“Gugatan Perubahan Iklim” oleh Warga Pulau Pari kepada Holcim Limited, Apa itu?

“Gugatan Perubahan Iklim” oleh Warga Pulau Pari kepada Holcim Limited, Apa itu?
Image Source by rm.id

“Gugatan Perubahan Iklim” oleh Warga Pulau Pari kepada Holcim Limited, Apa itu?

“Litigasi perubahan iklim diartikan sebagai kasus yang diajukan pada badan administratif, pengadilan, dan badan investigasi lainnya yang mengangkat permasalahan hukum terkait dengan perubahan iklim.”

Beberapa waktu belakangan, sebanyak empat warga dari Pulau Pari, Kepulauan Seribu diketahui menggugat perusahaan semen Holcim Limited kepada lembaga konsiliasi Swiss. Gugatan ini didasari oleh kegiatan perusahaan yang dinilai oleh penggugat berdampak terhadap lingkungan tempat mereka tinggal serta memperburuk terjadinya perubahan iklim.

Dilansir dari The Guardian, keempat warga Pulau Pari ini memintakan Holcim Limited agar membayarkan sejumlah kompensasi atas dampak lingkungan yang ditimbulkan dari aktivitas usahanya. Sebab, menurut penelitian lembaga swadaya (LSM) masyarakat Swiss Church Aid selaku LSM yang mendukung kasus ini, naiknya permukaan laut di sekitar Pulau Pari telah menyebabkan peningkatan banjir dan kerusakan parah pada rumah, jalan, dan bisnis lokal.

“Sebagian besar pulau kemungkinan akan tenggelam di bawah air selama beberapa dekade mendatang kecuali ada pengurangan cepat dalam emisi karbon global,” ujar Swiss Church Aid dikutip The Guardian, Jumat, (26/08/2022).

Secara spesifik, para penggugat tersebut memintakan kompensasi masing-masingnya setara dengan £ 3000 sebagai sebagai kontribusi untuk mengelola darurat iklim di pulau itu, seperti menanam bakau dan membangun pertahanan banjir. Selain itu, mereka juga ingin Holcim mengurangi emisi gas rumah kacanya sebesar 43% pada tahun 2030 dan 69% pada tahun 2040.

Mengetahui akan hal ini, Holcim Limited diketahui tidak memberi tanggapan apapun kepada publik yang berkaitan langsung dengan gugatan ini. Manajemen perusahaan diketahui hanya mengatakan bahwa pihaknya telah ‘mengambil tindakan iklim dengan sangat serius” dan telah secara signifikan mengurangi jejak CO2 selama dekade terakhir.

“Perusahaan telah menetapkan target dekarbonisasi berbasis sains, termasuk komitmen untuk mengurangi emisi absolut lingkup 3 sebesar 90% pada tahun 2050, dibandingkan dengan tahun 2020. Untuk tahun 2030, perusahaan memiliki target untuk mengurangi intensitas CO2 dan jumlah emisi CO2 per ton bahan semen,” dikutip artikel tersebut.

Kenali Bentuk Litigasi “Perubahan Iklim”

Dikutip dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), litigasi perubahan iklim diartikan sebagai kasus yang diajukan pada badan administratif, pengadilan, dan badan investigasi lainnya yang mengangkat permasalahan hukum terkait dengan perubahan iklim serta upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Bentuk litigasi seperti ini sejatinya telah dilakukan sebelumnya dalam beberapa kasus di luar negeri, yakni dalam kasus LSM Milieudefensie v. Shell. Dalam kasus ini, Milieudefensie bersama enam organisasi dan 17.000 penggugat lainnya menggugat Royal Dutch Shell yang merupakan perusahaan minyak dan gas multinasional.

Berdasarkan putusan pengadilan, Royal Dutch Shell harus mengurangi emisi CO2 sebesar 45% dalam waktu 10 tahun (tahun 2030). Bahkan, Hakim pemutus perkara pun tanpa ragu menyatakan bahwa aktivitas Shell menyebabkan terjadinya perubahan iklim dan harus menghentikan perilaku merusaknya tersebut sekarang juga.

Selain itu, poin-poin penting dalam putusan kasus ini, diantaranya menetapkan: 1) Shell bertanggung jawab atas emisi dari pelanggan dan pemasok; 2) Terdapat ancaman pelanggaran hak asasi manusia terhadap ‘hak untuk hidup’ (right to life) dan ‘kehidupan keluarga yang tidak terganggu’ (undisturbed family life), serta 3) Shell harus mematuhi putusan ini sesegera mungkin karena kebijakan iklim Shell sekarang belum cukup konkret.

Di Indonesia, upaya litigasi ini sejatinya juga telah digunakan dalam beberapa kesempatan. Kendati demikian, terdapat masalah substansial yakni terkait penerapan hukum dalam gugatan perubahan iklim.

Penelitian yang dilakukan Wibisana dan Cornelius juga menunjukkan bahwa sebagian besar gugatan litigasi perubahan iklim di Indonesia menempatkan isu perubahan iklim sebagai isu sekunder dari isu utama. Sehingga, bentuk litigasi yang secara langsung mengaitkan perubahan iklim sebagai permasalahan utama ini masih jarang terjadi di Indonesia.

 

AA

Dipromosikan