Ketum IAI Bantah Keterlibatan Apoteker dalam Peredaran PCC di Kendari

Ada apoteker di Kendari yang sedang terjerat kasus hukum, tetapi bukan kasus PCC yang mengakibatkan puluhan korban.

Ketua Umum PP IAI Nurul Falah Eddy Pariang. Sumber Foto: http://ikatanapotekerindonesia.net/

Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (PP IAI) Nurul Falah Eddy Pariang membantah adanya keterlibatan apoteker dalam peredaran tablet PCC (Paracetamol-Caffein-Carisoprodol) yang disalahgunakan oleh sejumlah anak, dan mengakibatkan jatuhnya korban sebanyak 76 anak dimana salah seorang di antaranya meninggal dunia.

“Alhamdulillah di dalam peredaran produk PCC ini yang dilakukan oleh anak-anak dan mengakibatkan jatuhnya korban satu diantaranya meninggal dunia tidak ada satupun apoteker yg terlibat karena memang ini kan produk ilegal,” kata Nurul Falah kepada Klik Legal melalui sambungan telepon, pada Senin (2/10) di Jakarta.

Nurul Falah mengaku sudah mencari tahu mengenai hal tersebut. “Saya juga sudah nge-cek, jangan sampai ada apoteker-apoteker yang ikut serta karena ini jalurnya jalur ilegal. Sedangkan kalau jalur farmasi kan jalur formal yang harus mengikuti peraturan sesuai dengan distribusi obat di Indonesia,” jelasnya.

Ia menegaskan kembali bahwa dalam kasus PCC tidak ada keterlibatan apoteker sama sekali. Menurutnya, memang ada dua kejadian tersebut terjadu hampir bersamaan sehingga membuat pemberitaan sempat kabur antara kejadian penyalahgunaan PCC yang digunakan oleh oknum non apoteker dengan kejadian apoteker yang menjual tramadol.

“Jadi kan berbeda. Cuma karena kasusnya bersamaan ditempat yang hampir bersamaan, di Sulawesi Tenggara, dalam hal ini di Kendari, kejadiannya hanya siang dan malam sehingga pemberitaannya terus seolah-olah apotekernya ikut di dalam distribusi PCC, padahal tidak,” kata Falah.

Ia menjelaskan apoteker tersebut memang terbukti menjual tramadol yang sudah ditarik izin edarnya pada tahun 2016. Pada saat kejadian, polisi menanyakan apakah menyediakan Tramadol, yang dijawab “ada tetapi harus dengan resep dokter.” Polisi kemudian meminta untuk melihat tramadol yang dijual di apotek tersebut. Petugas apotek lalu menyerahkan Tramadol dan diketahui bahwa Tramadol tersebut merupakan produk ilegal, sedangkan Tramadol jenis lain masih boleh diperjualbelikan secara legal berdasarkan resep dokter.

“Jadi tramadol yang dilarang itu adalah tramadol produksinya promet raharjo yang pada tahun 2016 ditarik dari peredaran dari otoritas badan POM. Konon katanya karena variasi dosisnya yang terlalu tinggi sehingga itu ditarik. Nah itu kebetulan salah satu apoteker kami ini menjual yang itu sehingga jadi berurusan dengan hukum,” ungkap Falah.

Koreksi Bersama

Lebih lanjut, meski yakin tidak ada apoteker dalam kasus PCC, Nurul Falah mengaku prihatin atas kejadian tangan-tangan jahil yang berupaya melakukan peredaran obat ilegal yang sebenarnya sudah dicabut dari peredaran pada tahun 2013. “Tentu ini koreksi bersama untuk untuk kita, terutama pemerintah yang pengawasannya masih minim. Padahal kita tahu obat itu kan high regulated jadi regulasinya banyak sekali, termasuk dari mulai cara pembuatan dan lain sebagainya kan diatur sedemikian rupa, karena ini produk yang mana obat itu pada dasarnya adalah racun kalau indikasi medis dan dosisnya tidak sesuai,” ujarnya.

“Indikasinya itu kan ditetapkan oleh pak dokter dan bu dokter, dosisnya dihitung oleh apoteker,” tambahnya.

Nurul Falah berpendapat terkait PCC, kemudharatan yang ada justru lebih banyak daripada manfaatnya. Oleh karena itu, sejak 2013 perdaran PCC sudah dilarang. “Nah, kalau sekarang ada ini berarti kita semua boleh dibilang kecolongan sampai ada PCC ilegal beredar begitu,” tukasnya.

Ditangani Kepolisian dan Badan POM

Sementara itu, Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM) menjelaskan kasus ini sedang ditangani oleh pihak Kepolisian bersama Badan POM. Penyelidikan dilakukan guna mengungkap pelaku peredaran obat tersebut beserta jaringannya. “Badan POM RI dalam hal ini berperan aktif memberikan bantuan ahli serta uji laboratorium dalam penanganan kasus tersebut,” demikian penjelasan Badan POM sebagaimana dicantumkan dalam situs resminya.

Lebih lanjut, Badan POM secara serentak telah menurunkan tim untuk menelusuri kasus ini lebih lanjut dan melakukan investigasi apakah ada produk lain yang dikonsumsi oleh korban. “Hasil uji laboratorium terhadap tablet PCC menunjukan positif mengandung karisoprodol, dan sedang diuji bahan aktif lain,” demikian bunyi penjelasan yang dirilis 14 September lalu itu.

Badan POM menjelaskan bahwa karisoprodol digolongkan sebagai obat keras. Oleh karena dampak penyalahgunaanya lebih besar daripada efek terapinya, seluruh obat yang mengadung karisoprodol, termasuk Somadryl, dibatalkan izin edarnya pada 2013.

(PHB)

 

Dipromosikan