Komisi VI Masih Menimbang Untung Rugi Ratifikasi Protokol Amandemen Perjanjian WTO

Indonesia masih tergolong ‘sopan’ di WTO, apabila disbanding Amerika Serikat atau Uni Eropa.

Suasana Rapat Kerja Komisi VI dengan Menteri Perdagangan beberapa waktu lalu. Sumber Foto: http://www.kemendag.go.id

Sejumlah pimpinan dan anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang membidangi perindustrian, investasi dan persaingan usaha sedang menimbang untung rugi bagi Indonesia apabila mengesahkan Perjanjian Protocol Amending the Marrakesh Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO) sebagai undang-undang.

Hal tersebut terlihat dalam Rapat Kerja Komisi VI dengan Menteri Perdagangan di Gedung DPR, Rabu (31/5). Dalam forum itu, sejumlah komentar dan pertanyaan ditujukan kepada Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita yang hadir sebagai wakil pemerintah.

Anggota Komisi VI dari Fraksi Demokrat Sartono mengatakan selain efek positif, perlu juga dipertimbangkan efek negatif apabila Indonesia meratifikasi perjanjian tersebut. “Banyak hal yang harus kita pertimbangkan, termasuk efek negatifnya,” ujarnya.

Sartono menuturkan bahwa mayoritas penduduk Indonesia bermata-pencaharian sebagai petani. Ia mengatakan apabila perjanjian ini diterapkan di Indonesia, maka itu akan mendorong Indonesia sebagai bangsa industri. Hal-hal semacam ini yang perlu diperhatikan pemerintah dan DPR sebelum meratifikasi perjanjian ini.

Sedangkan, Wakil Ketua Komisi VI DPR Bowo Sodik Pangarso justru mempertanyakan kesiapan pemerintah terkait sumber daya manusia dan infrastruktur sebelum meratifikasi perjanjian ini. Menurutnya, SDM dan infrastuktur perlu dipersiapkan jauh-jauh hari sebelum perjanjian ini berlaku di Indonesia. “Apa Indonesia betul-betul siap? Kalau belum siap, kita bisa kena penalty dan bisa terjadi kerugian negara,” tukasnya.

Anggota Komisi VI dari Daerah Pemilihan (Dapil) DKI Jakarta II Melani Leimena Suharli menyoroti dampak perjanjian ini bagi Usaha Kecil Menengah di DKI Jakarta yang sedang tumbuh. “Apa dampaknya bagi UKM di Jakarta? Apa dampak protocol amending Marrakesh Agreement ini untuk perekonomian di Jakarta?” tanyanya.

Indonesia Terlalu “Sopan”

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menjawab bahwa Pemerintah Indonesia sudah sangat siap meratifikasi perjanjian ini. “Ya, kami tidak akan bawa ini kalau belum dibahas di internal pemerintah. Seluruh lembaga dan Kementerian terkait sudah siap (termasuk SDM dan infrastruktur,-red). Kami di Perdagangan kan di ujung saja,” ujarnya.

Enggartiasto juga menegaskan bahwa penerapan perjanjian ini di Indonesia juga bisa berdampak positif bagi UKM di Indonesia. “Ini kan memperluas pasar. Kita harus mempersiapkan mereka masuk ke sana,” ujarnya.

Lebih lanjut, Enggartiasto mengatakan bahwa Indonesia sebagai salah satu pendiri WTO akan memanfaatkan momen ini secara maksimal dengan anggota-anggota WTO lainnya. “Baik pasar lokal maupun ekspor itu tantangan kita,” tuturnya.

Sebelumnya, di awal rapat kerja, Enggartiasto menegaskan bahwa pengesahan perjanjian ini sangat dibutuhkan untuk menunjang kinerja Indonesia di WTO. “Dalam bahasa yang sederhana, kehadiran Indonesia di WTO belum maksimal bila belum mengamandemen sesuai perjanjian ini. Ada beberapa hal yang tidak bisa kita lakukan,” ujarnya.

Salah satunya, lanjut Enggartiasto, ada beberapa hal yang seharusnya bisa diadukan ke WTO, tetapi belum bisa dilakukan sebelum meratifikasi perjanjian ini. “Apalagi apabila dilihat dari jumlah keberatan, Indonesia ini sopan sekali, jumlah keberatan di WTO hanya ratusan. Lebih sedikit dibanding Uni Eropa dan Amerika Serikat yang masing-masing mencapai ribuan,” pungkasnya.

(ASH)

Dipromosikan