RUU Persaingan Usaha, Kemana Keberatan Atas Putusan KPPU Akan Berlabuh?

Draft usul inisiatif DPR tetap menempatkan keberatan atas putusan KPPU di pengadilan negeri. Namun, ada juga usulan untuk memindahkannya ke pengadilan tinggi, atau bahkan PTUN.

Dewan Pengawas ICLA Chandra M Hamzah. Sumber Foto: Fan Page Facebook ICLA.

Rancangan Undang-Undang (RUU) Persaingan Usaha telah ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai RUU usul inisiatif DPR. Tidak lama lagi, RUU ini akan segera dibahas bersama antara DPR dan Pemerintah. Namun, sejumlah pihak sudah mulai menyampaikan masukan terhadap RUU ini. Salah satunya adalah terkait ke pengadilan apa keberatan terhadap putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) diajukan.

Dewan Pengawas Indonesian Competition Lawyers Association (ICLA) Chandra M Hamzah meminta agar semua pihak untuk memikirkan kembali lembaga pengadilan mana yang tepat menangani keberatan atas putusan KPPU tersebut.

Chandra mengingat ketika menangani kasus Indomobil, perkara pertama yang diputus oleh KPPU. Kala itu, lanjutnya, semua pihak kebingungan kemana keberatan itu diajukan. UU Persaingan Usaha hanya menyebutkan bahwa keberatan diajukan di pengadilan negeri di domisili pelaku usaha. Namun, prakteknya ketika itu jumlah pelaku usahanya lebih dari satu, dan masing-masing pelaku usaha memiliki domisili berbeda.

“Ada yang mengajukan ke PN Jakarta Pusat, ada ke PN Jakarta Selatan, dan ada yang kreatif ke PTUN. Ketua PN bingung. Lalu lahirnya PERMA konsolidasi perkara dengan merujuk ke PN Jakarta Pusat,” ujarnya dalam seminar ICLA di Jakarta, Senin (11/9).

Sejak saat itu, lanjut Chandra, keberatan terhadap putusan KPPU diajukan ke PN dan dimasukan ke dalam kamar perdata. Ia mengkritik praktek ini. “KPPU itu lembaga publik atau perdata? Apa bisa dia jadi subjek hukum perdata?” tanyanya. (Baca Juga: Ini Isi Draft Revisi UU Persaingan Usaha Usulan Inisiatif DPR).

Chandra menjelaskan bahwa KPPU sebagai subjek hukum perdata hanya ketika menjalankan kegiatan-kegiatan perdata, seperti pembangunan gedung atau transaksi membeli mobil dan sebagainya. Namun, dalam menjalankan kewenangannya, posisi KPPU adalah sebagai lembaga publik. “Berarti hubungan hukum KPPU dengan pelaku usaha itu bersifat publik. Bukan perdata. Lalu kenapa di bawah ke perdata?” tukasnya.

“Kalau merujuk ke Prof Soerjono Soekanto, hubungan perdata itu terjadi kalau para pihak kedudukannya sederajat. Ini kan tidak. Jadi kita sepakat ini ranah publik ya?” tambahnya lagi.

Chandra menuturkan bahwa sengketa persaingan usaha ini juga tidak serta merta bisa dimasukan ke dalam kamar hukum publik di pengadilan negeri. “Karena bukan perdata, maka bersifat publik. Kalau publik itu kan pidana semua. Apakah KPPU jatuhkan sanksi pidana atau tidak? Kalau bisa, maka bisa dibawa ke PN dengan kamar pidana (publik), sama dengan tipikor, HAM, anak, dan perikanan,” tuturnya.

“Tinggal ditambahkan saja di sini. Ada kamar persaingan usaha,” tambahnya. (Baca Juga: Profesor Ingatkan Asosiasi Advokat Persaingan Usaha Jangan Justru Jadi Wadah Kartel).

Selanjutnya, menurut Chandra, yang menjadi pertanyaan adalah apakah benar KPPU menjatuhkan sanksi pidana. “Sepengetahuan saya, memang ada (sanksi pidana,-red). Tapi itu hanya untuk hardcore cartel. Selebihnya tidak,” ujarnya.

Chandra menambahkan apabila semua pihak sepakat bahwa yang dijatuhkan adalah sanksi administrasi, maka peradilan yang tepat menangani sengketa itu adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). “Termohonnya kan selalu KPPU. Persis seperti di PTUN dimana termohonnya adalah pemerintah. Sesederhana itu cara berpikirnya,” ujarnya.

Oleh karena itu, Chandra berpendapat penyelesaian keberatan atas putusan KPPU lebih tepat diselesaikan ke PTUN. Hal tersebut untuk meluruskan kesalahpahaman yang kerap terjadi selama ini. (Baca Juga: 4 Masukan ICLA Terhadap Revisi UU Persaingan Usaha).

“Saya juga konsultan HKI. Misalnya, pengajuan keberatan merek dan termohonnya Dirjen Merek. Kenapa ke pengadilan negeri? Kami ditolak kok permohohan mereknya. Kenapa ke PN? Kan seharusnya PTUN. Ini harus diperbaiki kalau taat asas,” ujarnya.

Chandra menuturkan bahwa berdasarkan sistem peradilan Indonesia, maka ada empat lingkungan peradilan. Yakni, peradilan agama, peradilan militer, peradilan TUN, dan peradilan umum (negeri). “Apa kita taat asas ada empat lingkungan peradilan? Saya yakin MA taat asas,” ujarnya lagi.

Wacana ke Pengadilan Tinggi   

Hakim Agung Sudrajad Dimyati mengatakan justru ada wacana untuk mengalihkan pemeriksaan keberatan atas putusan KPPU dari PN ke PT. “Salah satu alasannya karena beban kerja PT lebih sedikit. Dan terlalu banyak hakim tinggi. Namun, ini masih berupa wacana,” ujarnya.

Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional ICLA Asep Ridwan menyambut baik wacana ini. Ia mengaku kerap menunggu cukup lama ketika menangani perkara keberatan atas putusan KPPU di PN. Ini disebabkan beban kerja PN yang sangat besar. “Kami sering tunggu sidang di PN dari jam 10 sampai jam 3 sore. Kalau PT kan beban kerja lebih sedikit. Ini memang masih dalam konteks kajian,” ujarnya.

Pakar Hukum Persaingan Usaha dari Universitas Sumatera Utara (USU) Prof. Ningrum Sirait tidak sependapat dengan wacana ini. Pasalnya, sejak awal KPPU bukan diposisikan sebagai lembaga peradilan. “Kalau dikasih ke PT. Itu meng-konfirm kalau KPPU itu lembaga peradilan tingkat pertama. Bukan itu konsep awalnya. Makanya keberatan diajukan ke PN,” tukasnya.

Lalu, kemanakah DPR dan Pemerintah menyerahkan kewenangan mengadili keberatan atas pututsan KPPU melalui pembahasan RUU Persaingan Usaha? Kita tunggu saja!

(ASH)

Dipromosikan