Silang Pendapat Seputar Indirect Evidence di RUU Persaingan Usaha

KPPU Mendukung, Advokat Menolak.

Komisioner KPPU Sukarmi. Sumber Foto: http://www.kppu.go.id/

Pembahasan Rancangan Undang-Undang Persaingan Usaha antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah belum dimulai. Namun, beberapa masukan dan perdebatan sudah dimulai oleh para pihak terkait. Salah satunya adalah tentang perlu atau tidaknya indirect evidence (bukti tidak langsung) diakomodir dalam RUU itu.

Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Sukarmi berharap pemerintah dan DPR membolehkan penggunaan indirect evidence melalui RUU tersebut. Alasannya untuk memudahkan tugas KPPU dalam membongkar kasus-kasus kartel. (Baca Juga: Pakar Pertanyakan Kesiapan KPPU untuk Terapkan Extraterritorial dan Leniensi).

Sukarmi menjelaskan selama ini KPPU kesulitan membongkar kartel apabila hanya mengandalkan bukti langsung (direct evidence). Ia menuturkan bahwa UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Praktek Usaha Tidak Sehat mensyaratkan bukti berupa perjanjian. “Kami berharap di RUU bisa dibolehkan indirect atau circumstantial evidence,” ujarnya dalam seminar yang diselenggarakan Indonesian Competition Lawyers Association (ICLA) dan Fakultas Hukum Universitas Trisakti di Jakarta, Senin (11/9).

Advokat Ignatius Andy tidak sependapat dengan wacana diperbolehkannya penggunaan bukti tidak langsung ini. Ia menuturkan UU No.5 Tahun 1999 yang berlaku saat ini tidak mengenal adanya bukti tidak langsung. Ia merujuk Pasal 42 UU No.5 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa alat-alat bukti pemeriksaan berupa: keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan/atau dokumen, petunjuk dan keterangan pelaku usaha.

Ignatius juga mengutip putusan Mahkamah Agung (MA) dalam perkara harga obat dan minyak goreng. Dalam putusan itu, lanjutnya, MA menegaskan bahwa alat bukti tidak langsung tidak termasuk dalam alat bukti yang dimaksud dalam Pasal 42 UU No.5 Tahun 1999. (Baca Juga: Praktisi Sesalkan RUU Persaingan Usaha Belum Mengatur Pemeriksaan Alat Bukti Secara Detail).

Lebih lanjut, Ignatius menuturkan bahwa KPPU beberapa kali mencoba menggunakan bukti tidak langsung. “Karena bukti utama nggak ada. Paling gampang memang pakai bukti tidak langsung. Dasar hukum nggak ada. Dan Cuma itu (bukti tidak langsung,-red) yang jadi dasar untuk mengeluarkan putusan,” kritiknya.

Oleh karena itu, Ignatius berharap DPR dan pemerintah lebih tegas lagi untuk melarang penggunaan bukti tidak langsung dalam RUU Persaingan Usaha. “Sebaiknya RUU Persaingan Usaha juga menegaskan hal ini agar ada kepastian hukum. Perlu ada penjelasan dalam RUU bahwa indirect evidence tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia,” tuturnya.

Mantan Hakim Agung Susanti Adi Nugroho menuturkan memang adanya polemik di kalangan ahli hukum mengenai indirect evidence dalam rezim persaingan usaha. Ia mengungkapkan ada yang beranggapan bahwa indirect evidence disamakan dengan alat bukti petunjuk, sedang ahli yang lain menolak pandangan tersebut. (Baca Juga: MA Sedang Bersiap Membuat Perma Sengketa Persaingan Usaha).

Susanti menuturkan apabila memang indirect evidence disamakan dengan bukti petunjuk, maka seharusnya dia tidak bisa berdiri sendiri. Merujuk kepada aturan KUHAP yang membutuhkan dua alat bukti, maka seharusnya indirect evidence ini – apabila disamakan dengan bukti petunjuk- juga harus diikuti dengan alat bukti lain.

Sayangnya, hal tersebut tidak dijalankan dalam praktek. “Dalam praktek putusan KPPU, adanya pelanggaran sudah dapat dinyatakan terbukti hanya berdasarkan beberapa alat bukti tidak langsung,” ujarnya.

Namun, Susanti justru cenderung memandang bahwa bukti tidak langsung dalam rezim persaingan usaha tidak sama dengan bukti petunjuk. “Pembuktian dalam perkara persaingan usaha salah satunya adalah bukti petunjuk, bukan indirect evidence,” pungkasnya.

(ASH)

Dipromosikan