Problematika dan Tantangan Penerapan Kekayaan Intelektual Sebagai Agunan

Problematika dan Tantangan Penerapan Kekayaan Intelektual Sebagai Agunan

Problematika dan Tantangan Penerapan Kekayaan Intelektual Sebagai Agunan

Selain belum adanya appraisal untuk menilai kekayaan intelektual, valuasi dan peluang menjual kekayaan intelektual masih belum memiliki tempat di pasar itu tersendiri. Pemerintah dinilai perlu siapkan lembaga institusi perantara Kekayaan Intelektual.

Hak atas kekayaan intelektual pada prinsipnya merupakan hak kebendaan yang memiliki nilai ekonomis. Memiliki nilai ekonomis, dalam perspektif komersial berarti dapat dialihkan, diperjualbelikan maupun disewakan. Nilai ekonomis dalam suatu konteks keperdataan dapat berfungsi untuk melakukan pengalihan dengan prosedur hukum yang berlaku.

Hak Kekayaan Intelektual atau HAKI adalah hak yang didapatkan dari hasil olah pikir manusia untuk dapat menghasilkan suatu produk, jasa, atau proses yang berguna untuk masyarakat. Pada dasarnya HAKI terbagi dalam berbagai macam jenis. Adapun cakupan-cakupan HAKI meliputi Hak Cipta, Paten, Desain Industri, Rahasia Dagang, Varitas Tanaman, Sirkuit terpadu dan Merek.

Seiring dalam perkembangan pasar global yang makin meningkat, HAKl dapat juga dijadikan agunan (collateral) untuk mendapatkan kredit perbankan. Diakuinya HAKI sebagai bentuk jaminan kredit pertama kali secara internasional adalah melalui sidang United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) ke-13 tahun 2008. Apabila digolongkan sebagai aset perusahaan, maka HAKI masuk dalam kategori aset tidak berwujud (intangible asset).

Paradigma berpikir mengenai HAKI tentunya mengubah mekanisme secara dasar mekanisme pengalihan HAKI. Dosen Universitas Indonesia, Ranggalawe Suryasaladin mengatakan bahwa pada awalnya HAKI dapat berpindah hanya melalui dua mekanisme yakni pemberian lisensi dan jual-beli.

“Bentuk komersialisasi HAKI ada 2 jenis. Pertama, kamu pengen gunain produk saya yang ada HAKI-nya, kamu saya kasih izinnya tapi kamu bayar royalti. Itu Namanya perjanjian lisensi. Nah itu kalau saya sebagai pemilik HAKI kalo ga punya uang untuk manufaktur produk, saya bisa Kerjasama ke kamu untuk komersialiasi HAKI, tapi tidak mengubah kepemilikan yang ada di saya. Itu namanya perjanjian lisensi. Penerima lisensi itu bayar royalty.” ujar Ranggalawe.

Di Indonesia, pengaturan mengenai jaminan perbankan dalam kekayaan intelektual telah tertuang di dalam peraturan perundang-undangan, yaitu dalam UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) dan UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten (UU Paten) yang menyatakan bahwa objek jaminan baik hak cipta dan paten dapat dibebankan Fidusia. meskipun telah dinyatakan secara tegas di dalam peraturan perundang-undangan, namun realita yang ada pemberlakuan tersebut masih mengalami kendala.

Ranggalawe Suryasaladin mengemukakan bahwa terdapat 2 sudut pandang yang dapat dijadikan acuan terkait dengan permasalahan implementasi HAKI sebagai agunan. Dilihat dari sisi pemegang HAKI, bahwa pemegang HAKI membutuhkan kredit untuk memenuhi kebutuhannya. Dilihat dari segi Lembaga pembiayaan, Lembaga pembiayaan memiliki kepentingan agar mengembalikan pinjaman yang diberikan. Lalu, bagaimana permasalahan dapat terjadi?

Kendala pertama adalah belum adanya kepastian market yang akan membeli agunan berupa kekayaan intelektual. Karena jika pasarnya tidak ada, lembaga keuangan tentu akan mengalami kesulitan ketika hendak menjual jaminan tersebut.

“Dari sudut perspektif yang lain adalah sudut Lembaga pembiayaannya. Bisa ga kalau HAKI jaminan itu dapat mendapatkan keuntungan buat dia. Mungkin kalau di Amerika, Jepang, barat, pasar tentang teknologi atau HAKI besar, jadi emang ada pasarnya. Ketika misalnya minjemin uang ke anda, kalau saya ga bayar anda gampang jualnya karena emang ada pasarnya bagi para pihak yang mau beli paten itu.” Lanjutnya.

Masalah tidak selesai sampai disitu. Dosen yang mengajar mata kuliah Hukum Kekayaan Indonesia Universitas Indonesia ini juga mengomentari bahwa appraisal atau valuasi terkait HAKI dan belum adanya ekosistem di Indonesia merupakan salah satu faktor mengapa HAKI sulit diimplementasikan dalam bentuk jaminan hutang. Menurutnya, dibutuhkan suatu institusi yang dapat menaksir nilai HAKI secara objektif. Namun, hal tersebut jarang sekali ditemui di Indonesia. Selain itu, mayoritas Lembaga appraisal berkompeten untuk menilai tangible asset. Valuasi intangible asset dinilai masih asing untuk diterapkan.

Kendala-kendala ini tidak terlepas dari ketiadaan ekosistem HAKI sebagai agunan. Menurut Ranggalawe, dibutuhkan suatu institusi perantara yang dapat menjadi ujung tombak untuk mendobrak pasar HAKI di Indonesia. Beliau mengatakan, pemerintah seharusnya dapat menjadi pendobrak Lembaga ini sebagai upaya agar meningkatkan kepercayaan sektor private lain dalam memulai usaha. Menurutnya, praktik ini sering terjadi pada tahun 80 sampai 90-an di Indonesia. Selain itu, dibutuhkan suatu Lembaga perantara yang mempertemukan antara pemegang HAKI dengan industri yang membutuhkan HAKI tersebut.

“Kalau saya cenderung sektor private untuk Lembaga-lembaga ini Cuma kalau mau sektor private berjalan, pemerintah harus gerakin dulu. Karena sektor private itu harus banget memperhitungkan untung rugi dan meminimumkan risiko. Jadi kalau ekosistem belum matang, pasti banyak yang belum berani swasta berinvestasi di bidang itu. Biasanya emang itu permasalahannya, seberapa jauh pemerintah untuk masuk kesitu. Jadi pemerintah harus menjadi ujung tombak untuk mencoba itu. Itu kan sama kayak era 80, ada loh sektor baru yang yang swastanya masih takut. Akhirnya pemerintah turun tangan untuk mencoba duluan, memberikan insentif.” tegasnya.

Perbandingan di Singapura

Berkaca dari negara lain, Singapura merupakan satu negara yang berhasil untuk mengomersialisasikan HAKI. Kementrian Perdagangan dan Industri Singapura berhasil mendirikan The Agency for Science, Technology and Research (A Star) sebagai langkah untuk menumbuhkan ekosistem penjaminan HAKI di Singapura.

Adapun Lembaga ini memiliki tujuan mendorong penelitian berorientasi misi yang memajukan penemuan ilmiah dan inovasi teknologi. Lembaga ini juga memainkan peran kunci dalam memelihara dan mengembangkan bakat dan pemimpin untuk Lembaga Penelitian, komunitas penelitian yang lebih luas, dan industri. Secara praktis, A Star menjembatani kesenjangan antara akademisi dan industri dalam hal penelitian dan pengembangan. Berdasarkan riset yang dilakukan, terdapat 5 tahapan yang A Star lakukan untuk menjembatani kesenjangan antara akademisi dan industri, yaitu :

  1. Strategy and preparation
  2. Marketing to licensees
  3. Valuation and pricing the intellectual property
  4. Negotiating the terms
  5. Signing and living with the deal

Di Indonesia sendiri, sebenarnya telah ada Lembaga berfungsi sebagai ‘biro jodoh’ antara Pemegang HAKI dengan industri. Lembaga ini bernama Business Innovation Center. BIC sendiri didirikan dengan tujuan mendorong inovasi business di Indonesia, melalui kegiatan intermediasi antara inovator pengembangan teknologi dengan dunia bisnis. Menjadi lembaga intermediasi proses inovasi bisnis, untuk menciptakan nilai tambah ekonomi dan bisnis dan daya saing nasional Indonesia. Salah satu ruang lingkup pekerjaan BIC adalah Membantu mengembangkan produk Inovasi yang sudah ada untuk di komersialkan. Walaupun sudah ada, mengapa Lembaga ini jarang terdengar di telinga masyarakat?

I Wayan Budiastra, staf ahli Menristek Dikti Bidang Teknologi Komunikasi dan Transportasi mengatakan penyebab susahnya inovasi riset dari lembaga di Indonesia yaitu karena inovasi tidak memperhatikan permintaan di pasar. Data BIC menunjukkan dari 700 hasil riset tersebut secara rinci hampir separuhnya (41 persen) dalam proses tindak lanjut, terkomersilkan (18 persen), berhenti di tengah jalan (7 persen), gagal (2 persen) dan tidak ada informasi (32 persen). Menurutnya, paradigma penawaran yang diimplementasikan BIC dianggap sesuai untuk diimplementasikan. Sehingga, diperlukan suatu perubahan paradigma penawaran menjadi permintaan.

Valuasi Merek

Tak jarang kita temui dalam praktiknya, ada jual beli merek yang kerap dilakukan oleh perusahaan besar. Hal ini tentunya karena merek yang diperjualbelikan tersebut adalah merek yang sudah terkenal dan memiliki market yang bagus. 

Semisal adalah merek teh Sariwangi yang telah beralih kepemilkannya. Alih-alih membeli perusahaan teh Sariwangi, Unilever memilih untuk membeli merek Sariwangi tersebut dari pemiliknya. Satu dan lain hal, pembelian merek ini tentu tidak akan memberikan beban kepada pembeli merek semua beban yang dimiliki oleh perusahaan pemilik awal merek Sariwangi. 

Unilever Indonesia, selaku pemilik resmi merek teh Sariwangi pernah mengeluarkan klarifikasi atas berita kepailitan Sariwangi. Unilever Indonesia menjelaskan bahwa yang dipailitkan adalah PT Sariwangi Agricultural Estate Agency yang bukan merupakan bagian dari Unilever Indonesia. Unilever Indonesia dahulu hanya pernah menjalin kerjasama dengan perusahaan tersebut namun sudah tidak lagi.

Setelah ditelusuri lebih lanjut, didapatkan informasi bahwa merek Sariwangi telah dijual kepada Unilever Indonesia pada tahun 1989 oleh pemilik sebelumnya. Penjualan merek tersebut memberikan hak kepada Unilever Indonesia untuk menjual teh di bawah bendera merek ‘Sariwangi’.

Hal ini berbeda dengan kisah ketika Unilever melakukan akuisisi perusahaan kecap Bango. Dimana awalnya memiliki sebagian sahamnya hingga akhirnya dilakukan akuisisi secara keseluruhan perusahaan kecap Bango tersebut. 

Berkaca dari hal tersebut, tentu kita bisa melihat ada valuasi dan nilai yang dimiliki oleh suatu kekayaan intelektual. Namun penghitungan valuasi terhadap merek ini tentu tidak lepas dari respon market terhadap produknya. Artinya, selama market masih merespon baik produk tersebut, merek tersebut masih dianggap bernilai. Lain halnya jika merek tersebut pernah berjaya, namun saat ini produknya sudah tidak lagi digemari oleh masyarakat. Tentunya valuasi terhadap merek tersebut akan sangat turun bahkan tidak bernilai. 

 

AN/RED

Dipromosikan