Tarif Endorse Bisa Puluhan Juta Per Post, Bagaimana Sebetulnya Aturan Perpajakan Bagi Influencer?

Tarif Endorse Bisa Puluhan Juta Per Post, Bagaimana Sebetulnya Aturan Perpajakan Bagi Influencer
Image Source by freepik

Tarif Endorse Bisa Puluhan Juta Per Post, Bagaimana Sebetulnya Aturan Perpajakan Bagi Influencer?

Jasa promosi atau endorsement sudah marak ditawarkan influencers di berbagai platform media sosial. Tarif yang dipatok pun bisa mencapai puluhan juta. Namun, para influencers ini tidak luput dari kewajiban pembayaran pajak juga lho.

Di tengah perkembangan teknologi yang serba cepat, para pelaku usaha mencoba berbagai cara untuk memasarkan produknya. Tidak lagi menggunakan cara-cara konvensional, namun cara-cara baru yang dapat menarik minat masyarakat. Salah satunya dengan melakukan endorsement ke figur-figur yang memiliki pengaruh besar di media sosial atau biasa disebut influencer.

Tarif endorsement yang dipatok oleh para influencer ini beragam, mulai dari tanpa biaya, jadi pelaku usaha cukup mengirimkan produknya saja, hingga ada yang berkisar puluhan juta. Memang, tak ada aturan yang membatasi pengenaan tarif endorsement, jadi para influencer punya kebebasan untuk menentukan tarif atau rate card-nya.

Contohnya, Rachel Vennya, selebgram yang namanya sedang melambung akhir-akhir ini, memasang tarif endorsement Rp 45 juta untuk sekali posting foto dan Rp 80 juta untuk sekali posting video di Instagram. Angka yang fantastis bukan?

Lantas, dengan pendapatan yang fantastis tersebut, apakah para influencer yang melakukan endorse ini dapat dikenai pajak? Pajak jenis apa? Perhitungannya bagaimana? Simak, ulasan berikut!

PPh Pasal 21 atau Pasal 23?

Influencer-influencer yang melakukan endorsement atau jasa promosi di media sosial, dapat dikenai pajak penghasilan atau PPh. Ketentuan-ketentuan mengenai PPh diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), sebagaimana telah diubah sebanyak 4 kali, melalui UU No. 7 Tahun 1991, UU No. 10 Tahun 1994, UU No. 17 Tahun 2000, dan UU Nomor 36 Tahun 2008.

Menurut Pasal 17 ayat (1) huruf a UU PPh, pengenaan tarif PPh terhadap Penghasilan Kena Pajak (PKP) dari Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP) dalam negeri bersifat progresif, artinya semakin tinggi besaran PKP, semakin tinggi pula persentase tarif PPh yang dikenakan. Adapun, tarif progresif PPh WPOP ini adalah:

  • 5% untuk Penghasilan Kena Pajak hingga Rp 50 juta per tahun.
  • 15% untuk Penghasilan Kena Pajak Rp 50 juta hingga Rp 250 juta per tahun.
  • 25% untuk Penghasilan Kena Pajak Rp 250 juta hingga Rp 500 juta per tahun.
  • 30% untuk Penghasilan Kena Pajak di atas Rp 500 juta per tahun.

Kemudian, untuk influencerinfluencer dapat dikenai PPh berdasarkan Pasal 21 atau Pasal 23.

Pengenaan PPh bagi influencer yang merintis sendiri atau tidak dinaungi agensi atau manajemen berlaku Pasal 21. Pihak yang memungut dan menyetorkan PPh Pasal 21 ini, ialah pengguna jasa influencer bersangkutan. Namun, influencer bersangkutan juga dapat membayar dan melaporkan pengenaan pajak itu sendiri melalui SPT Tahunan Pribadi.

Lebih lanjut, PPh Pasal 21 ini dikenakan kepada diantaranya, gaji untuk pegawai tetap, imbalan untuk tenaga kerja lepas, imbalan untuk bukan pegawai, imbalan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja (contohnya, dana pensiun), dan imbalan dalam rangka melaksanakan kegiatan.

Tarif yang dikenakan untuk PPh Pasal 21 ini sesuai dengan ketentuan Pasal 17 ayat (1) huruf a. Namun, besarnya tarif yang diterapkan bagi WPOP yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), lebih tinggi 20%, daripada tarif yang diterapkan bagi WPOP yang dapat menunjukkan NPWP.

Sedangkan, pengenaan PPh bagi influencer yang berada di bawah naungan agensi berlaku Pasal 23. Pemungutan dan penyetoran PPh ini tidak dilakukan sendiri oleh influencer bersangkutan, namun oleh agensi. Kemudian, sebagai pihak yang dipotong PPh Pasal 23, influencer bersangkutan akan menerima bukti pemotongan pajak dari agensinya.

Pasal 23 ini mengenakan PPh sebesar 2% atas imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa, manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong PPh Pasal 21.

Aturan PPh menurut RUU HPP

Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru-baru ini mengesahkan Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) menjadi undang-undang. Menurut RUU HPP, lapisan PKP tidak lagi hanya empat, namun menjadi lima. Kini terdapat lapisan PKP di atas Rp 5 miliar per tahun.

Selain itu, lapisan PKP yang dikenai tarif PPh terendah 5%, ditingkatkan dari yang sebelumnya Rp 50 juta menjadi Rp 60 juta. Menurut keterangan pers Kemenkeu, perubahan-perubahan ini ditekankan untuk meningkatkan keadilan dan keberpihakan kepada masyarakat berpenghasilan menengah dan rendah, termasuk pelaku usaha UMKM orang pribadi maupun UMKM badan. Sementara, bagi orang pribadi yang lebih mampu wajib membayar pajak lebih besar.

Sehingga, lapisan terbaru PPh WPOP, menjadi:

  • PKP hingga Rp 60 juta dikenai tarif PPh 5%.
  • PKP di atas Rp 60 juta hingga Rp 250 juta dikenai tarif PPh 15%.
  • PKP di atas Rp 250 juta hingga Rp 500 juta dikenai tarif PPh 25%.
  • PKP di atas Rp 500 juta hingga Rp 5 miliar dikenai tarif PPh 30%.
  • PKP di atas Rp 5 miliar dikenai tarif PPh 35%.

Awasi Wajib Pajak di Media Sosial, DJP Kembangkan SmartWeb

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan telah mengembangkan aplikasi SmartWeb. Aplikasi hasil pengembangan aplikasi Social Network Analytics (Soneta) yang lebih dulu dikenal publik pada 2018 silam. SmartWeb ini juga merupakan salah satu dari empat aplikasi berbasis data analisis yang dirilis DJP pada peringatan Hari Pajak 2021, 14 Juli lalu.

Ketentuan mengenai aplikasi SmartWeb ini tertuang dalam Surat Edaran (SE) DJP Nomor SE-39/PJ/2021 tentang Implementasi Compliance Risk Management dan Business Intelligence. Dari SE tersebut, diketahui definisi SmartWeb adalah, “Aplikasi berbasis graph analytics yang mampu menyajikan hubungan Wajib Pajak dalam bentuk jaringan (network), informasi Wajib Pajak Orang Pribadi Kaya (High Wealth Individual) beserta perusahaan grupnya, informasi Beneficial Owner dan Ultimate Beneficial Owner, serta indikasi risiko ketidakpatuhannya.” Aplikasi ini memiliki fungsi pengawasan dan pemeriksaan, serta penagihan.

Dilansir dari DDTCNews, dalam melakukan fungsi pengawasan dan pemeriksaan, SmartWeb memberikan gambaran jaringan dan profil WP untuk menentukan Daftar Sasaran Prioritas Penggalian Potensi (DSP3), Daftar Prioritas Pengawasan (DPP), dan Daftar Sasaran Prioritas Pemeriksaan (DSPP).

Sedangkan, dalam melakukan fungsi penagihan, SmartWeb memberikan gambaran jaringan dan profil WP untuk menentukan prognosis pencairan piutang dan rencana kegiatan penagihan.

AAB

Dipromosikan