Sistem Rating dalam EUDR, Bentuk Imperialisme Regulasi?

Sistem Rating dalam EUDR, Bentuk Imperialisme Regulasi?
Image Source: liputan6.com

Sistem Rating dalam EUDR, Bentuk Imperialisme Regulasi?

Sistem ini membagi negara-negara menjadi tiga kategori berdasarkan tingkat risiko deforestasi atau kehilangan tutupan pohon/hutan, yaitu: risiko tinggi (high risk), risiko standar (standard risk), dan risiko rendah (low risk).”

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Airlangga Hartarto menyampaikan protesnya terhadap Regulasi Deforestasi Uni Eropa yang menerapkan sistem rating untuk negara.

Protes tersebut ia sampaikan pada forum Indo Pacific Economic Forum (IPEF) yang dilaksanakan di Detroit, Amerika Serikat, baru-baru ini.

Airlangga menyebut penggunaan sistem rating yang digunakan untuk menilai tingkat risiko deforestasi suatu negara dalam European Union Deforestation Regulation (EUDR) sebagai bentuk imperialisme regulasi.

Baca Juga: Tok! UU Anti Deforestasi Disahkan, Diskriminasi Komoditas Sawit?

Melansir dari Kompas.com (5/6/2023), sistem ini membagi negara-negara menjadi tiga kategori berdasarkan tingkat risiko deforestasi atau kehilangan tutupan pohon/hutan, yaitu: risiko tinggi (high risk), risiko standar (standard risk), dan risiko rendah (low risk).

Menurut Airlangga, ketentuan tersebut akan memberikan citra negatif untuk Indonesia. Adapun, penerapannya tidak dilengkapi dengan kriteria yang jelas dan transparan. 

“Tidak tepat suatu negara membuat rating negara lain, apalagi ini EU yang membuat rating. Kecuali rating ekonomi seperti Standard & Poor’s (S&P) Moody’s itu kan jelas, tetapi kalau ini mengatakan Indonesia high risk, Malaysia high risk, itu tidak bisa, terutama konsekuensi terhadap cost,” ujar Airlangga saat ditemui setelah rapat internal bersama Presiden di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, sebagaimana dikutip dari beritasatu.com (5/6/2023).

Polemik Penerapan EUDR

Menteri Airlangga lebih lanjut menyebutkan bahwa implikasi sistem rating ini berdampak pada biaya verifikasi yang belum jelas penanggungnya. 

Seperti yang diberitakan oleh beritasatu.com (5/6/2023), Airlangga memaparkan bahwa jika suatu negara diklasifikasikan sebagai risiko rendah, maka 3% dari produk komoditas yang diekspor ke Uni Eropa harus melalui pengujian sampel. 

Jika negara tersebut memiliki risiko standar, persentase pengujian sampel meningkat menjadi 6%, dan untuk negara dengan risiko tinggi, sebanyak 9% produk harus melalui pengujian sampel.

Hal ini, dilansir dari Tempo.co, cenderung menguntungkan perusahaan besar, tetapi merugikan kepada 15 (lima belas) juta petani di Indonesia. Pasalnya, ongkos untuk verifikasi suatu produk yang tidak murah tidak jelas dibebankan kepada siapa.

Jika biaya tersebut dibebankan kepada negara produsen, ia khawatir bahwa hal tersebut akan memberikan beban tambahan pada petani dalam negeri. Namun, jika biaya tersebut ditanggung oleh konsumen, Airlangga menyatakan bahwa konsumen Eropa seharusnya yang bertanggung jawab membayarnya.

Ia juga mengungkapkan bahwa saat ini terdapat mandat untuk menerapkan regulasi atau panduan selama 18 (delapan belas) bulan terkait EUDR.

Menurut Airlangga, hal ini menjadi tantangan mendesak bagi Indonesia. Pasalnya apabila Indonesia tidak mau mematuhi regulasi tersebut, maka nilai perdagangan antara Indonesia dan Eropa dapat terganggu.

“Bagi Indonesia, ini adalah tantangan ke depan yang sangat pendek, dalam 18 bulan kalau Indonesia tidak comply (mematuhi) maka Rp90 triliun treaty dengan Eropa akan terganggu,” tuturnya.

Imperialisme Regulasi

Mengutip dari Kompas.com, dalam misinya ke Uni Eropa, Airlangga mengkritik imperialisme regulasi yang diterapkan oleh negara-negara tersebut. Ia menganggap bahwa aturan-aturan yang diberlakukan oleh Uni Eropa mengatur negara lain tanpa transparansi dan clarity. 

Imperialisme regulasi merujuk pada situasi di mana kekuasaan atau pengaruh negara atau lembaga internasional digunakan untuk memaksa negara lain untuk mengadopsi dan mematuhi regulasi atau kebijakan yang ditetapkan oleh mereka. 

Hal ini terjadi ketika negara atau lembaga yang kuat menetapkan standar yang harus diikuti oleh negara-negara lain. Tujuannya, melindungi kepentingan mereka sendiri atau mempertahankan kontrol atas pasar global.

Airlangga juga menyoroti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) yang dapat mempengaruhi komoditas ekspor Indonesia, seperti baja dan kelapa sawit.

Menurutnya, aturan-aturan seperti larangan ekspor mineral dan pembatasan biodiesel merupakan penghalang dalam perdagangan yang harus dijaga. 

Airlangga mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki waktu yang terbatas, yaitu 18 bulan, untuk menghadapi regulasi implementasi EUDR. 

Ia berharap agar pandangan Indonesia dan Malaysia didengarkan dan dikonsultasikan dalam pembahasan regulasi tersebut. Sebab, seperti yang disampaikan oleh Presiden Jokowi, kemitraan kedua belah pihak harus didasarkan pada prinsip kesetaraan.

Hal ini disampaikan Presiden pada pidato pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi Peringatan 45 Tahun ASEAN-Uni Eropa. Sebagai Ketua ASEAN 2023, Presiden Jokowi merupakan satu dari enam pemimpin yang diminta menyampaikan pandangan. 

”Kemitraan harus didasarkan pada kesetaraan, tidak boleh ada pemaksaan. Tidak boleh lagi ada pihak yang selalu mendikte dan beranggapan bahwa my standard is better than yours,” tegas Presiden, sebagaimana dikutip dari Kompas.com

 

SS

Dipromosikan