Pemerintah Terus Kaji Kewajiban Spin Off Unit Usaha Syariah

Pemerintah Terus Kaji Kewajiban Spin Off Unit Usaha Syariah

“Beberapa tahun belakangan, OJK secara intens sudah berdiskusi untuk melihat prospek kewajiban spin off Unit Usaha Syariah (UUS).”

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyampaikan bahwa pihaknya dan berbagai stakeholders perbankan syariah, tengah melakukan kajian mengenai kewajiban untuk melakukan spin off atau pemisahan Unit Usaha Syariah (UUS).

Dalam beberapa tahun belakangan, OJK secara intens sudah berdiskusi untuk melihat prospek kewajiban spin off UUS ke depan, baik dari industri perbankan syariah, Asosiasi Perbankan Syariah Indonesia (Asbisindo), kementerian dan lembaga lain, termasuk Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS).

Menurut Deputi Komisioner Pengawas Perbankan I OJK, Teguh Supangkat, saat ini perkembangan dan kinerja UUS cukup memuaskan, mengacu pada pertumbuhan aset yang lebih tinggi dari Bank Umum Syariah. 

Selain itu, apabila dilihat dari sisi efisiensinya, keberadaan UUS dianggap lebih efisien dari BUS. Hal ini mengingat UUS beroperasi dengan menggunakan infrastruktur dari Bank Umum Konvensional.

Hingga saat ini, tercatat sudah terdapat 21 UUS dari hasil spin off yang dilakukan oleh Bank Umum Konvensional (BUK).

Pada dasarnya, kewajiban spin off tersebut mengacu pada Pasal 68 UU 21/2008 tentang Perbankan Syariah, spin off UUS wajib dilakukan maksimal 15 tahun sejak diterbitkannya undang-undang tersebut. Dengan demikian, batas waktu UUS menjadi Bank Umum Syariah (BUS) adalah 16 Juli 2023.

Kewajiban spin off berlaku untuk UUS yang sudah memiliki nilai aset 50% dari total nilai bank induknya. Pemisahan tersebut harus dilakukan dalam jangka waktu 15 tahun sejak UU 21/2008 tentang Perbankan Syariah tersebut diundangkan.

Konsolidasi Menjadi Jawaban

Kewajiban spin off perbankan memang mengalami beberapa kendala. Beberapa pihak mengatakan bahwa kinerja BUS yang ada saat ini rupanya kalah jauh dari UUS. Kemudian, sebagian besar UUS terutama yang ada di bawah Bank Pembangunan Daerah (BUS) terkendala dari sisi permodalan.

Menanggapi hal tersebut, pengamat ekonomi perbankan Universitas Bina Nusantara, Doddy Ariefianto menilai konsolidasi merupakan langkah paling ideal bagi UUS untuk memisahkan diri di tengah tenggat waktu yang semakin menipis.

Menurutnya konsolidasi atau integrasi dapat lebih menjamin bank semakin kuat dari sisi permodalan, sehingga sesuai tujuan awal kewajiban spin off UUS, yakni memperkuat industri keuangan syariah.

“Bank itu kan bisnis padat modal, kalau tidak punya modal kuat, bisnisnya di situ saja. Uang Rp 1 triliun, Rp 3 triliun sebagai syarat modal inti itu uang yang banyak sekali untuk UUS,” kata Doddy melalui keterangan tertulis.

Dengan konsolidasi, bank seharusnya mendapatkan keuntungan, baik yang melepas maupun yang mengakuisisi. Dalam kasus BTN misalnya, satu sisi BSI terbilang kuat untuk merangkul BTN Syariah dan BTN mendapatkan tambahan modal baru untuk meningkatkan rasio permodalan.

Hal ini juga didukung oleh Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso, yang menyarankan UUS yang hendak spin off namun terhambat dari sisi permodalan dapat memilih jalan konsolidasi. 

“Saya mengusulkan solusi agar melakukan konversi atau penggabungan sehingga modalnya cukup,” katanya.

Hal ini juga mengacu pada POJK 59/2020 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemisahan UUS. Dalam peraturan tersebut, OJK memberikan tiga opsi bagi UUS untuk berpisah dengan induknya.

Pertama, dengan bertransformasi menjadi bank umum syariah (BUS). Kedua, mengalihkan hak dan kewajiban UUS kepada bank syariah yang telah ada. Ketiga, mengalihkan hak dan kewajiban kepada bank konvensional yang melakukan perubahan kegiatan usaha menjadi bank syariah.

 

MH

Dipromosikan