Prof Sukoso Terpilih Sebagai Kepala BPJPH, Ini Rangkuman Pendapatnya Mengenai Produk Halal

Dari sejarah kesadaran halal di Indonesia, hingga kontroversi kewajiban sertifikat halal bagi industri farmasi.

Prof Sukoso saat tampil sebagai ahli dalam sidang pengujian UU Jaminan Produk Halal. Sumber Foto: Mahkamah Konstitusi

Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) akhirnya memiliki seorang kepala. Adalah Prof. Sukoso yang terpilih memimpin badan tersebut pasca dilantik oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin di Jakarta, Rabu (2/8) lalu. Sukoso yang menjabat sebagai Direktur Halal Science Center Universitas Brawijaya bukan orang baru di dunia produk halal. Ia telah cukup lama berkecimpung dalam isu produk halal ini. (Baca Juga: Prof Sukoso Dilantik Sebagai Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal).

Dikutip dari berbagai sumber, Sukoso telah mengutarakan berbagai pendapatnya mengenai persoalan-persoalan produk halal di Indonesia yang semakin menggeliat pasca terbitnya UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Berikut adalah berbagai komentarnya.

1. Halal Bukan Sekadar Urusan Sertifikat

Sukoso pernah mengingatkan para pelaku usaha, terutama pelaku bisnis kuliner, jangan sampai perhatiannya hanya tertuju pada sertifikat halal. Menurutnya, ada hal yang lebih penting dari itu, yakni berkaitan dengan proses dan tanggung jawab saat mengantongi sertifikat itu.

“Kita menekankan bahwa halal ini bukan sekadar urusan sertifikat. Kalau kita survei, 80 persen (pedagang) mengatakan saya butuh lembaran sertifikat. Tapi kalau ditanya prosesnya bagaimana, tanggung jawabnya bagaimana? Mereka tidak tahu,” ujarnya sebagaimana dilansir situs Kementerian Agama, Oktober 2016 lalu.

Menurutnya, sertifikasi halal tidak hanya terkait dengan persoalan dokumen yang menyangkut Standard Operasional Prosedur (SOP) dan pemakaian bahan-bahan yang halal, tetapi juga konsekuensi dan tanggung jawab yang dibebankan kepada para pengusaha makanan.

2. Kesadaran Label Halal di Indonesia Berawal dari Malang

Kota Malang memiliki sejarah tersendiri dalam dunia makanan halal di Indonesia. Di Kota apel inilah awal kesadaran pengujian makanan halal pertama kali dilakukan, yakni tepatnya pada 1988. Fakta sejarah ini dipaparkan oleh Sukoso, yang merupakan Guru Besar Universitas Brawijaya, Malang.

Sebagaimana dilansir Merdeka.com, April 2016 lalu, Sukoso menjelaskan bahwa keadaran produk halal di Indonesia itu berawal dari temuan ilmiah Prof. Tri Susanto pada 1988, yang membuktikan bahwa produk makanan yang beredar di lingkungan mahasiswa sekitar ternyata banyak mengandung bahan tidak halal.

Temuan Prof Tri Susanto itu, lanjut Sukoso, mengagetkan banyak orang karena mereka baru menyadari bahwa produk-produk itu ternyata tidak aman dan halal. Mulai dari temuan itu lah bangkit kesadaran umat Islam tentang pentingnya makanan halal dan perlunya sertifikat halal tersebut.

3. Sertifikat Halal untuk Sektor Farmasi dan Alat Kesehatan

Sukoso juga tercatat pernah menyampaikan komentarnya seputar keberatan industri farmasi atau alat kesehatan yang enggan masuk ke dalam lingkup yang wajib memenuhi sertifikat halal. Sebagai informasi, sejumlah pengusaha farmasi memang menuturkan bahwa industri farmasi belum siap menerapkan kewajiban sertifikat halal. (Baca Juga: IPMG, Industri Farmasi Masih Belum Siap Menerapkan Kewajiban Sertifikasi Produk Halal).

Sukoso tegas menolak rencana pemberian pengecualian untuk industri farmasi itu.”Saya bilang tidak. Secara bertahap harus disertifikasi, “ tegasnya sebagaimana dikutip dari situs Halalan Thoyyiban Indonesia Juli 2016 lalu.

Lebih lanjut, Sukoso memaparkan bahwa tren hidup halal sebagaimana nilai keislaman telah diterima secara global. Ia mencontohkan respon positif terhadap tren halal yang cukup menggeliat di Tokyo, Jepang, yang disebutnya akan menjadi kota halal. “Dunia sudah menerima value Islam,” tukasnya.

4. Sertifikasi Halal Memiliki Dampak Ekonomi

Sukoso pernah memaparkan bahwa sertifikat halal memiliki dampak perekonomian yang sangat luas. Ia memaparkan hal tersebut kala menjadi ahli dalam sidang pengujian UU Jaminan Produk Halal di Mahkamah Konstitusi (MK), Juli 2017.

“Pada 1988 itu, 18 peristiwa bagaimana isu lemak babi dan sebagainya beredar, akhirnya apa yang terjadi? Penurunan produk secara nasional, produk-produk yang pada saat itu memang produk-produk papan atas, perusahaan besar, dan sebagainya, turun sampai 20 persen – 30 persen,” ujarnya sebagaimana dikutip dari risalah sidang pengujian UU Jaminan Produk Halal.

“Ini saya memberikan fakta ekonomi, dampak ekonominya,” tambah Sukoso lagi.

Lebih lanjut, Sukoso juga menjelaskan pada 2002 dalam kasus Ajinomoto juga sangat terdampak secara ekonomi. “Dampak ekonominya ada,” ujarnya.

5. Sertifikasi Halal Bukan Islamisasi

Masih dalam sidang di MK, saat tampil menjadi ahli, Sukoso menegaskan bahwa kewajiban sertifikasi halal bukan upaya islamisasi. “Saya tegaskan bukan,” ujarnya sebagaimana dikutip dari risalah sidang pengujian UU JPH.

Sukoso menuturkan bahwa pernyataan halal bukan diberikan kepada seluruh orang. “Ini bukan proses administrasi, tapi pemenuhan dari proses sertifikasi yang harus dilalui, sehingga di situ adanya keterlibatan MUI di dalam memberikan fatwa halal dan lembaga pemeriksa halal sebagai lembaga yang nanti akan bekerja memberikan standar memenuhi standar administrasi,” ujarnya.

Setelah itu, lembaga pemeriksa halal akan melakukan proses audit, dimana tentu ada persyaratan administrasi yang harus dilalui. Setelah itu baru diserahkan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal untuk diserahkan kepada MUI untuk dijadikan landasan bahwa produk tersebut halal atau tidak. “Sehingga saya mengatakan ini bukan proses Islamisasi,” pungkasnya.

(ASH)

Dipromosikan