Mekanisme Penangguhan Barang Impor atau Ekspor yang Diduga Bajakan Melalui Ketua Pengadilan Dinilai Kurang Efektif

Karena bisa membutuhkan waktu lama.

Wakil Ketua AKHKI Suyud Margono. Sumber Foto: Dok. Pribadi.

Wakil Ketua Asosiasi Konsultan Hak Kekayaan Intelektual (AKHKI) Suyud Margono berpendapat bahwa mekanisme penangguhan (sementara) terhadap barang ekspor atau impor yang diduga bajakan melalui perintah melalui Ketua Pengadilan Niaga setempat, tidak efektif.

“Dan yang  ini lagi-lagi akan menjadi tidak efektif karena membutuhkan waktu yang lama,“ kata Suyud kepada Klik Legal melalui sambungan telepon, Selasa (8/8) di Jakarta. (Baca Juga: Praktisi Hukum Sayangkan PP No.20/2017 Secara Teknis Hanya Cover Merek dan Hak Cipta).

Sebagai informasi, UU No.10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana diubah dengan UU No. 17 Tahun 2006 mengatur mekanisme penangguhan sementara terhadap pengeluaran barang impor atau ekspor yang diduga merupakan hasil pelanggaran merek dan hak cipta melalui perintah Ketua Pengadilan Negeri. Perintah tertulis tersebut sebagai bekal pejabat bea dan cukai untuk melakukan penangguhan.

Lalu, PP No.20 Tahun 2017 yang baru saja diterbitkan oleh Presiden Joko Widodo memperjelas ketentuan ini. PP memberikan batas waktu maksimal dua hari kerja bagi Ketua Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum kawasan pabean setempat berada untuk mengabulkan atau menolak permohonan penangguhan dari pemilik atau pemegang hak. (Baca Juga: Bagaimana Proses Penangguhan Barang Impor atau Ekspor Diduga Bajakan? Ini Tahapannya).

Menurut Suyud, proses yang melibatkan ketua pengadilan membutuhkan waktu yang lama, maka barang tersebut bisa menjadi lost, karena barang yang sudah di luar di wilayah kepabenan sudah bukan termasuk dari lingkup PP ini. “Karena ini adalah wilayah dari Kementerian Keuangan dan Pejabat Bea dan Cukai untuk menstop barang-barang yang berada di wilayah itu saja. Di luar itu bisa penyidik atau kepolisian,” ujarnya.

Untuk mendukung pelaksanaan aturan ini menjadi efektif dan efisien, Suyud menyarankan perlu adanya sinkronisasi data. Ia menjelaskan hal ini bertujuan untuk mendapatkan kepastian data dan informasi terkait dengan barang tersebut sehingga lebih cepat prosesnya dan terbukti bahwa barang tersebut ada. (Baca Juga: Sekjen MIAP Nilai PP No.20/2017 Hanya Pelengkap Pengendalian Impor atau Ekspor Barang Palsu).

Misalnya, lanjut Suyud, si pemohon dapat mengajukan permohonan data langsung dengan kepabeanan. “Nah ini mereknya, ini barang dan produknya ada dan wujudnya seperti ini. Dan ini juga harus dibantu dengan instansi terkait melalui kementerian industri bahwa merek ini memang ada. Jadi pemilik merek bukan hanya daftar merek saja, tetapi memang barangnya juga ada di market place Indonesia,” jelasnya.

“Kan sistem mereknya juga bisa memiliki kelemahan bahwa di daftar merek ternyata barangnya tidak ada. Jadi memang benar-benar si pemillik merek ini harus barangnya ada dan ternyata di kapabeanan itu dipalsukan itu dengan betul-betul sama persis memiliki persamaan pada pokoknya.,” pungkas Suyud.

(PHB)

Dipromosikan