Ojol Minta agar Status Kemitraan Diubah Jadi Hubungan Kerja, Apa Bedanya?

Ojol Minta agar Status Kemitraan Diubah Jadi Hubungan Kerja, Apa Bedanya
Image Source by wongjember.com

Ojol Minta agar Status Kemitraan Diubah Jadi Hubungan Kerja, Apa Bedanya?

“Driver ojol dalam hal ini tidak dapat menuntut hak-hak seorang pekerja sebagaimana yang berhubungan dengan UU 13/2002.”

Beberapa hari lalu, sejumlah pengemudi ojek online (ojol) melakukan aksi demonstrasi di depan Gedung DPR RI di Jakarta. Aksi tersebut dilakukan untuk menuntut kepada pemerintah salah satunya agar pengemudi ojol dapat diakui sebagai pekerja tetap.

Permintaan dari sejumlah pengemudi ojol yang mengikuti aksi tersebut didasari karena mereka merasa bahwa Hubungan Kemitraan antara penyelenggara layanan dengan pengemudi ojol yang selama ini terjadi tidaklah berjalan sebagaimana mestinya.

“Sebagai mitra, seharusnya pengemudi juga memiliki hak atas keuntungan dan aset, dan bukan diperlakukan sebagai alat pencari uang oleh perusahaan. (Saat ini) seluruh kerusakan dari aset, seperti kendaraan dan sebagainya ditanggung oleh pengemudi itu sendiri,” ujar Koalisi Ojol Nasional (KON) dalam aksi tersebut dikutip PikiranRakyat.com, Rabu, (31/08/2022).

Terlebih, mereka juga menilai bahwa pengemudi ojol di Indonesia selama ini tidak terpenuhi haknya dari segi pendapatan, jaminan sosial, jaminan kesehatan, dan sejumlah hak lainnya. Sehingga, mereka merasa bahwa paling tepat agar status Hubungan Kemitraan yang selama ini terjalin antara kedua belah pihak tersebut diubah skemanya menjadi Hubungan Kerja.

Sebagaimana diketahui, Hubungan Kemitraan ojol di Indonesia secara spesifik diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UU 20/2008) dan perubahannya dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU No. 11/2020).

Dalam UU 20/2008 disebutkan bahwa: “Kemitraan adalah kerja sama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, memperkuat, dan menguntungkan yang melibatkan pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dengan Usaha Besar,” bunyi Pasal 1 angka 13 UU No. 20/2008.

Dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa Hubungan Kemitraan ini menganut asas hubungan koordinatif dimana terdapat kedudukan yang setara yang terjadi antara para pihak dalam suatu hubungan hukum tersebut.

Diatur dalam UU No. 20/2008 ini bahwa para pihak dalam Hubungan Kemitraan seharusnya memiliki bargaining position yang sama-sama kuat sehingga dalam praktiknya diharapkan tidak terjadi ketimpangan baik itu dalam tahapan perencanaan maupun dalam tahapan pelaksanaan keputusan bisnis.

Lain halnya dengan Hubungan Kerja, dalam skema ini hubungan antara para pihak yang terlibat di dalamnya diatur sebagai subordinatif atau dengan kata lain tidak setara. Sehingga, hubungan hukum antara para pihak dalam Hubungan Kerja ini dilihat sebagai pemberi kerja yang memerintahkan pekerja untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu, atau dengan kata lain pihak pekerja disini bekerja “di bawah perintah” si pemberi kerja.

Berbicara mengenai hak, dalam UU 20/2008 diatur bahwa hak dari para pihak dalam Hubungan Kemitraan dikembalikan lagi kepada kesepakatan antara kedua belah pihak yang terlibat didalamnya. Negara dalam hal ini tidak bisa melakukan intervensi dalam hal tersebut untuk menentukan secara pasti batas minimum hak salah satu pihak dalam Hubungan Kemitraan ini karena sifatnya yang keperdataan.

Lain halnya dengan Hubungan Kerja yang diatur dalam UU No. 13/2003 dimana negara secara absolut memberikan dan menjamin hak-hak seorang pekerja seperti halnya upah minimum ataupun hak lainnya seperti diantaranya:

  1. Hak untuk memperoleh jaminan Jaminan Sosial dan Keamanan, Kesehatan, serta Keselamatan Kerja (K3);
  2. Hak untuk berserikat, hak untuk mengembangkan potensi;
  3. Hak untuk libur, cuti, dan istirahat;
  4. Hak memperoleh perlindungan terhadap PHK;
  5. Hak untuk mogok kerja;
  6. Hak bekerja sesuai aturan jam kerja; dan
  7. Sejumlah hak khusus untuk karyawan perempuan.

Perlu diingat bahwa driver ojol dalam Hubungan Kemitraan ini adalah seorang mitra dan bukan seorang karyawan/pekerja. Sehingga, driver ojol dalam hal ini tidak dapat menuntut hak-hak seorang pekerja sebagaimana yang berhubungan dengan UU 13/2002 tersebut.

Usulkan dua skema

Ketua Presidium Gabungan Aksi Roda Dua (Garda) Igun Wicaksono juga berharap, pengemudi ojek online di Tanah Air bisa menjadi karyawan. Ia usul agar perusahaan aplikasi membuat dua skema yakni mitra dan karyawan.

Ia mencontohkan, pengemudi yang menjadi mitra selama satu atau dua tahun dengan prediksi baik atau tanpa banyak keluhan, maka bisa mengajukan diri menjadi karyawan. “Ini agar kesejahteraan dan jaminan bekerja terjamin dengan adanya sistem pengupahan karyawan,” ujar Igun dikutip Katadata.co.id, Rabu, (31/08/2022).

Kementerian pun membahas potensi perubahan status itu ketika merancang peraturan tentang taksi online pada 2017. Aturan itu kemudian dicabut oleh Mahkamah Agung (MA).

Lantas, hal itu sempat dibahas lagi saat Kemenhub mengkaji Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 118 Tahun 2018. “Saat itu pernah diwacanakan. Kalau merekrut (mitra pengemudi) seperti menarik karyawan. Itu sudah dibahas, tapi tidak bisa,” tutur Mantan Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Budi Setyadi dikutip Katadata.co.id, Rabu, (31/08/2022).

 

AA

Dipromosikan