Bea Cukai: Sistem Perekaman dalam PP 20/2017 untuk Menguji Keseriusan Pemegang Hak

HKI dinilai bersifat privat.

Sumber Foto: https://www.thebalance.com/ (Image (c) Florian Hiltmair / Getty Images)

Kepala Seksi Intelijen Larangan Pembatasan dan Kejahatan Lintas Negara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Khoirul Hadziq menjelaskan bahwa sistem perekaman yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomer 20 Tahun 2017 adalah langkah sebelum melakukan penegahan yang dapat diartikan sebagai bentuk rekordansi dan untuk menguji keseriusan pemilik atau pemegang hak.

“Jadi perekaman itu rekordansi yang saya bicarakan itu. Jadi masalah rekordansi itu sediri adalah suatu instrumen digital untuk juga menguji keseriusan si pemegang hak. Seperti yang tadi di awal, bahwa HKI ini sifatnya adalah privat, maka kita harus melakukan penegahan yang belum tentu benar juga, makanya ini disebut masih dugaan,” kata Khoirul kepada Klik Legal di Lantai 4 Gedung Sumatera Direktorat Bea dan Cukai, pada Jumat (25/8) di Jakarta. (Baca Juga: Sistem Perekaman HKI dalam PP No.20/2017 Dinilai Sebagai Langkah Progresif).

Khorul menjelaskan pejabat bea cukai dapat memastikan bahwa pemegang hak ini serius dengan mempersyaratkan kepada pemegang hak harus memiliki kantor yang berada di Indonesia. “Maka dia harus mendaftarkan itu yang pertama. Makanya salah satu syaratnya itu harus badan usaha yang berdomisili di Indonesia,” terangnya.

Berkaitan dengan domisili, Khoirul menuturkan hal tersebut dapat memudahkan pejabat bea cukai untuk berkoordinasi langsung dengan pemegang hak. Sehingga, pejabat bea cukai dapat langsung melakukan penindakan setelah terdapat bukti adanya pelanggaran HKI. (Baca Juga: PP No.20/2017 Mengatur Hak Aktif dan Pasif Pejabat Bea Cukai).

“Karena bea cukai ini begitu ada pelanggaran kita akan langsung penindakan, saat melakukan penindakan kan kita juga harus bisa memastikan. Bisa jadi bea cukainya bertindak, tetapi orangnya tidak mau menuntut, nah ngapain juga bea cukai mesti bertindak. Jadi ini tergantung dari si pemegang haknya mau sue apa nggak ke pengadilan. Inilah alasannya kenapa harus ada rekordansi dan harus ada jaminan. Jadi ini ada barang yang katanya sudah didaftarkan benar nggak kalau barang-barang ini palsu. Iya benar pak. Nanti kita ada koordinasinya, supaya koordinasi ini lebih gampang. Ini juga makanya kita mempersyaratkan untuk ada di Indonesia,” kata Khoirul.

Lebih lanjut, Khoirul menyebutkan yang kedua adalah mempersyaratkan examiner. “Ekpertis produk tersebut yang dimiliki oleh pemegang hak sehingga dia tahu benar antara barang palsu atau tidaknya, kemudian alur pemasarannya, distribusinya, dan lain sebagainya. Sehingga akan mudah memastikan dan juga membantu kami untuk memberitahu kemungkinan barang ini asli atau palsu, dari dugaan-dugaan awal,” ujarnya. (Baca Juga: Bea Cukai Yakin Ketua Pengadilan Sudah Siap Menerapkan PP No.20/2017).

“Itulah pentingnya rekordansi kita akan bentuk seperti itu. Dan itu berlakunya setahun dan bisa diperpanjang. Jadi ini adalah langkah sebelum penegahan, semacam bentuk registrasinya,” tambahnya.

Selain itu, Khoirul mengungkapkan bahwa sistem yang akan dilakukan dalam berkoordinasi dilakukan secara online. “Dan sistemnya sedang kami create untuk sistemnya, itu nanti akan online tentu kami akan sampaikan. Di situ juga nanti akan minta nomer kontaknya, email, dan lain sebaginya, aktif. Sehingga nanti kalau ada pemberitahuan-pemberitahuan yang menjadi dugaan juga akan kita sampaikan melalui email. Karena kita akan melakukan penegahan maksimum 10 hari, dan kemudian penangguhan oleh pengadilan 10 hari yang dapat diperpanjang 10 hari, ditotal dan itu sangat rigid, ada tahap-tahapnya.” jelasnya.

“Bea cukai akan melakukan penindakan, dan dua hari berikutnya akan ada konfirmasi. Empat hari berikutnya harus ada jaminan, kalau tidak ada, otomatis kami akan lepas. Jadi harus ada koordinasi yang cepat, harus sama-sama siap dari bea cukai dan pengusahanya juga harus siap,” pukasnya. (Baca Juga: Ini Alur Perekaman HKI di Direktorat Bea dan Cukai).

(PHB)

Dipromosikan