Ketua APINDO Jabar Sarankan CSR Disatukan dengan Pajak

Agar perusahaan tidak dua kali kerja.

Ketua APINDO Jabar Dedy Widjaja (Kanan). Sumber Foto: http://disperindag.jabarprov.go.id/

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Jawa Barat Dedy Widjaja menilai bahwa idealnya aturan corporate social responsibility (CSR) atau tanggung jawab sosial perusahaan  di Indonesia bersifat sukarela, bukan pemaksaan. Hal ini disampaikannya kepada KlikLegal pada Selasa (1/8) melalui sambungan telepon. (Baca Juga: APINDO Jabar: CSR Itu Bersifat Sukarela, Bukan Paksaan).

Akan tetapi, Dedy mengatakan bahwa apabila CSR diwajibkan ataupun dipaksakan kepada perusahaan, maka hal tersebut perlu diatur serta disesuaikan dengan kondisi perusahaan serta penduduk yang ada. Hal tersebut dikarenakan pihak perusahaan dan juga penduduk setempat yang paling mengetahui situasi, kondisi, serta sumbangsih yang kiranya bisa diberikan melalui CSR.

Untuk itu, Dedy menyarankan apabila adanya aturan CSR, maka besarannya itu dapat ditambahkan dalam pajak, sehingga tidak perlu dua kali kerja. “Kalau diatur sekian atau sekian, sesuai dengan pembukuan, keuntungan, dan sebagainya, maka ditambahkan ke pajak aja kalau gitu. Kenapa harus dua kali kerja?” ujarnya.

Dedy mengatakan bahwa besaran CSR dapat dijadikan satu dengan pajak, dengan catatan perlu dilakukan pertimbangan matang mengenai persentase tersebut. Hal ini disesuaikan dengan kondisi pabrik ataupun industri yang ada di Indonesia. “Mau berapa puluh persen, atau 50% ya terserah. Tetapi kalau pada akhirnya para industri itu mati, lantas tanggung jawab siapa nantinya itu?” katanya.

Selama dilakukannya pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang CSR, Dedy menyatakan bahwa APINDO telah menyampaikan hal-hal serta permasalahan yang kiranya akan timbul pada saat aturan mengenai CSR ini diberlakukan. Menurutnya, CSR berbeda dengan pajak yang memang merupakan suatu kewajiban bagi tiap perusahaan. Akan tetapi, Dedy menilai bahwa CSR dapat digabung dengan pajak sehingga tidak perlu dua kali kerja. “Karena mengerjakan administrasinya ini capek juga kita,” ujarnya.

Selama administrasi masih tidak benar, Dedy mengatakan bahwa menjadi suatu hal yang baik apabila besaran dana CSR dititipkan melalui pajak. “Banyak CSR yang digunakan untuk kampanye, kami masih keberatan. Jadi baiknya dititipkan di pajak saja,” ujar Dedy. (Baca Juga: Ada 7 Subjek Inti dari ISO 26000 yang Dapat Menjadi Rujukan RUU CSR).

Hal lain yang mendasarkan pernyataannya tersebut adalah kabar bahwa tahun depan besaran pajak akan diturunkan, sehingga dapat diatur berapa besaran yang bisa disisihkan untuk CSR. “Misalkan satu persen ataupun berapa persen untuk CSR. Jadi bisa disatukan dengan pajak,” ujarnya.

Dedy berharap agar besaran yang disisihkan untuk CSR tersebut dapat dikembalikan lagi ke daerah tempat perusahaan yang mebayar pajak tersebut berada. “Seandainya satu persen dari pajak atau berapapun itu, maka kembalikan lagi ke daerah tersebut untuk membangun dan mensejahterakan orang-orang disana yang industrinya itu telah memberikan kompensasi kepada pemerintah,” tegasnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VIII DPR Deding Ishak menuturkan bahwa RUU CSR dibuat untuk memenuhi kebutuhan payung hukum terhadap aturan-aturan CSR di berbagai sektor. Namun, ia mengaku juga memahami masalah-masalah yang dihadapi oleh pengusaha. “Jadi nanti tentu kita juga sangat mengapresiasi, mengharagi dan bisa mendiskusikan dengan pengusaha mengenai masukan dan saran atau pun terkait dnegan pengaturan dan sebagainya,” ujarnya.

“Tetapi semangatnya adalah bagaimana semua pihak, stakeholder di Indonesia tentu harus punya kewajiban,” tukasnya.

Sebagai informasi, RUU CSR ini sebenarnya telah ditetapkan menjadi salah satu prioritas DPR yang akan dibahas pada 2017 ini di Komisi VIII DPR. Namun, Deding mengungkapkan bahwa pembahasan RUU ini ditunda untuk sementara waktu. Saat ini, Komisi VIII akan lebih fokus membahas RUU Haji dan Umroh, serta RUU Pekerja Sosial. Meski begitu, ia menuturkan tidak tertutup kemungkinan untuk menetapkan kembali RUU CSR ini menjadi prioritas pada 2018. (Baca Juga: DPR Menunda Pembahasan RUU CSR).

(LY)

Dipromosikan