Digunakan Sebagai Dalih Kuat Ma’ruf di Persidangan, Ini Makna “Niat” dalam Hukum Pidana

Digunakan Sebagai Dalih Kuat Ma’ruf di Persidangan, Ini Makna Niat dalam Hukum Pidana
Image Source by detik.com

Digunakan Sebagai Dalih Kuat Ma’ruf di Persidangan, Ini Makna “Niat” dalam Hukum Pidana

“Niat dalam hukum pidana sejatinya disebut juga sebagai suatu mens rea. Untuk menentukan mens rea dalam suatu perbuatan kejahatan, terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan untuk menilainya.”

Rabu, 02 November 2022 yang lalu, persidangan pidana mengenai kasus pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J dilangsungkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan terdakwa asisten pribadi Ferdy Sambo, Kuat Ma’ruf.

Dalam persidangan tersebut, Kuat memberikan penjelasan kepada Majelis Hakim bahwa dirinya sama sekali tidak memiliki niat untuk membunuh Brigadir J. “Saya berharap biar proses pengadilan yang akan menentukan salah atau tidaknya saya. Karena demi Allah saya tidak ada niat seperti yang didakwakan kepada saya,” kata Kuat di persidangan dikutip Sindo, Rabu (2/11/2022).

Jika berbicara mengenai hukum pidana, kata “niat” itu sendiri memiliki pemaknaan serta pendefinisian khusus secara tersendiri. Lantas, tahukah anda makna dari suatu “niat” dalam hukum pidana?

Niat dalam hukum pidana sejatinya disebut juga sebagai suatu mens rea. Untuk menentukan apakah seseorang memiliki suatu mens rea akan suatu perbuatan kejahatan, terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan untuk menilainya.

Zainal Abidin dalam bukunya “Hukum Pidana” menjelaskan bahwa sejatinya unsur-unsur dalam mens rea itu ada beberapa seperti diantaranya yakni:

  1. Kemampuan Bertanggung Jawab
  2. Kesalahan Dalam Arti Luas:
    1. Dolus (kesengajaan).
    2. Culpa (kelalaian)

Berkaitan dengan kemampuan bertanggungjawab, S.R. Sianturi dalam bukunya “Asas-Asas Hukum Pidana dan Penerapannya” menjelaskan bahwa seseorang dapat dikatakan mampu bertanggungjawab apabila pada umumnya keadaan jiwanya tidak terganggu oleh penyakit terus menerus atau sementara, tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbecile) dan tidak terganggu karena terkejut, hypnotisme, amarah yang meluap, pengaruh bawah sadar/reflexe deweging.

Dolus atau kesengajaan

Lebih lanjut, berkaitan dengan unsur kesalahan dolus atau kesengajaan, terdapat beberapa teori yang dapat digunakan untuk menafsirkan apakah seseorang memiliki suatu kesengajaan terhadap suatu perbuatan atau tidak. Salah satu teori yang biasa digunakan adalah teori kesengajaan tidak berwarna.

Mengutip dari buku Sofjan Sastrawidjaja yang berjudul “Hukum Pidana”, teori kesengajaan tidak berwarna menjelaskan bahwa seseorang melakukan suatu tindak pidana sudah cukup dengan hanya menghendaki perbuatannya dengan tidak diharuskan mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya itu dilarang dan diancam pidana oleh undang-undang.

Bentuk-bentuk kesengajaan

Bentuk-bentuk kesengajaan itu sendiri sebagaimana diketahui terdapat 3 (tiga) jenisnya, yakni sengaja sebagai niat, sengaja sadar akan kepastian atau keharusan, dan sengaja sadar akan kemungkinan.

Sengaja sebagai niat/maksud/tujuan berarti apabila perbuatan yang dilakukan atau terjadinya akibat adalah memang menjadi tujuan si pembuat. Sebagai contoh, A menebas B dengan sebilah parang di bagian kepala memang dengan tujuan agar B mati bukan untuk melukai. Bentuk kesengajaan di sini adalah “sengaja sebagai tujuan/maksud”

Kemudian, sengaja sadar akan kepastian disini berarti apabila perbuatan yang dila kukan atau terjadinya suatu akibat bukanlah yang dituju untuk mencapai perbuatan. Sebagai contoh, A berniat mencuri laptop di dalam sebuah mobil yang ditinggal pemiliknya. Untuk mencapai tujuannya A pasti/harus memecahkan atau merusak kaca mobil agar A bisa mengambil laptop tersebut. Perbuatan A mengambil laptop orang lain merupakan “sengaja sebagai tujuan/ maksud” sedangkan perbuatan A memecahkan kaca mobil merupakan “sengaja insyaf akan kepastian”.

Lebih lanjut, Kesengajaan sadar akan kemungkinan atau kesengajaan bersyarat berarti apabila dengan dilakukannya perbuatan atau terjadinya suatu akibat yang dituju itu maka disadari adanya kemungkinan akan timbulnya akibat lain. 

Sebagai contoh, A mempunyai kegemaran mengendarai mobil dalam keadaan kencang. Suatu hari A ngebut di jalan yang banyak orang berjalan kaki. A menyadari bahwa dengan mengebut, besar kemungkinan akan ada pejalan kaki yang akan tertabrak. Akan tetapi, demi kegemarannya A tidak menghiraukan nasib anak-anak itu dan terus saja ngebut. Akhirnya A menabrak salah seorang pejalan kaki hingga meninggal. Meskipun matinya pejalan kaki tersebut tidak dikehendaki oleh A maka A dapat dipersalahkan atas matinya orang itu dengan sengaja yakni “sengaja insyaf akan kemungkinan.”

Culpa atau kelalaian

Adapun berkaitan dengan suatu culpa atau kelalaian, ilmu pengetahuan hukum pidana dan yurisprudensi menafsirkannya sebagai “kurang mengambil tindakan pencegahan” atau “kurang berhati-hati”.

Sofyan Sastrawidjaja dalam bukunya “Hukum Pidana” menjelaskan bahwa kealpaan mempunyai 2 (dua) unsur, yaitu pembuat dapat “menduga terjadinya” akibat dari perbuatannya dan pembuat “kurang berhati-hati” (pada pembuat ada kurang rasa tanggungjawab).

Dapat menduga terjadinya akibat bermakna bahwa harus ada hubungan antara batin pembuat dengan akibat yang timbul karena perbuatannya. Selain itu pula harus ada hubungan lahir yang merupakan hubungan kausal antara perbuatan perbuatan dengan akibat yang dilarang.

Oleh karena itu, apabila seseorang memenuhi unsur kemampuan bertanggungjawab dan juga kesalahan dalam suatu perbuatan pidana, maka sejatinya orang tersebut dapat dikatakan memiliki mens rea dan terhadapnya dapat untuk dimintai pertanggungjawaban.

Akan tetapi, berkaitan dengan kesaksian Kuat Ma’ruf hingga kini proses peradilan masih berlangsung dalam rangka untuk mencari kebenaran materiil serta menguji apakah masing-masing terdakwa tersebut memiliki mens rea ataupun tidak dalam kasus ini.

 

AA

Dipromosikan