Lesson Learned dari Holywings: Mulai Dari Promosi Muhammad dan Maria, Penutupan Gerai Hingga Gugatan 100 Miliar

Lesson Learned dari Holywings Mulai Dari Promosi Muhammad dan Maria, Penutupan Gerai Hingga Gugatan 100 Miliar
Image Source by holopis.com

Lesson Learned dari Holywings: Mulai Dari Promosi Muhammad dan Maria, Penutupan Gerai Hingga Gugatan 100 Miliar

“Holywings Indonesia tentunya tidak memiliki maksud untuk menutup-nutupi kasus ini atau melindungi oknum yang terlibat, kami akan tetap melanjuti kejadian ini sesuai dengan proses hukum yang berlaku di Indonesia.

Sekali lagi kami memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada seluruh masyarakat Indonesia akibat kelalaian kami, izinkan kami untuk bisa memperbaiki kesalahan kami dan menjadi lebih baik lagi.”

Itulah cuplikan dari rilis pernyataan dari manajemen PT Aneka Bintang Gading (Holywings Group) pasca viralnya Promo minuman beralkohol bagi pengunjung Holywings yang bernama Muhammad dan Maria menuai kontroversi. Holywings telah menghapus postingan promosi tersebut di akun Instagramnya. Holywings juga menyampaikan permintaan maaf usai promo yang bikin heboh itu.

Namun, tidak berhenti disitu, kini Holywings harus menghadapi persoalan lainnya. Berikut serangkaian masalah yang dihadapi oleh Holywings:

  1. Laporan Polisi Soal Penistaan Agama

Pada Jumat (24/6), Feriyawansyah telah melaporkan Holywings Indonesia ke Polda Metro Jaya akibat promosi minuman alkohol gratis setiap Kamis untuk mereka yang bernama “Muhammad” dan “Maria”. Dia melaporkan Holywings karena dinilai telah melakukan penistaan agama lewat promosi minuman beralkohol itu. Berdasarkan laporan tersebut Holywings disangkakan melanggar Pasal 156 A KUHP dan Pasal 28 A ayat (2) juncto Pasal 45 ayat (2) UU ITE.

  1. Penetapan Enam Tersangka

Polda Metro Jakarta Selatan menetapkan 6 (enam) orang karyawan dan manajemen Holywings Indonesia sebagai tersangka kasus promosi minuman alkohol gratis bagi pelanggan bernama Muhammad dan Maria.

Para pegawai Holywings yang menjadi tersangka antara lain, Creative Director Holywings (SDR), Head Team Promotion (NDP), pembuat desain promo (DAD), admin media sosial (EA), social media officer (AAB), serta admin tim promo (AAM).

Para tersangka dijerat dengan pasal berlapis yakni Pasal 14 Ayat 1 dan Ayat 2 UU RI No 1 Tahun 1946 dan juga Pasal 156 atau Pasal 156 a KUHP. Kemudian Pasal 28 Ayat 2 UU RI No 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI No 11 Tahun 2008 tentang ITE. Adapun ancaman maksimal 10 (sepuluh) tahun kurungan penjara.

Melihat perkembangan kasus ini mulai banyak komentar di media sosial, yang mempertanyakan kenapa kepolisian tidak menyeret jajaran direksi seluruhnya? Nah, soal ini, kita harus bijak dan jernih melihatnya. Karena perbuatan yang disangkakan ini merupakan dugaan tindak pidana. Sehingga tidak berlaku asas kolektif kolegial yang berlaku terhadap direksi perseroan terbatas. Apabila ada direksi yang menyetujui promosi tersebut, maka perbuatan anggota direksi tersebut dipertanggungjawabkan secara pribadi.

Oleh karena itu, kepolisian hanya fokus pada inisiator dan juga pihak yang dinilai terlibat dalam memberikan persetujuan terhadap ide tersebut hingga promosi tersebut dieksekusi. Perlu dipahami, ini bukan hal yang baru atau perlakuan yang berbeda. Kita bisa melihat jejak kasus lainnya yang pernah ada sebagai preseden.    

Kini polisi harus fokuskan penyidikan pada siapa yang memerintahkan atau otak dari promosi tersebut hingga siapa yang menyetujui materi promosi tersebut. Karena perlu ditemukan siapa yang memiliki mens rea atau niat jahat di balik lahirnya promosi yang memancing reaksi masyarakat ini.

Di sisi lain, perbuatan pidana yang disangkakan juga bukanlah suatu tindak pidana korporasi. Karena pemidanaan dengan dasar KUHP tidak dapat dikenakan kepada korporasi. Lain halnya seperti kasus Buyat misalnya, dimana pidana lingkungan hidup dapat dikenakan kepada korporasi karena memang telah diatur dalam UU Lingkungan Hidup.

Belajar dari persoalan ini, menjadi penting dalam suatu perusahaan agar penugasan, pengambilan keputusan dan pemberian persetujuan semuanya dapat didokumentasikan dengan baik. Sehingga, ketika timbul suatu kasus, maka pihak-pihak terkait dapat membuktikan tentang peran dan juga sejauh mana keterlibatannya dalam suatu proses kerja tersebut.

Hal ini seakan menjadi momok bagi para pekerja di perusahaan dan juga manajemen perusahaan. Karena dari kasus ini, bukan hanya kerugian material yang diderita, namun juga sanksi sosial yang diterima oleh perusahaan dan juga stakeholder-nya.

  1. Gugatan Ganti Rugi 100 Miliar

PT Aneka Bintang Gading, perusahaan yang mengelola outlet restoran sekaligus bar Holywings, digugat oleh 2 orang bernama Muhammad ke Pengadilan Negeri (PN) Tangerang, Kota Tangerang. Penggugat mengaku tersakiti karena Holywings mempromosikan minuman beralkohol menggunakan nama Muhammad dan Maria. Selain itu, Direktur Utama PT Aneka Bintang Gading, Eka Setia Wijaya juga ikut turut menjadi tergugat lainnya.

Dalam gugatannya berisi permintaan ganti rugi Rp 100 miliar yang harus dibayarkan oleh Holywings karena dinilai telah mencederai masyarakat Muslim. Yang menarik, imbas penetapan 6 tersangka dinilai oleh Penggugat bahwa manajemen Holywings berupaya menyalahkan permasalahan atas kasus promosi itu kepada karyawannya.

Penggugat juga menilai bahwa promosi menggunakan nama Muhammad dan Maria yang diunggah di akun resmi Instagram Holywings, artinya PT Aneka Bintang Gading turut bertanggung jawab atas persoalan ini. Sehingga, PT Aneka Bintang Gading digugat melanggar Pasal 1367 dan 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

  1. Penutupan Seluruh Gerai

Sudah jatuh tertimpa tangga. Setelah dihantam badai dugaan penistaan agama, Holywings harus menelan pil pahit akibat dicabutnya izin usaha oleh DPMPTSP. Setelah ramai kontroversi promosi itu, Pemprov DKI menemukan beberapa pelanggaran yang dilakukan Holywings Jakarta. Sehingga, Pemprov DKI memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Pusat untuk pencabutan izin usaha bar tersebut.

Kepala DPMPTSP Provinsi DKI Jakarta, Benny Agus Chandra, mengatakan pencabutan izin usaha 12 outlet Holywings dilakukan bukan soal kasus promosi yang menjadi kontroversial. Lebih jauh, dicabutnya izin usaha itu lantaran Holywings telah melanggar sejumlah aturan terkait  penjualan minuman beralkohol.

Setelah ditelusuri, terungkap bahwa Holywings dalam menjalankan usaha bar seharusnya memiliki Surat Keterangan Penjual Langsung (SKPL) golongan B dan C dengan PB-UMKU KBLI 56301. Dengan begitu, Holywings diperkenankan menjual minuman beralkohol untuk minum di tempat. Sedangkan dalam kasus ini, dari 13 outlet Holywings di Jakarta dengan izin restoran, terdapat 7 outlet yang memiliki Surat Keterangan Pengecer (SKP) minuman beralkohol. Walau demikian, izin ini tidak membolehkan pelanggannya untuk menikmati minuman beralkohol di tempat, melainkan harus dibawa pulang.

Entah apa yang menjadi alasan dibalik absennya izin dimaksud. Namun yang pasti bisnis yang dijalankan Holywings tidak sesuai dengan izin usaha yang dimilikinya. Padahal setiap model bisnis dan kegiatan bisnis yang dijalankan haruslah mengantongi izin dengan KBLI yang relevan dan dibuktikan dengan surat izin yang diterbitkan.

  1. Dugaan Soal Pelanggaran Pajak

Pasca terungkapnya soal absennya izin usaha bar Holywings, tentu hal ini menarik perhatian Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta. Mengingat izin yang dimiliki Holywings adalah bisnis restoran, maka kewajiban pajaknya adalah pajak restoran. Walau dalam praktiknya, Holywings juga menyediakan hiburan. Sehingga, jika ingin fair, Holywings seharusnya juga wajib membayar pajak hiburan selain pajak restoran.

Akibatnya, Holywings dikenai pajak penjualan lebih kecil dibanding usaha bar secara pada umumnya. Sebab, dengan statusnya sebagai restoran dan dengan izin pengecer saja. Sontak pendapatan daerah DKI dari pungutan pajak penjualan Holywings pun lebih sedikit.

Menurut Kepala Bapenda, Lusiana Herawati pada mulanya, Holywings tidak menyelenggarakan hiburan malam, sehingga tidak dikenakan pajak hiburan. Baru kemudian diselenggarakan hiburan juga. Namun Lusiana tidak menjelaskan potensi nilai kerugian akibat ulah Holywings tersebut.

Dikutip dari Detik.com, Ketua Asosiasi Pengusaha Hiburan Jakarta, Hana Suryani mengatakan izin pengecer yang dimiliki Holywings untuk beroperasi menimbulkan rasa ketidakadilan bagi pengusaha bar. “Di tempat kami, kan, mau jual bir kena pajaknya 25 persen. Kalau di Holywings, 10 persen,” kata Hana.

Izin restoran/bar mengacu pada Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2011 tentang Pajak Restoran. Dimana pada Pasal 1 angka 10 dalam aturan itu menyebut bar adalah salah satu pengertian restoran.

Sedangkan pajak 25 persen untuk bar diatur pada aturan yang lebih baru, yaitu Perda Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pajak Hiburan. Salah satu bentuk penyelenggaraan hiburan, seperti tercantum pada Pasal 3 angka 2 huruf e dalam aturan itu, menyebut diskotek, karaoke, klub malam, dan sejenisnya.

Kemudian pada pasal 7 angka 10 Perda Pajak Hiburan disebutkan bahwa tarif pajak untuk diskotek, karaoke, kelab malam, pub, bar, musik hidup (live music), musik dengan disc jockey (DJ) dan sejenisnya sebesar 25 persen.

Faktor Tekanan Publik (?)

Sebagaimana diberitakan, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) DKI Jakarta mengkritik tindakan Polres Metro Jakarta Selatan yang menetapkan 6 pekerja Holywings sebagai tersangka dengan berbagai pasal karet. Langkah ini dianggap sebagai tindakan reaktif karena tekanan massa.

LBH Jakarta menegaskan hukum pidana merupakan ultimum remedium atau upaya terakhir yang seharusnya digunakan dalam upaya-upaya lain untuk menyelesaikan permasalahan sosial-kemasyarakatan.

Begitu juga dengan pencabutan izin usaha yang dilakukan berdekatan pasca mencuatnya kasus promosi tersebut. Setelah ramai di media, Pemprov DKI sekonyong-konyong muncul untuk mencabut seluruh izin usaha Holywings. Padahal, pelanggaran tersebut sudah dipelajari sebelumnya dan dalam proses evaluasi. Maklum, selama PPKM pun Holywings sudah sering menjadi sorotan karena dinilai menimbulkan kerumunan (hingga dikenai denda).

Hal ini diakui oleh Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria saat menanggapi pertanyaan terkait alasan pencabutan izin tersebut. “Ya memang berawal dari kasus promo miras [minuman keras],” kata Ariza di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (27/6/2022).

Menurut Staf Khusus Kepala BKPM, Tina Talisa, hak akses utama terhadap sistem OSS pada pemerintah provinsi dipegang oleh Kepala DPMPTSP. Akses terhadap akun tersebut kemudian dapat diberikan hak turunan kepada organisasi perangkat daerah lainnya.

Terkait Holywings, usaha tersebut berbasis penanaman modal dalam negeri, bukan penanaman modal asing. Sehingga, menurut Tina, berdasarkan aturan yang berlaku, verifikasi perizinan dilakukan oleh pemerintah provinsi. Sehingga tidak mungkin BKPM menerbitkan izin yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi.

3 Hal Pembunuh Bisnis

Kini “sihir” media sosial seakan jadi alat bagi masyarakat untuk memberikan tekanan kepada aparat hukum dalam mengambil tindakan. Ketika gejolak timbul, semuanya mulai bergerak. Walau sebenarnya, sudah ada “luka” yang dialami oleh kalangan pengusaha dan juga pemerintah.

Tentunya ini menjadi perhatian penting bagi dunia usaha agar lebih berhati-hati. Banyak yang mencoba peruntungannya ketika berada dalam persimpangan, apakah ingin mematuhi hukum atau beratraksi dengan kreatif agar bisa meminimalisir biaya dan pajak yang keluar. Karena seperti bom waktu, ketika satu isu bergulir, berpotensi memicu meledaknya semua isu hukum yang ada.

Dalam dunia industri, bisnis dapat jatuh karena 3 faktor. Tantangan yang pertama adalah kepatuhan hukum. Bicara legalitas selalu soal ada izin atau tidak, se-hitam putih itu, tanpa tapi tanpa nanti. Bisnis dengan mudah jatuh akibat ketidakpatuhan hukum. Kedua, ada persoalan pajak. Karena konon kabarnya, ada 2 hal yang tidak dapat dihindari dalam hidup ini, yaitu kematian dan pajak. Ketiga pembunuhan karakter baik pada bisnis ataupun pada ownernya. 3 hal ini harus selalu jadi perhatian agar dapat terhindar dari masalah. Stay compliance!

 

Bimo Prasetio

Konsultan Hukum Bisnis dan Investasi

Dipromosikan