Marak Fintek Jadi Pemegang Saham Perbankan, Ini Alasannya!

Maria Sagrado, Negosiator Andal yang Punya Andil Dalam Pembentukan POJK Fintech Pertama di Indonesia

Marak Fintek Jadi Pemegang Saham Perbankan, Ini Alasannya!

Fenomena masuknya fintek ke perbankan dinilai sebatas bisnis model semata layaknya perusahaan besar yang kerap mendirikan bank milik mereka sendiri.

Saat ini marak startup fintek yang berbondong-bondong menjadi pemegang saham pada perusahaan perbankan. Sebut saja Ajaib yang menjadi pemegang saham pengendali Bank Bumi Arta, Bukalapak sebagai pemegang saham sebesar 11,9% pada Allo Bank, Gojek (saat ini menjadi GoTo) melakukan investasi pada Bank Jago melalui anak perusahaannya, Gopay dengan kepemilikan saham adalah 21,4%.

Selain itu, perusahaan induk dari Shopee, SeaGroup, tercatat memiliki 94,95% saham dari SeaBank melalui Danadipa Artha Indonesia. Di sisi lain, Line Corporation memiliki 20% saham pada Bank KEB Hana dan meluncurkan bank digital bernama LINE Bank. Lalu juga ada Xendit yang dikabarkan akan mengakuisisi 51% saham Bank Sahabat Sampoerna secara bertahap.

Maraknya fintek ke perusahaan perbankan menjadi salah satu hal yang menarik ditelusuri. Partner Makarim & Taira S., Maria Sagrado, mengatakan bahwa fenomena ini sebenarnya hanya sebatas bisnis model semata. Ia menggambarkan bahwa perusahaan-perusahaan besar lainnya juga kerap kali mendirikan bank milik mereka sendiri.

“Kalau menurut saya, ini salah satu bisnis model saja. Sama seperti perusahaan-perusahaan besar lainnya, kalau sudah besar ya mereka ingin punya bank, jadi mereka bisa menyimpan uangnya di bank nya itu sendiri,” kata Maria.

Maria menambahkan bahwa memiliki bank sendiri akan memberikan kemudahan dan fleksibilitas bagi perusahaan untuk dapat memanfaatkan uang yang telah dihimpun dari masyarakat. Bagi perusahaan-perusahaan fintek, dana yang mereka gunakan tersebut akan lebih mudah jika ditempatkan pada bank milik mereka sendiri.

“Tidak ada salahnya memiliki bank sendiri, dimana mereka bisa lebih fleksibel dalam hal pengaturan bisnis model di antara para perusahaan terafiliasi. Untuk fintek juga kan dana yang diputarkan itu lumayan, jadi memang ini bisnis model yang cocok bagi mereka,” lanjut Maria.

Maria mengatakan bahwa negosiasi akan lebih mudah bagi fintek apabila mereka memiliki bank sendiri atau menjadi pemegang saham mayoritas pada suatu perbankan yang sudah ada.

“Negosiasi akan lebih mudah karena tidak terlalu tough seperti melakukan negosiasi dengan perusahaan yang bukan afiliasi,” lanjutnya.

Masuknya perusahaan-perusahaan fintek ke bisnis perbankan sebagai pemegang saham juga didasarkan atas kemudahan bagi mereka untuk mengembangkan lini bisnis yang dimiliki. Hal ini disebabkan tindakan akuisisi jauh lebih mudah untuk dilakukan dibandingkan dengan harus membuka bank sendiri, karena membuka bank itu membutuhkan persyaratan-persyaratan yang rumit dan memakan waktu yang lama.

“Akuisisi lebih efisien dibanding membuka bank sendiri, karena opening a bank (membuka bank) itu requirements-nya berat, prosesnya akan lama,” kata Maria.

Maria juga mengatakan bahwa bank harus siap dengan adanya perubahan ini, termasuk dengan mulai menjamurnya perusahaan fintek yang ingin menjadi pemegang saham mayoritas perusahaan perbankan. Perubahan-perubahan tersebut akan menantang perbankan dalam beradaptasi dan tetap relevan dalam perkembangan zaman.

“Sebenarnya kalau menurut saya, harus adaptable. Saya ingat waktu dulu itu, ada brand taksi sangat menentang dengan munculnya Ojek Online. Tapi akhirnya mereka adapt, mereka sekarang bisa terima pembayaran dengan e-money, bisa dipesan secara online, dan berkolaborasi dengan ride hailing,” kata Maria.

 

FDW

Dipromosikan