Akademisi Hukum Pidana UNAIR Soroti Pertimbangan Putusan Doni Salmanan dan Indra Kenz Berbeda

Akademisi Hukum Pidana UNAIR Soroti Pertimbangan Putusan Doni Salmanan dan Indra Kenz Berbeda
Image Source by jurnalsorean.com

Akademisi Hukum Pidana UNAIR Soroti Pertimbangan Putusan Doni Salmanan dan Indra Kenz Berbeda

“Menurut Akademisi Hukum Pidana Universitas Airlangga, Riza Alifianto Kurniawan, Doni Salmanan tidak dikenakan vonis atas delik TPPU karena Majelis Hakim kurang memeriksa dan mengembangkan perbuatan pidana yang dilakukan Doni terhadap delik TPPU-nya itu sendiri.”

Beberapa waktu lalu, Doni Salmanan, telah dijatuhi putusan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bale Bandung dalam kasus penipuan investasi bodong. Hal ini menjadi kali kedua seorang afiliator “crazy rich” investasi bodong dijatuhi hukuman setelah putusan Indra Kenz.

Kendati demikian, diketahui bahwa putusan yang diberikan Majelis Hakim kepada Doni Salmanan dinilai masyarakat lebih ringan daripada yang diterima oleh Indra Kenz. Dilansir Antara News, terdapat beberapa alasan mengapa putusan kasus Doni Salmanan dinilai lebih ringan daripada Indra Kenz, yakni:

  1. Perbedaan Vonis Majelis Hakim
    Dalam kasus Indra Kenz, Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa Indra terbukti melanggar delik yang terdapat pada Pasal 45A ayat (1) Jo. Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) serta Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) sebagaimana yang didalilkan JPU dalam kasusnya.

    Di sisi lain, dalam kasus Doni Salmanan, Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa Doni terbukti melanggar delik UU ITE namun tidak tebukti dengan delik UU TPPU sebagaimana yang juga didalilkan oleh JPU dalam kasusnya.

    Hal ini membuat Majelis Hakim pada kasus Doni Salmanan menjatuhkan vonis yakni 4 (empat) tahun penjara dan denda sebesar Rp1 miliar subsider enam bulan kurungan. Sedangkan, pada kasus Indra Kenz, Majelis Hakim menjatuhkan vonis yakni 10 (sepuluh) tahun penjara dan denda sebesar Rp5 miliar.

  2. Perbedaan Kewajiban Sita Aset
    Dalam kasus Indra Kenz, Majelis Hakim demikian menyita sejumlah aset senilai Rp67 miliar miliknya. Barang yang disita meliputi empat bidang tanah dan bangunan, dua kendaraan merek Tesla dan Ferrari California, 12 jam tangan mewah, dan uang sejumlah Rp5.196.043.715. Hal ini dikarenakan dirinya terbukti atas perbuatan TPPU.

    Sedangkan, dalam kasus Doni Salmanan, Majelis Hakim membebaskan aset miliknya dari penyitaan serta mengembalikan aset yang tadinya disita karena perkara ini kepada dirinya. Aset yang dikembalikan tersebut diantaranya kendaraan mewah, sertifikat rumah, ponsel, pakaian mewah, uang dengan total milyaran rupiah, dan aset-aset lainnya. Hal ini dikarenakan dirinya dinilai Majelis Hakim tidak terbukti melakukan TPPU.

Lantas, hal ini kemudian menuai kontroversi di kalangan masyarakat, terutama korban dari investasi yang merasa semakin dirugikan dengan adanya putusan. Timbul berbagai komentar, salah satunya dari Akademisi Hukum Pidana Universitas Airlangga, Riza Alifianto Kurniawan.

Menurutnya, pertimbangan mengapa Doni Salmanan tidak dikenakan vonis atas delik TPPU adalah karena Majelis Hakim kurang memeriksa dan mengembangkan perbuatan pidana yang dilakukan Doni terhadap delik TPPU-nya itu sendiri.

“Doni ini menjadikan perbuatannya sebagai mata pencaharian. Majelis Hakim itu kurang memeriksa fakta yang berkaitan dengan Doni Salmanan yang sudah melakukan TPPU. Nah, ini yang kemudian membedakan kenapa disparitas putusannya sangat jauh,” ujar Riza saat diwawancarai KlikLegal, Jumat (23/12/2022).

Kemudian, berkaitan dengan tanggung jawab aset. Dalam kasus Doni Salmanan, aset yang disita dalam kasus tersebut diketahui dikembalikan kepada Doni karena dirinya tidak terbukti melakukan TPPU. Doni juga diketahui tidak memiliki kewajiban ganti kerugian kepada korban dengan tidak terbuktinya TPPU tersebut.

Namun, menurut Riza, para korban tetap dapat meminta pertanggungjawaban ganti kerugian kepada Doni melalui mekanisme keperdataan yakni gugatan Perbuatan Melawan Hukum. Mekanisme ini tertuang dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Adapun hal ini juga berlaku terhadap kasus Indra Kenz. Walaupun aset yang disita tersebut tidak digunakan untuk kepentingan ganti kerugian korban (disita untuk negara), namun para korban juga dapat meminta ganti kerugian kepada Indra melalui mekanisme keperdataan tersebut.

Kendati demikian, penting untuk diingat bahwa gugatan ganti kerugian kepada Indra Kenz tersebut hanya dapat diajukan terhadap aset yang tidak disita oleh negara dalam kasus ini. Terhadap aset Indra yang telah disita untuk negara, maka tidak dapat diklaim oleh korban dalam gugatan ganti kerugian tersebut.

“Langkah legal yang dapat dilakukan oleh korban itu adalah gugat si Indra Kenz ini, karena adanya PMH sehingga timbul kerugian dan ada kausalitas kerugian langsung, maka mekanismenya melalui peradilan keperdataan untuk menyita aset yang tidak disita oleh negara tersebut. Sebab, negara juga tidak memiliki kewajiban untuk melakukan ganti kerugian tersebut kepada korban,” jelas Riza

 

AA

Dipromosikan