Akibat Disparitas Harga BBM, Pengusaha Pertashop Merugi

Akibat Disparitas Harga BBM, Pengusaha Pertashop Merugi
Image Source: pertamina.com

Akibat Disparitas Harga BBM, Pengusaha Pertashop Merugi

“Pelaku usaha Pertamina Shop (Pertashop) mengeluhkan penurunan kinerja bisnis beberapa bulan terakhir. Hal ini dianggap sebagai imbas dari maraknya penjualan Pertalite eceran, dan disparitas harga jual hingga Rp2.500 – Rp2.800 per liter.”

Ketua Paguyuban Pengusaha Pertashop Jawa Tengah dan DI Yogyakarta, Gunadi Broto Sudarmo menjelaskan saat ini penjual Bahan Bakar Minyak (BBM) melalui Pertashop mengalami kesulitan akibat disparitas harga BBM subsidi dan nonsubsidi serta maraknya penjualan eceran. 

Melansir dari kontan.co.id (11/7/2023), Gunadi menjelaskan omzet penjualan saat ini turun drastis karena  masyarakat beralih membeli BBM subsidi ketimbang Pertamax atau Dexlite yang dijual di Pertashop. 

Gunadi kemudian memberikan gambaran, pada bulan Januari, Februari, Maret 2022 (berdasarkan sampel salah satu Pertashop), ketika harga Pertamax Rp9.000 per liter, rata-rata penjualan per bulannya sebanyak 34.000 sampai 38.000 liter per bulan. 

Kemudian, setelah harga Pertamax naik menjadi Rp12.500 per liter mulai April 2022, penjualan BBM nonsubsidi tersebut turun drastis menjadi 16.000 liter hingga 24.000 liter per bulan. Selain itu, Pertamax terus mengalami fluktuasi, sehingga menyebabkan dari September hingga Desember 2022 penjualan BBM nonsubsidi semakin turun drastis, yakni 12.000 hingga 18.000 liter per bulan. 

“Adanya disparitas ini, omzet kami menurun drastis hingga 90 persen. Usaha Pertashop tidak memperoleh keuntungan justru merugi,” ujar Gunadi. 

Pengusaha Pertashop Mengadu ke DPR 

Pengusaha Pertashop ramai-ramai mengadukan masalah dan kerugian yang mereka hadapi ke Komisi VII DPR RI, Senin (10/7/2023). Lantaran saat ini, sekitar 244 atau sekitar 47 persen pengusaha Pertashop di Indonesia merugi. 

Melansir dari fortuneidn.com (10/7/2023), mereka merupakan pengusaha Pertashop dengan omzet jual BBM kurang dari 200 liter per hari dengan laba kotor Rp5,1 juta per bulan. Margin tiap liter Pertamax yang dijual hanya mencapai Rp850 per liter, dan total BBM maksimal yang dijual hanya 3.000 liter.

“Untuk biaya operasional, ada gaji minimal 2 orang, Rp4 juta. Masing-masing Rp2 juta, ada losses, dan lain sebagainya. Ini belum untuk kewajiban bank,” ujar Gunadi di hadapan komisi VII DPR. 

Kerugian disebabkan oleh tidak sanggupnya pengusaha Pertashop untuk membayar angsuran bulanan ke bank yang bersangkutan. 

Kemudian, selain masalah disparitas harga, ada persoalan lain yang semakin memperparah bisnis Pertashop, yakni masih maraknya penjualan Pertalite secara eceran di warung-warung dan Pertamini. 

Padahal, praktik penjualan BBM Subsidi secara eceran telah melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas), yang beberapa ketentuannya diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU No.6/2023 atau UU Cipta Kerja).

Selain itu, juga diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak (PP No.191/2014), yang juga telah mengalami perubahan beberapa kali, terakhir diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 117 Tahun 2021 (Perpres No.117/2021).

Ironisnya, pengecer justru mendapatkan cuan lebih besar dibandingkan dengan pelaku usaha yang menjual BBM secara legal. Gunadi memberikan gambaran, pengecer bisa mengantongi margin Rp2.000 hingga Rp2.500 per liter sedangkan Pertashop hanya Rp850 per liter. 

Regulasi Penjualan BBM Eceran 

Perlu diketahui, berdasarkan Pasal 1 ayat (4) UU Migas, yang dimaksud dengan BBM adalah bahan bakar yang bersumber dan/atau diolah dari minyak bumi. 

Baca Juga: Pertamina Larang Jual BBM Tertentu Tahun 2023,  Begini Ketentuannya!

Terkait dengan kegiatan usaha untuk pendistribusian  BBM diatur dalam Pasal 5 UU Migas, sebagaimana diubah dengan UU Cipta Kerja, yaitu terdiri dari kegiatan usaha hulu dan kegiatan usaha hilir.

Kegiatan usaha hulu mencakup eksplorasi dan eksploitasi. Sementara kegiatan usaha hilir terdiri dari pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga.

Kemudian berdasarkan Pasal 9 ayat (1) UU Migas, kegiatan usaha hulu dan hilir dapat dilaksanakann oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Koperasi, usaha kecil, dan Badan Usaha Swasta (BUS). 

Bagi pelaku usaha penjual BBM eceran yang tidak berbentuk badan usaha (misalnya perseroan terbatas (PT), persekutuan komanditer (CV), dan sebagainya) serta belum memiliki izin usaha, maka telah melanggar Pasal 23 UU Migas yang diubah dengan Pasal 23 UU Cipta Kerja.

AP 

Dipromosikan