Merger Lagi “Hits”, Apa Hak Karyawan Jika di PHK Atau Tidak Ingin Bergabung?

Merger Lagi “Hits”, Apa Hak Karyawan Jika di PHK Atau Tidak Ingin Bergabung

Merger Lagi “Hits”, Apa Hak Karyawan Jika di PHK Atau Tidak Ingin Bergabung?

Aksi merger tentu berimplikasi juga pada aspek ketenagakerjaan. Ternyata UU Ciptaker punya aturan baru buat karyawan yang di PHK atau tidak ingin bergabung setelah perusahaan melakukan merger.

Akhir-akhir ini, marak terjadi aksi penggabungan atau merger perusahaan-perusahaan besar di Indonesia. Mulai dari kalangan BUMN hingga swasta.

Dari kalangan BUMN, misalnya, ada merger antara perusahaan-perusahaan BUMN yang bergerak di bidang jasa kepelabuhanan, yakni PT Pelindo I hingga PT Pelindo IV. Tak ketinggalan, baru-baru ini juga dilakukan merger antara sejumlah unit BUMN di klaster industri pangan dan pupuk.

Sementara, di swasta. Juni lalu, publik dihebohkan dengan merger dua perusahaan raksasa di bidang teknologi, yakni Gojek dan Tokopedia, yang kini menjadi GoTo. Kabarnya dua perusahaan besar di bidang telekomunikasi, yakni masing-masing perusahaan induk Indosat dan Tri, juga akan merger 1 Desember mendatang.

Dalam proses merger, tidak hanya aspek kekayaan ataupun pengendalian yang perlu diperhatikan dari perusahaan, tetapi juga hubungan kerja dengan para karyawan yang ada.

Terdapat kondisi-kondisi, ketika karyawan maupun perusahaan tidak bersedia melanjutkan hubungan kerjanya ketika perusahaan memutuskan untuk merger. Seperti halnya dalam merger Indosat dan Tri, tidak semua karyawan Tri bersedia boyongan ke PT Indosat Ooredoo Hutchison Tbk (Indosat Ooredoo Hutchison).

Lantas, bagaimana sebetulnya pengaturan hak-hak karyawan, jika terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), karena karyawan atau perusahaan enggan melanjutkan hubungan kerja berkaitan dengan keputusan merger perusahaan?

Kepentingan Karyawan

Dari sisi pelaku usaha, beberapa kewajiban perusahaan terhadap karyawan terkait PHK karena penggabungan atau merger, dapat ditinjau pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT).

Pertama, perlu diketahui terlebih dahulu pengertian dari penggabungan, yakni menurut Pasal 1 angka 9 UU PT, adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada, yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada perseroan yang menerima penggabungan, dan selanjutnya status badan hukum perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.

Menurut Pasal 123 ayat (1) UU PT, sebelum melakukan penggabungan, direksi perseroan yang akan menggabungkan diri dan menerima penggabungan pertama-tama wajib menyusun rancangan penggabungan.

Pasal 123 ayat (2) UU PT mengatur sejumlah hal yang harus dimuat dalam sebuah rancangan penggabungan perseroan. Salah satunya, adalah cara penyelesaian status, hak, dan kewajiban anggota direksi, dewan komisaris, dan karyawan perseroan yang akan melakukan penggabungan.

Setelah disusun, rancangan penggabungan diajukan kepada dewan komisaris setiap perseroan untuk mendapatkan persetujuan. Selepas mendapatkan persetujuan dewan komisaris setiap perseroan, rancangan penggabungan diajukan kepada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) masing-masing untuk mendapatkan persetujuan.

Tidak terbatas pada itu saja, masih ada beberapa kewajiban direksi sebelum melakukan penggabungan. Tercantum pada Pasal 127 UU PT, yang tidak hanya mengatur tentang penggabungan perseroan (merger), namun juga peleburan (consolidation), pengambilalihan (acquisition), dan pemisahan perseroan (demerger). Semua perbuatan perseroan ini selanjutnya akan disebut dengan corporate action.

Menurut Pasal 127 ayat (2) UU PT, maksimal 30 hari sebelum pemanggilan RUPS, direksi perseroan yang akan melakukan corporate action, berkewajiban mengumumkan ringkasan rancangan minimal pada satu surat kabar dan mengumumkan secara tertulis kepada karyawan dari perseroan yang akan melakukan corporate action.

Adanya pengumuman ini bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada pihak-pihak terkait, agar mengetahui adanya rencana tersebut, dan mengajukan keberatan jika merasa kepentingannya dirugikan.

Melalui Pasal 126 ayat (1), UU PT menegaskan bahwa dalam melakukan corporate action, perseroan wajib memperhatikan kepentingan:

  • Perseroan, pemegang saham minoritas, karyawan perseroan;
  • Kreditor dan mitra usaha lainnya dari perseroan; dan
  • Masyarakat dan persaingan usaha yang sehat.

Ketentuan ini menegaskan bahwa corporate action tidak dapat dilakukan perseroan, jika akan merugikan kepentingan pihak-pihak tertentu.

Apa Kata UU Ciptaker?

Dari sisi tenaga kerja atau karyawan, sejumlah hak karyawan terkait PHK karena penggabungan atau merger, tercantum pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Selain itu, perlu diperhatikan perubahan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker).

Pada dasarnya, merger tidak memutus hubungan kerja antara perusahaan dengan karyawannya. Namun dapat terjadi kondisi-kondisi, ketika perusahaan atau bahkan karyawan, tidak bersedia melanjutkan hubungan kerjanya, setelah perusahaan memutuskan untuk melakukan merger.

Menurut Pasal 61 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, atau hibah.

Kemudian, menurut ayat (3) pasal yang sama, jika terjadi pengalihan perusahaan, maka hak-hak karyawan menjadi tanggung jawab pengusaha baru, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian pengalihan yang tidak mengurangi hak-hak karyawan.

Jika pada akhirnya, terjadi PHK yang berkaitan dengan corporate action yang dilakukan perusahaan, UU Ketenagakerjaan juga telah mengatur sejumlah hak yang wajib diterima karyawan. Hak-hak tersebut ditentukan oleh dua kondisi berbeda.

Kondisi pertama, jika PHK terjadi karena perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan, dan karyawan tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja. Dalam kondisi ini, karyawan berhak atas uang pesangon satu kali, uang perhargaan masa kerja satu kali, dan uang penggantian hak (Pasal 163 ayat (1) UU Ketenagakerjaan).

Kondisi kedua, jika PHK terjadi karena perubahan status, penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan pengusaha tidak bersedia menerima karyawan di perusahaannya. Dalam kondisi ini, karyawan berhak atas uang pesangon dua kali, uang penghargaan masa kerja satu kali, dan uang penggantian hak (Pasal 163 ayat (2) UU Ketenagakerjaan).

Berdasarkan UU Ciptaker, Pasal 163 UU Ketenagakerjaan ini telah dihapus. Namun, melalui Pasal 154A ayat (1), UU Ciptaker tetap menyatakan, PHK dapat terjadi karena salah satunya, perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan, dan karyawan tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia menerima karyawan.

Pasal 156 ayat (1) UU Ciptaker juga mengatur, jika terjadi PHK, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

Adapun, ketentuan mengenai pemberian uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak lebih lanjut diatur dalam aturan turunan UU Ciptaker, yani Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PP No. 35/2021).

Pasal 36 PP No. 35/2021, kembali menegaskan bahwa PHK dapat terjadi karena salah satunya, perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan, dan karyawan tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia menerima karyawan.

Berbeda dengan UU Ketenagakerjaan, yang membedakan hak-hak karyawan, berdasarkan dua kondisi, atau siapa pihak yang tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja. PP No. 35/2021, menyamakan hak-hak tersebut.

Sebagaimana tercantum pada Pasal 41 PP No. 35/2021, jika terjadi PHK karena perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, atau pemisahan perusahaan, dan karyawan tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia menerima karyawan, hak-hak karyawan meliputi, uang pesangon satu kali, uang penghargaan masa kerja satu kali, dan uang penggantian hak.

Sementara, aturan perhitungan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja masih sama, antara UU Ketenagakerjaan, UU Ciptaker, serta PP No. 35/2021. Namun, untuk uang penggantian hak, kini tidak lagi meliputi, penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan, yang ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat.

AAB

Dipromosikan