Ini Tujuh Alasan Penyusunan RUU Praktik Kefarmasian Versi DPR

Salah satu yang diatur adalah profesi apoteker.

Gedung DPR. Sumber Foto: http://www.skyscrapercity.com/

Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berencana menyusun Rancangan Undang-Undang tentang Praktik Kefarmasian. Meski belum menjadi prioritas yang akan dibahas pada 2017 ini, RUU Praktik Kefarmasian telah ditetapkan masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) long list 2015 – 2019.

Sebagaimana dikutip dari situs resmi DPR, setidaknya ada tujuh alasan mengapa RUU Praktik Kefarmasian ini perlu disusun. Alasan-alasan tersebut adalah:

Pertama, RUU diharapkan dapat mengatur apoteker, selaku tenaga profesi kesehatan yang mempunyai peran strategis dalam pelayanan kesehatan. Tujuan dari pelayanan kesehatan itu adalah menjamin ketersediaan obat yang bermutu, menjamin efektivitas pengelolaannya, serta menjamin keamanan dan kemanjuran obat melalui pelayanan kefarmasian yang berfokus kepada pasien.

Selain itu, jumlah dan pertumbuhan apoteker yang terus meningkat juga menjadi salah satu alasan. “Jumlah apoteker di Indonesia saat ini mencapai sekitar 45.000 dengan tingkat pertumbuhan 10 persen per tahun,” demikian latar belakang kedua dari penyusunan RUU Kefarmasian yang sudah dimulai sejak 2015 ini.

Ketiga, praktisi kefarmasian di Indonesia dinilai belum berjalan optimal. “Peran apoteker pada umumnya baru sebatas mengelola obat, akibatnya keberadaan dan kemanfaatan profesi apoteker belum dirasakan oleh masyarakat,” demikian penjelasan DPR dalam situsnya.

Keempat, perlu ada konsep, strategi dan mekanisme yang mengatur peran pemerintah, organisasi profesi, masyarakat dan stakeholders lainnya dalam pengembangan pendidikan apoteker belum dirumuskan secara jelas dan restruktur, khususnya dalam penyediaan fasilitas praktisi kerja profesi.

Lebih lanjut, pendidikan apoteker juga menjadi salah satu alasan pembentukan RUU ini. “Belum ada acuan yang sama bagi penyelenggara pendidikan apoteker di Indonesia,” demikian latar belakang Kelima.

Keenam, DPR juga melihat masih rendahnya tingkat kesadaran tenaga kefarmasian akan peran, tugas, dan kewenangannya seperti yang terlihat dari rendahnya tingkat kehadiran apoteker di apotek dan banyaknya tugas dan kewenangan apoteker yang didelegasikan kepada tenaga teknis kefarmasian.

Terakhir, ketujuh, masih rendahnya pengakuan peran apoteker dalam Sistem Kesehatan Nasional yang berakibat pada tidak terlibatnya peran apoteker dalam mengatasi berbagai masalah kesehatan secara nasional.

Substansi dan Dasar Hukum

Beberapa substansi yang akan diatur dalam RUU Praktik Kefarmasian adalah ketentuan umum; asas dan tujuan; pendidikan tinggi farmasi; praktik kefarmasian; registrasi dan kewenangan apoteker; pembinaan, pengawasan dan perlindungan; sanksi, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup.

Sedangkan dasar hukum pembentukan RUU Praktik Kefarmasian ini adalah Pasal 28C UUD 1945. Ketentuan tersebut berbunyi, “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.”

Sebagai informasi, Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) juga telah mengkaji RUU Kefarmasian ini. Ketua Umum IAI Nurul Falah mengatakan asosiasi yang dipimpinnya dan pemangku kepentingan lainnya akan menyerahkan draft RUU ini ke pemerintah dan DPR apabila kajiannya telah rampung. (Baca Juga: Ikatan Apoteker Masih Terus Mengkaji RUU Kefarmasian).

“Nanti kalau draftnya menurut IAI sudah cukup, akan kami bawakan draftnya ke pemerintah dan DPR untuk kemudian kita bahas bersama-sama tentang perlunya undang-undang kefarmasian,” pungkasnya.

(ASH)

Dipromosikan