Marak Investasi Bodong, Bagaimana Pemulihan Kerugian Korban?

Marak Investasi Bodong, Bagaimana Pemulihan Kerugian Korban

Marak Investasi Bodong, Bagaimana Pemulihan Kerugian Korban?

Penyelesaian perkara tindak pidana yang menimbulkan kerugian korban perlu diselesaikan dengan kombinasi hukum acara pidana dan hukum acara perdata secara paralel.

Tingginya kasus investasi bodong di Indonesia telah menimbulkan keresahan dan kerugian yang dialami oleh masyarakat. Saat ini, penyelesaian kasus-kasus tersebut dianggap sebagai perkara tindak pidana yang menimbulkan kerugian kepada korban.

Pihak kepolisian dan jaksa penuntut umum akan berusaha semaksimal mungkin untuk menjerat para pelaku tindak pidana investasi bodong tersebut sesuai dengan ancaman pidana yang ada. Walaupun demikian, pemulihan kerugian dari tindak pidana tersebut pada umumnya dilakukan melalui jalur perdata secara terpisah. Jika demikian adanya, maka proses untuk memulihkan ganti rugi oleh korban akan memakan waktu yang lama, biaya yang mahal, dan prosedur yang semakin panjang. 

Saat ini terdapat sidang mengenai dugaan penipuan, penggelapan, dan pencucian uang berkedok investasi emas dengan skema ponzi di Pengadilan Negeri Tangerang. Terdakwa kasus skema ponzi, Budi Hermanto, telah dilaporkan oleh para korbannya. 

Pengaduan pidana ini dilaporkan melalui kantor hukum Visi Law Office yang kini sudah bergulir ke pengadilan Negeri Tangerang yang terdaftar pada Perkara Pidana No. 1907/Pid.B/2021/PN Tangerang. 

Setidaknya delapan pengusaha toko emas yang menjadi korban dari penipuan terdakwa dengan total kerugian yang dialami seluruhnya mencapai Rp 1 triliun. Kerugian tersebut setara dengan setiap jumlah kilogram emas batangan dan perhiasan yang sudah disetorkan oleh para korban kepada terdakwa. 

Managing Partner Visi Law Office, Febri Diansyah, mengatakan bahwa gugatan pemulihan kerugian korban kejahatan yang dilakukan oleh delapan kliennya tersebut merupakan suatu terobosan hukum baru untuk memulihkan kerugian kliennya.

“Penggunaan mekanisme Pasal 98 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), diharapkan dapat membantu pemulihan kerugian para korban kejahatan. Sehingga, proses penegakan hukum tidak saja berorientasi pada penghukuman terdakwa, tetapi juga berkontribusi memulihkan kerugian masyarakat yang menjadi korban langsung dari sebuah kejahatan,” ucap Febri. 

Penasihat hukum dari Visi Law Office, Rasamala Aritonang mengatakan bahwa kasus penipuan investasi emas ini berawal pada tahun 2018 ketika para korban ditawari Hermanto untuk melakukan investasi dengan keuntungan lima persen. Modusnya dengan setoran emas. “Setoran emas itu ditukar dengan bilyet giro berjangka dan korban dijanjikan persentase keuntungan lima hingga dua puluh persen,” jelas Rasamala.

Korban mengatakan bahwa pencairan awal bilyet giro berjalan dengan lancar dan keuntungan yang diberikan sesuai dengan persentase. Namun, pada Oktober 2021 penagihan keuntungan investasi emas mulai mengalami kemacetan dan korban menyampaikan keluhan atas hal tersebut.

Febri berharap dengan yakin bahwa majelis hakim akan memutuskan perkara ini dengan adil. “Dalam kasus berjalan saat ini, harapan para korban tertumpu pada Majelis Hakim. Semoga melalui kebijaksanaan para hakim, kepentingan para korban diperhatikan serius, agar bisa menjadi tonggak untuk penegakan hukum yang berperspektif korban,” ucap Febri.

Pengajuan Sita Jaminan Oleh Korban

Dalam kelanjutan sidang tersebut, Febri mengajukan sita jaminan terhadap aset-aset Budi yang sebelumnya diduga dialihkan kepada pihak lain.

“Mohon izin, Yang Mulia, kami ajukan sita jaminan untuk emas 40 kg yang telah terungkap sebagai fakta hukum di persidangan ini,” ucap Febri pada persidangan.

Pengajuan sita jaminan ini mengacu pada Pasal 227 HIR karena pada sidang penggabungan dakwaan pidana dengan gugatan ganti kerugian, Pasal 101 KUHAP mengatur ketentuan hukum acara perdata berlaku sepanjang tidak diatur lain dalam KUHAP.

Pengajar FH Universitas Trisakti dan Anggota Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia, Albert Aries, mengatakan bahwa penyelesaian perkara tindak pidana yang menimbulkan kerugian korban perlu diselesaikan dengan kombinasi hukum acara pidana dan hukum acara perdata secara paralel.

“Paradigma lama yang masih mempertahankan “jurang pemisah” antara kompetensi absolut dari peradilan pidana dan perdata kini perlu diurai dengan cara lain yang lebih progresif (Restatement). Alasannya, kekakuan semacam itu hanya akan menunda-nunda keadilan bagi para korban tindak pidana untuk segera dipulihkan kerugiannya,” tulis Albert pada Kompas, Senin (4/4).

Pendapat Albert nampak sejalan dengan langkah yang ditempuh oleh Visi Law Office untuk memaksimalkan ketentuan Pasal 98-101 KUHAP mengenai penggabungan perkara gugatan ganti kerugian. Penggabungan ini dapat ditempuh jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dari dakwaan suatu perkara pidana menimbulkan kerugian bagi orang lain. Mekanisme ini secara sederhana berusaha untuk menggabungkan ganti rugi yang dialami oleh korban dengan dasar dakwaan perkara pidana.

“Oleh karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan penerbitan peraturan pemerintah (PP) sebagai aturan pelaksanaan dari Pasal 98 hingga Pasal 101 KUHAP, yang mengatur teknis penggabungan perkara gugatan ganti kerugian dengan lebih komprehensif,” tulis Albert.

Ganti Rugi Terhadap Korban

Kabareskrim Polri, Komjen Agus Andrianto, mengarahkan bagi para korban investasi bodong, baik binary option ataupun jenis investasi lainnya untuk membentuk kelompok atau paguyuban dalam rangka mengupayakan pengembalian aset.

“Kepada korban saya sarankan membentuk paguyuban, tidak sendiri-sendiri. Secara bersama-sama mengajukan kepada pengadilan agar seluruh hasil aset sitaan nanti akan dikembalikan kepada paguyuban korban-korban investasi bodong ini,” ucap Agus.

Agus menambahkan bahwa langkah tersebut diperlukan agar para korban dapat menerima kembali kerugian yang dialami akibat dari investasi bodong tersebut.

“Pengadilan akan memutuskan supaya nanti tidak menjadi sitaan negara,” kata Agus.

Sebagai informasi, pemerintah saat ini sudah mengakomodasi kepentingan pemberian kompensasi melalui Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 2018 sebagaimana diubah oleh Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2020 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban (PP No. 35/2020). 

PP 35/2020 telah mengakomodasi setiap upaya ganti rugi untuk tindak pidana tertentu dengan payung hukum didasarkan oleh Undang-Undang No. 13 tahun 2006 sebagaimana diubah oleh Undang-Undang No. 31 tahun 2014  tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU No. 31/2014). 

Merespon soal ganti rugi terhadap korban kejahatan, Mahkamah Agung telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan dan Pemberian Restitusi dan Kompensasi kepada Korban Tindak Pidana (Perma No. 1/2022). Dalam Pasal 2 Perma No. 1/2022 mengatakan bahwa permohonan restitusi atas perkara tindak pidana dapat dilakukan pada tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, diskriminasi ras dan etnis, tindak pidana terkait anak, serta tindak pidana lain yang ditetapkan dengan keputusan LPSK sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Untuk kompensasi dapat dilakukan atas perkara tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan terorisme. Namun, regulasi ini masih belum dapat menjangkau terkait kerugian korban untuk jenis tindak pidana lainnya. Jalan panjang pemulihan kerugian bagi korban investasi bodong? 

  

FDW

Dipromosikan