MK Perjelas Makna “Pihak Lain” dan “Penyelidikan” dalam UU Persaingan Usaha

Penyelidikan yang dilakukan oleh KPPU bukan bagian dari pro justisia di ranah pidana.

Sidang Pengucapan Putusan Perkara Pengujian UU Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Rabu (20/9). di Gedung MK. Foto Humas/Ganie.. Sumber Foto: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian uji materiil Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Persaingan Usaha). Dalam perkara yang diajukan oleh PT Bandung Raya Indah Lestari, MK memperjelas makna “pihak lain” dan “penyelidikan” dalam UU Persaingan.

Mahkamah menafsirkan bahwa makna “pihak lain” dalam Pasal 22 hingga Pasal 24 UU Persaingan Usaha harus dimaknai sebagai “pihak yang terkait dengan pelaku usaha lain”. Mahkamah berpendapat bahwa frasa “pihak lain” sebelumnya bersifat tanpa batas dan dapat menjangkau siapa saja. Dengan tafsir MK tersebut, maka frasa itu dimaknai secara terbatas.

“Ini membuat Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) harus hati-hati dalam menentukan ada tidaknya persengkongkolan dalam dunia usaha, yakni harus disertai bukti yang kuat,” jelas Hakim Konstitusi Suhartoyo saat membacakan pertimbangan Mahkamah di Jakarta, Rabu (20/9) lalu.

UU Persaingan Usaha

Pasal 22

Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan/atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

 

Pasal 23

Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.

 

Pasal 24

Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan/atau pemasaran barang dan/atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan/atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi kurang baik dari jumlah, kualitas maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.

Selain makna frasa “pihak lain”, Mahkamah menafsirkan frasa “penyelidikan” dalam Pasal 36 huruf c, huruf d, huruf h, dan huruf I, serta Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2) UU Persaingan Usaha. Mahkamah menyatakan bahwa frasa “penyelidikan” itu harus dimaknai sebagai “pengumpulan alat bukti sebagai bahan pemeriksaan.”

Mahkamah berpendapat sesuai dengan karakteristiknya sebagai lembaga negara bantu (State Auxilary Organ), KPPU tidak melakukan penyelidikan layaknnya penegak hukum di ranah hukum pidana. Oleh karena itu, makna “penyelidikan” dalam UU Persaingan Usaha berbeda dengan makna penyelidikan dalam UU No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

“Bukan penyelidikan dalam pengertian pro justitia sebagaimana yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana,” demikian bunyi pertimbangan Mahkamah.

Sebagai informasi, perkara ini diajukan oleh PT Bandung Raya Indah Lestari. Pemohon merupakan pemenang tender pengadaan barang dan jasa pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di Bandung. Namun, KPPU kemudian memutuskan kemenangan itu batal demi hukum karena pemohon dinilai secara sah dan meyakinkan terbukti melanggara Pasal 22 UU Persaingan Usaha

Pemohon menilai bahwa KPPU telah memperluas makna “pihak lain” dalam Pasal 22 UU Persaingan Usaha sehingga tidak saja mencakup “pelaku usaha lain” sebagamana definisi persekongkolan atau konspirasi usaha yang diatur Pasal 1 angka 8 UU Persaingan Usaha. Dalam putusannya, KPPU justru menjelaskan pihak lain yang dinilai bersekongkol dengan pemohon adalah Panitia Pengadaan Badan Usaha (pihak pemerintah), mantan Walikota Bandung Dada Rosyada dan Perusahaan Daerah Kebersihan.

(ASH/PHB)

Dipromosikan