Mengenal Lebih Jauh Financial Technology yang Semakin Berkembang

Mengenal Lebih Jauh Financial Technology yang Semakin Berkembang

Mengenal Lebih Jauh Financial Technology yang Semakin Berkembang

Perkembangan dunia digital memberikan banyak kemudahan. Hal ini juga menarik perhatian para penjahat digital. Masyarakat menjadi wajib untuk lebih waspada dan memahami regulasi. 

Penetrasi era disrupsi Revolusi 4.0 pada kehidupan masyarakat telah sukses mempengaruhi tatanan sosial masyarakat termasuk dalam pengembangan finansial yang berbasis teknologi. Tentunya, setiap ada peluang terbuka potensi dimanfaatkan oleh orang-orang untuk tindak pidana kejahatan.

Modus operandi pelaku usaha financial technology (fintech) semakin marak terjadi belakangan ini. Hangat dibicarakan adanya fintech lending yang mengklaim sebagai koperasi simpan pinjam kemudian memberikan pinjaman kepada non anggota. Sudah dipastikan ini adalah fintech lending ilegal. 

“Banyak (fintech ilegal) yang tidak memiliki kantor fisik dan menggunakan server di luar negeri,” ujar Tirta Sagara, Komisioner Bidang Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Akibatnya, walau OJK telah menutup fintech ilegal tersebut, situs dan aplikasi dapat kembali aktif melalui replikasi. 

Di sisi lain ancaman penyebaran data pribadi juga rentan dilakukan oleh penyelenggara Fintech. Salah satunya adalah aplikasi VLoan milik PT Vcard Technology Indonesia yang melakukan penagihan dengan cara pengancaman, pornografi, bahkan asusila kepada nasabahnya. Selain dari pada dugaan penipuan, penggelapan yang marak terjadi.

Ini menjadi catatan serius bagi OJK untuk senantiasa melakukan investigasi preventif dan penegakan hukum terhadap oknum yang mengaku sebagai fintech di Indonesia. Jika dibiarkan, maka risiko kerugian pada masyarakat akan semakin besar.

Era digitalisasi modern ini yang juga disebut sebagai era disrupsi menjadikan agenda global revolusi 4.0 dijalan secara simultan dari pelosok dunia. Mulai dari penggunaan teknologi dalam memperoleh informasi, transportasi, layanan pesan makanan dan lain sebagaimana menjadikan manusia sebagai rentan terpapar dengan elektronik pintar dan teknologi.

Secara etimologi disrupsi diartikan sebagai suatu era yang mana terjadi perubahan secara besar-besaran yang mempengaruhi atau mengubah tatanan, sistem kearah tatanan dan sistem yang baru. Terdapat dua karakteristik disrupsi, pertama perubahan itu sangat mendasar terkait dengan model bisnis. Kedua, disrupsi selalu bermula pada pasar bawah (low-end) dengan menawarkan harga yang jauh lebih murah. 

Kedua indikator ini yang tengah kita rasakan saat ini.

Salah satu bentuk disrupsi ini adalah hadirnya inovasi jasa keuangan yang memanfaatkan penggunaan teknologi yang disebut sebagai financial technology yang biasanya berupa suatu sistem yang dibangun guna menjalankan mekanisme transaksi keuangan yang spesifik. 

Jenis-Jenis Fintech

Terdapat berbagai jenis financial technology yang berkembang di Indonesia seperti: 

  1. Crowdfunding yang merupakan bentuk penggalangan dana sehingga dimungkinkan masyarakat dapat menggalang dana atau berdonasi untuk suatu inisiatif atau program sosial yang mereka pedulikan;
  2. Microfinancing adalah salah satu layanan Fintech yang menyediakan layanan keuangan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah untuk membantu kehidupan dan keuangan mereka sehari-hari. Karena masyarakat dari golongan ekonomi ini kebanyakan tidak memiliki akses ke institusi perbankan, maka mereka pun mengalami kesulitan untuk memperoleh modal usaha guna mengembangkan usaha atau mata pencaharian mereka.
  3. P2P Lending Service untuk peminjaman uang sehingga dapat membantu masyarakat yang membutuhkan akses keuangan untuk memenuhi kebutuhan. Dengan Fintech ini, konsumen dapat meminjam uang dengan lebih mudah untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup tanpa harus melalui proses berbelit-belit yang sering ditemui di bank konvensional.
  4. Market Comparison sebagai perencanaan finansial. Dengan bantuan sehingga penggunanya dapat mendapatkan beberapa pilihan investasi untuk kebutuhan di masa depan;
  5. Digital Payment System yang bergerak di bidang penyediaan layanan berupa pembayaran semua tagihan seperti pulsa & pascabayar, kartu kredit, atau token listrik PLN.

Sedangkan menurut Financial Stability Board (FSB) membagi fintech ke dalam beberapa bentuk antara lain: 

  1. payment, clearing dan settlement adalah fintech yang memberikan layanan sistem pembayaran baik yang diselenggarakan oleh industri perbankan maupun yang dilakukan Bank Indonesia seperti Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS), Sistem Kliring Nasional BI (SKNBI) hingga BI scripless Securities Settlement System (BI-SSSS). 
  2. e-aggregator bertugas mengumpulkan dan mengolah data yang bisa dimanfaatkan konsumen untuk membantu pengambilan keputusan.
  3. manajemen risiko dan investasi dengan memberikan layanan seperti robo advisor (perangkat lunak yang memberikan layanan perencanaan keuangan dan platform e-trading dan e-insurance.
  4. peer to peer lending (P2P) yang mempertemukan antara pemberi pinjaman (investor) dengan para pencari pinjaman dalam satu platform. Nantinya para investor akan mendapatkan bunga dari dana yang dipinjamkan

Untuk mengetahui penyelenggara Inovasi Keuangan Digital dengan status tercatat yang terdaftar di OJK per Mei 2020, dapat ditemukan pada tautan ini.  

Perkembangan Fintech

Fintech P2P atau Fintech Lending setiap tahunnya mengalami peningkatan baik secara penerima maupun jumlah yang diterima sebagai pinjaman. Tercatat pada Bulan Juni 2021 rata-rata nilai pinjaman yang disalurkan kepada satu penerima pinjaman mencapai   Rp 148.006.278 dan pada bulan Mei 2021 sebesar   Rp 151.717.074. 

Secara akumulatif OJK mencatatkan outstanding pinjaman fintech P2P lending hingga Juni 2021 tercatat Rp 23,38 triliun. Jumlah ini naik 98,8% year-on-year (yoy) atau nyaris dua kali lipat dari Juni 2020 yang baru sebesar Rp 11,76 triliun.

Secara berturut-turut jumlah pinjaman fintech lending ber-nilai outstanding pada Januari-Mei 2021 berturut-turut senilai Rp 16,07 triliun; Rp 16,95 triliun; Rp 19,03 triliun; Rp 20,61 triliun; dan Rp 21,74 triliun.

Artinya masyarakat memiliki pilihan lain dalam melakukan pinjaman selain pada lembaga perbankan. Dalam operasionalisasinya fintech lending ini harus terdaftar dan berizin di OJK. Per tanggal 10 Juni 2021 total jumlah penyelenggara fintech peer-to-peer lending atau fintech lending yang terdaftar dan berizin di OJK adalah sebanyak 125 perusahaan.

Dengan penambahan 8 (delapan) penyelenggara fintech lending berizin yaitu, PT Duha Madani Syariah, PT Sol Mitra Fintec, PT Satustop Finansial Solusi, PT Dana Bagus Indonesia, PT Fintek Digital Indonesia, PT Solusi Teknologi Finansial, PT Komunal Finansial Indonesia, dan PT Cerita Teknologi Indonesia.

Eksistensi fintech lending di Indonesia harus sesuai dengan Pasal 10 Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (POJK LPMUBTI).

Secara lengkap Pasal 10 POJK LPMUBTI ini mengatur

  1. Penyelenggara yang telah terdaftar di OJK, wajib mengajukan permohonan izin sebagai Penyelenggara dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal terdaftar di OJK.
  2. Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah berakhir, Penyelenggara yang telah mendapatkan surat tanda bukti terdaftar dan tidak menyampaikan permohonan perizinan atau tidak memenuhi persyaratan perizinan, surat tanda bukti terdaftar Penyelenggara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (5) dinyatakan batal.
  3. Penyelenggara yang surat tanda bukti terdaftarnya dinyatakan batal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat lagi menyampaikan permohonan pendaftaran kepada OJK.
  4. Penyelenggara yang surat tanda bukti terdaftarnya dinyatakan batal sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus menyelesaikan hak dan kewajiban Pengguna sesuai dalam surat pernyataan rencana penyelesaian.
  5. Penyelenggara yang masih terdaftar dan menyatakan tidak mampu meneruskan kegiatan operasionalnya, harus mengajukan permohonan kepada OJK disertai dengan alasan ketidakmampuan, dan rencana penyelesaian hak dan kewajiban Pengguna.

Pada ketentuan Pasal 10 ayat (2) di atas apabila diinterpretasikan secara gramatikal, pelaku usaha di bidang fintech yang sudah memiliki surat tanda bukti terdaftar tidak berarti memiliki izin. Maka pelaku usaha perlu melakukan permohonan izin kepada OJK dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal terdaftar.

Hal ini terjadi pada PT Mikro Kapital Indonesia, PT Pasar Dana Teknologi, PT Teknologi Finansial Asia, dan PT Artha Simo Indonesia yang kemudian dibatalkan surat tanda terdaftarnya karena belum melakukan pemenuhan persyaratan perizinan. Selain itu OJK juga membatalkan tanda terdaftar PT Empat Kali Indonesia dan PT Indo Fintek Digital karena ketidakmampuan penyelenggara meneruskan kegiatan operasional.  

Jadi hakikatnya antara fintech terdaftar dan fintech terdaftar dan berizin memiliki perbedaan sekalipun keduanya dapat menjalankan kegiatan operasional sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Penyelenggara terdaftar dapat menjalankan kegiatan operasional hingga 1 (satu) tahun setelah mendapat tanda terdaftar dan selanjutnya wajib mengajukan permohonan perizinan, apabila tidak mengajukan permohonan perizinan maka Penyelenggara terdaftar harus mengembalikan tanda terdaftarnya kepada OJK. Sementara Penyelenggara berizin tidak memiliki masa kadaluarsa atas tanda berizin yang dimilikinya.

Menjadi kesadaran bersama dalam melakukan investasi harus berhati-hati, pastikan legalitas dan rekam jejak kinerja fintech yang ada. 

DAS

Dipromosikan