Registrasi PSE Dinilai Langgar Kebebasan Berekspresi dan Hak Atas Privasi

Registrasi PSE Dinilai Langgar Kebebasan Berekspresi dan Hak Atas Privasi
Image Source by kompas.com

Registrasi PSE Dinilai Langgar Kebebasan Berekspresi dan Hak Atas Privasi

“Dalam Permenkominfo 10/2021 ditemukan beberapa pasal yang dianggap dapat mengancam kebebasan berekspresi dan hak atas privasi masyarakat.”

Sejak bulan Juni lalu,  Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia mengumumkan terkait dengan batas waktu pendaftaran penyelenggara sistem elektronik (PSE) pada lingkup privat melalui Online Single Submission (OSS). Ketentuan tersebut mengacu pada Hal ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 (PP 71/2019) dan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 10 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 (Permenkominfo 10/2021) tentang Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat.

Namun, kebijakan tersebut kemudian menuai kritikan dari berbagai kalangan masyarakat. Pasalnya, dalam peraturan menteri yang menjadi dasar pendaftaran PSE ditemukan beberapa pasal yang dianggap sebagai pasal karet. Menurut Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), terdapat tiga pasal bermasalah dalam Permenkominfo 10/2021 yang dapat mengancam kebebasan berekspresi dan hak atas privasi masyarakat, yaitu:

Pertama, Pasal 9 ayat (3) dan ayat (4) tertulis bahwa pemilik platform tidak boleh mencantum informasi-informasi yang sifatnya “dilarang” ataupun memfasilitasi pertukaran data-data yang sifatnya “dilarang”. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan data yang bersifat dilarang adalah data yang dianggap melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan dan dapat meresahkan masyarakat serta mengganggu ketertiban umum.

Namun, definisi “meresahkan masyarakat” dan “mengganggu ketertiban umum” tidak dijelaskan secara rinci dalam perma tersebut sehingga bersifat sangat luas dan dapat menimbulkan arti ganda. Oleh karena itu, pasal ini dapat digunakan oleh aparatur keamanan negara untuk mematikan kritik masyarakat.

Kedua, Pasal 14 mengenai pemberian wewenang kepada Kementerian, aparat penegak hukum dan lembaga peradilan untuk melakukan pemutusan akses terkait informasi elektronik maupun dokumen elektronik yang dilarang dinilai membatasi kebebasan berekspresi, berpendapat, dan hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan publik secara damai.

Lebih lanjut, pada pasal 14 ayat 3 tercantum bahwa pemutusan akses dapat dilakukan dengan “mendesak” terkait dengan terorisme, pornografi anak, dan konten yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, makna frasa meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum terlalu luas sehingga dapat menimbulkan kesewenang-wenangan.

Ketiga, pada Pasal 36 Permenkominfo No. 5/2020 aparat penegakan hukum diberikan wewenang untuk meminta PSE lingkup privat agar memberikan akses terhadap konten komunikasi dan data pribadi. Hal ini tentu sangat menyalahi hak atas privasi masyarakat dan sangat rentan adanya penyalahgunaan untuk dalam praktik penegakan hukum.

Memiliki pendapat yang sama, peneliti Center of Indonesian Policy Studies (CIPS) Pingkan Audrine Kosijungan, menilai aturan soal Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat, mengancam kebebasan berekspresi lantaran tak memberikan batasan yang jelas.

Pingkan menambahkan, implementasi regulasi yang berkaitan dengan User Generated Content (UGC) atau konten buatan pengguna di Indonesia masih perlu diperjelas karena mengancam kebebasan berekspresi.

“Pembatasan ini dilakukan melalui UU dan peraturan. Namun, dengan tidak jelasnya batasan “meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum”, pembatasan yang ada bisa memperburuk kebebasan berekspresi di Indonesia,” ucap Pingkan.

 

MH

Dipromosikan