Pura II vs PT Ibad Amana Perkasa) tanggal 14 November 2016. Dalam perkara ini PT Angkasa Pura II mengajukan Banding atas putusan Pengadilan Negeri Tangerang. PN Tangerang dalam putusannya menyatakan permohonan pemohon pembatalan putusan arbitrase tidak dapat diterima. Atas permohonan banding tersebut Mahkamah Agung menyatakan permohonan banding tersebut tidak dapat diterima, dengan pertimbangan:

“Bahwa dalam perkara a quo Putusan Pengadilan Negeri Tangerang tersebut tidak merupakan pembatalan putusan arbitrase sehingga tidak ada upaya banding ke Mahkamah Agung;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka terhadap permohonan banding dari Pemohon tersebut tidak dapat diterima;

Pertimbangan serupa juga terdapat dalam putusan-putusan banding arbitrase lainnya dimana banding diajukan atas putusan pengadilan negeri yang tidak membatalkan putusan arbitrase, seperti dalam putusan No. 808 B/Pdt.Sus-Arbt/2016 tanggal 17 November 2016, 267B/Pdt.Sus-Arbt/2016 tanggal 17 November 2016, dan terakhir putusan No. 212B/Pdt.Sus-Arbt/2018 tanggal 08 Maret 2018.

Akhirnya MA menegaskan dalam Yurisprudensi Hukum Perdata Khusus Nomor 1/Yur/Arbt/2018 menjelaskan putusan pengadilan negeri yang menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase nasional tidak dapat diajukan upaya hukum banding ke Mahkamah Agung. Permohonan banding ke MA atas putusan pengadilan negeri yang menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase harus dinyatakan tidak dapat diterima. 

Namun bagaimana jika Pengadilan Negeri melakukan kesalahan dalam pemeriksaan permohonan pembatalan putusan arbitrase dan tidak ada lagi upaya hukum terhadap putusan tersebut?

Kesalahan Hakim dan Teori Keadilan 

Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara harus berlandaskan pada pedoman-pedoman yang berlaku objektif sehingga hakim bertindak secara mandiri dan bebas dari intervensi pihak manapun. Sebagaimana dinyatakan pada Pasal 24 UUD 1945 bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Pada kenyataannya kebebasan hakim dalam memutus menjadi suatu prinsip yang implementasi personal dan sosialnya mengakibatkan berbagai penafsiran.

Miriam Budiardjo misalnya menjelaskan bahwa kebebasan hakim adalah kebebasan yang tidak bersifat mutlak karena harus didasarkan pada Pancasila dan tidak terlepas dari unsur tanggung jawab. 

Senada dengan itu, Sudikno Mertokusumo dalam Sistem Peradilan di Indonesia memberikan gambaran bahwa hakim bebas memeriksa, membuktikan dan memutuskan perkara berdasarkan hati nuraninya. Disamping itu juga bebas dari campur tangan pihak ekstra yudisial.

Berbeda dari doktrin diatas, Bagir Manan dalam Bukunya, Sistem Peradilan Berwibawa, juga mengatakan bahwa terdapat prinsip kebebasan kehakiman akan tetapi dipengaruhi oleh beberapa hal seperti pengaruh kekuasaan; pengaruh publik dan pengaruh pihak. Dengan demikian kebebasan kehakiman ini dapat diintrusi dari pelbagai pengaruh yang ada. 

Konkretnya penerapan prinsip kebebasan hakim ini diaktualisasikan dalam penolakan permohonan pembatalan putusan arbitrase nasional, yang mana pada upaya hukumnya tidak dapat diterima. 

Kebebasan ini yang kemudian menimbulkan akibat pada potensi kesalahan hakim dalam menerapkan hukum. Padahal hakim dan penegakan hukum adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan yakni Hukum dan Keadilan.

Kesalahan penerapan hukum sebagaimana pada perkara a quo menjadikan putusan-putusan yang diberikan dianggap tidak berdasarkan pada kecermatan pertimbangan hukum secara komprehensif (onvoldoende gemotiveerd). Melainkan hanya berlandaskan pada silogisme-normatif yang dangkal dalam mengkategorisasikan objek dan proses pemeriksaan. Alhasil memberikan dampak pada konsekuensi hukumnya. 

Penegakan hukum memiliki koherensi dengan aspek keadilan yang diperoleh masyarakat. Maka apabila seseorang pencari keadilan hendak menuntut keadilan maka harus dihadapkan pada penyelesaian perkara dan proses penegakan hukum yang berkeadilan, transparan dan akuntabel. 

Jalan Panjang Menuju Keadilan

Keadilan ini meliputi beberapa aspek seperti dalam perwujudan: keadilan distributif yakni keadilan yang diperoleh dari tindakan positif negara dalam pemenuhannya yang didasarkan atas hak dan kewajibannya; kedua, Keadilan legal adalah keadilan yang diperoleh pada saat warga negara menaati peraturan perundang-undangan yang berlaku dan ketiga adalah keadilan komutatif yakni keadilan antara seorang warga negara dengan warga negara lainnya secara timbal balik. 

Sejalan dengan itu, keadilan sebagai fairness menurut John Rawls dengan slogan “justice as fairness”. menghasilkan keadilan prosedural murni. Keadilan ini tidak memiliki standar untuk menentukan apa yang dikatakan adil terpisah dari prosedur atau proses itu sendiri, sehingga keadilan tidak dipandang dari hasilnya, namun  dari proses itu sendiri dalam Hyronimus Rhiti, Filsafat Hukum Dari Klasik ke Postmodernisme, 2015 hlm 246.

Pada Pasal 62 ayat (4) UU No. 30 Tahun 1999 yang telah ditegaskan bahwa Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau perimbangan dari putusan arbitrase melainkan terbatas hanya pada kewenangan memeriksa keabsahan prosedur pengambilan putusan arbitrase, antara lain proses pemilihan arbiter hingga pemberlakuan hukum yang dipilih oleh para pihak dalam penyelesaian sengketa (Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa hlm 85).

Majelis hakim tidak menelaah Pedoman Teknis Administrasi dan teknis Peradilan Buku UU secara keseluruhan yang pada Bab VI Huruf C halaman 176 dinyatakan bahwa adanya kemungkinan untuk dilakukannya gugatan pembatalan putusan arbitrase dengan menyatakan sebagai berikut, pertama, pembatalan putusan arbitrase nasional sepanjang memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 70 sampai dengan Pasal 72 UU No. 30 Tahun 1999. 

Oleh karena itu, hendaknya hakim pada Pengadilan tingkat pertama menjalankan proses pemeriksaan perkara dengan seksama dan komprehensif, untuk terwujudnya penegakan hukum yang berkeadilan.

Selalu ada kemungkinan terjadinya ketidakcermatan hakim dalam memeriksa perkara, tidak terkecuali dalam pemeriksaan permohonan pembatalan putusan arbitrase. Namun, apabila kesalahan penafsiran hakim tersebut menjadi jalan akhir dari pemohon keadilan, apakah tepat sikap Mahkamah Agung yang membatasi upaya hukum berdasarkan surat edarannya tersebut?

Mahkamah Agung merupakan lembaga peradilan tertinggi untuk dapat melakukan koreksi terhadap putusan pengadilan di bawahnya. Namun akhirnya tidak akan ada lagi koreksi ketika Mahkamah Agung sudah bersikap menutup langkah dengan penerbitan SEMA nya. Lalu, apakah permohonan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi satu-satunya langkah untuk membuka jalan bagi pemohon pembatalan putusan arbitrase yang merasa dirugikan akibat ditolak permohonannya oleh pengadilan negeri?

Sayangnya, harus ada yang menjadi martir. Sekalipun permohonan uji materiil tersebut dikabulkan, namun tidak akan dapat digunakan untuk kasus si pemohon tersebut. Karena putusan MK tidak dapat berlaku surut untuk pengajuan banding baginya terhadap putusan pengadilan negeri yang salah dalam menerapkan hukum ketika memeriksa dan memutus permohonan pembatalan putusan arbitrase.  

RED/DS

Dipromosikan