Produk Setengah Jadi Kena PPN 11 Persen, DPR: Tinjau Ulang

Resmi! Sri Mulyani Terbitkan Regulasi terkait Pajak Natura 
Image Source: gramedia.com

Produk Setengah Jadi Kena PPN 11 Persen, DPR: Tinjau Ulang

“Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) meminta Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk meninjau secara komprehensif terkait pengenaan pajak pertambahan nilai 11 persen (PPN) pada produk pengolahan setengah jadi.”

Ketua Komisi VII DPR RI, Sugeng Suparwoto menilai bahwa pengenaan PPN 11 persen pada produk pengolahan setengah jadi (intermediet) dari nikel menjadi stainless steel atau dari timah menjadi ingot (batang logam) tidak adil. 

Mengutip dari nasional.kontan.co.id (25/6/2023), oleh karena itu, dirinya meminta pemerintah untuk mengusulkan peninjauan atas pengenaan PPN sebesar 11 persen pada pengolahan setengah jadi. 

“Memang ini sangat-sangat dikeluhkan industri dalam negeri yang mau memakai produk turunan nikel. Harus dipajaki 11 persen, sementara kalau ekspor malah tidak dikenakan 11 persen. Daya saing barang dalam negeri menjadi lebih mahal 11 persen,” ujarnya dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP). 

DPR berpandangan bahwa pemungutan PPN 11 persen terhadap produk pengolahan setengah jadi di dalam negeri justru menghambat investasi. 

Terkait dengan tarif PPN terbaru yang mulai berlaku sejak (1/4/2022), diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Bab IV tentang PPN (UU PPN Bab IV tentang PPN)

Berdasarkan Pasal 7 Ayat (1) UU HPP Bab IV tentang PPN pemerintah menaikkan harga PPN secara bertahap. Yakni berupa 11 persen mulai 1 April 2022 dan 12 persen yang berlaku paling lambat 1 Januari 2025. 

Perlu diketahui bahwa berdasarkan Pasal 7 Ayat (3) UU HPP Bab IV tentang PPN tarif minimum PPN ialah 5 persen dan tarif maksimal PPN yang boleh dikenakan ialah 15 persen. 

Pro dan Kontra PPN 11 Persen pada Produk Setengah Jadi 

Sugeng meminta Kementerian Perindustrian untuk mengusulkan peninjauan atas pengenaan PPN 11 persen terhadap produk pengolahan setengah jadi. Upaya itu, bertujuan agar industri pengolahan lanjutan dapat lebih kompetitif. 

Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR RI, Fraksi Golkar, Bambang Patijaya menyampaikan hal yang sama. Menurutnya persoalan regulasi yang tidak tepat akan menghambat investasi pengembangan industri lanjutan. 

Menurut Bambang, selama ini calon investor, berpikir ulang sebelum menanamkan modalnya di Indonesia dikarenakan pengenaan pajak produk setengah jadi sebesar 11 persen.

Baca Juga: Menkeu Perbarui Aturan Teknis Tagih Utang Pajak Lintas Negara

“Salah satu hal yang menghambat investasi pengembangan industri lanjutan itu adalah persoalan regulasi sendiri,” ujarnya.

“Kementerian Keuangan main pungut-pungut aja dia. Kan gak bisa begitu. Masalahnya ini adalah masalah yang paling mendasar. Jika selisih harga di dalam negeri sudah 11 persen bagaimana orang mau berinvestasi,” ujar Bambang. 

Bambang menyampaikan bahwa pengenaan PPN 11 persen tidak tepat jika dikenakan kepada produk-produk pengolahan lanjutan atau produk setengah jadi. 

“PPN itu sangat tidak masuk jika dibebankan kepada barang-barang intermediet, barang-barang untuk pengolahan lanjutan. Gak boleh, PPN harus dipungut diujung, sehingga barang-barang kita memiliki daya kompetitif,” ujarnya.

Akibat Pungutan Pajak 

Melansir dari ekonomi.bisnis.com (25/6/2023), Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas), Yusuf Wibisono menuturkan bahwa pengenaan PPN tersebut sudah lama dikeluhkan oleh dunia usaha dan semakin kuat sejak kenaikan PPN diberlakukan pada 2022. 

Menurut Yusuf, kebijakan tersebut memang tidak adil karena ketika barang setengah jadi ditransaksikan di dalam negeri akan terkena PPN 11 persen. Namun, untuk diekspor, tidak ada tarif pajak yang dikenakan.

“Kebijakan ini melemahkan daya saing industri dalam negeri dan justru memperkuat daya saing industri negara lain,” ujar Yusuf. 

Dirinya menegaskan bahwa sebaiknya daya saing industri hilir didorong seiring dengan gembar-gembor pemerintah terkait dengan hilirisasi tambang. Oleh karena itu, Ia berpendapat kebijakan tersebut dapat ditinjau ulang agar daya saing meningkat. 

Yusuf menyampaikan bahwa industri hilirisasi nikel seperti baja nirkarat dan industri timah seperti timah batangan menjadi tidak kompetitif dikarenakan bahan baku dikenai PPN 11 persen. 

“Menjadi aneh ketika kita menggemakan hilirisasi tambang, namun industri hilir tidak didorong daya saingnya. Selayaknya kebijakan ini ditinjau ulang agar industri hilir berkembang dan daya saingnya meningkat,” ujarnya. 

AP

Dipromosikan