Korporasi Didorong Untuk Melakukan Keterbukaan Beneficial Ownership

Ada tiga manfaat bagi korporasi bila melaksanakan transparansi beneficial ownership.

Sumber Foto: https://www.acfcs.org/

Kepala Bagian Legislasi Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) Fithriadi Muslim mendorong kepada seluruh korporasi untuk melakukan transparansi dari Beneficial Ownership (BO) atau pemilik manfaat yang sebenarnya.

“Jadi kita minta korporasi itu yang menangani BO, karena sebenarnya yang paham BO itu adalah orang yang di dalam dan itu pada saat operasional, di saat korporasi itu berjalan dia akan bisa tahu siapa yang sebenarnya BO daripada perusahaan tersebut,” kata Fithriadi saat diskusi Keterbukaan Beneficial Ownership, di Hotel JS Luwansa Jakarta, pada Kamis (5/10).

Hal itu dilakukan, kata Fithriadi sebagai upaya pencegahan korporasi dalam tindak pidana pencucian uang (TPPU), suap, penyembunyian aset dan korupsi. Pasalnya, belum ada regulasi yang mengatur khusus kewajiban korporasi untuk memberikan informasi mengenai BO.

Untuk itu, Fithriadi menegaskan setiap korporasi wajib melaporkan identitas utama pemiliknya kepada otoritas yang berwenang. Korporasi yang dimaksud adalah perseroan terbatas (PT), yayasan, koperasi, perkumpulan, firma, persekutuan komanditer, serta bentuk korporasi lainnya.

“Korporasi di dalam aturan hukumnya dan substansinya juga dibatasi, yang memang kita pahami sebagai korporasi yang banyak digunakan atau dilakukan di Indonesia, yaitu PT, yayasan, perkumpulan yang berada dibawah Kementerian Hukum dan HAM terkait juga pencatatan dan pengawasan perusahaan, ada juga Koperasi yang pencatatan dan pengawasannnya dilakukan oleh Kementerian Koperasi juga UKM, kemudian ada CV dan Firma yang menerbitkan data-data perusahaan yang dilakukan Kementerian Perdagangan,” ujarnya.

Fithriadi menuturkan pada dasarnya yang akan menjadi target pemeriksaan adalah natural person, yakni orang perseorangan yang dapat menunjuk dan memberhentikan. Jadi, tidak terbatas dengan catatan formal dari perusahaan sebagai pemegang saham atau kurs.

“Jadi orang perseorangan yang dapat menunjuk dan memberhentikan direksi, pengurus dari korporasi, pemilik kemampuan yang dapat mengendalikan korporasi berhak atas dana penerima manfaat korporasi baik langsung maupun tidak langsung merupakan pemilik sebenarnya dari perusahaan,” terangnya.

Lebih lanjut, Fithriadi menjelaskan ada beberapa manfaat dari transparansi BO apabila dibantu oleh koporasi.  Pertama, memberikan kepastian hukum atas pertanggungjawaban pidana.

“Nah ini PPATK sendiri itu masih dalam tugas-tugas penelusuran aliran dana, melakukan kegiatan analisis dan pemeriksaan apabila disediakan data base BO, ini yang akan sangat membantu,” katanya.

Kedua, melindungi korporasi dan pemilik manfaat yang beritikad baik. Ketiga, optimalisasi asset recovery. “Kemudian secara umum kami melihat kalau ada transparansi BO tentu asset recovery juga bisa lebih maksimal,” ujarnya.

Selain itu, Ia menuturkan bahwa selama tiga tahun ini pihak dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menggagas dan melakukan kajian BO. Salah satu latar belakangnya disebabkan karena mereka merasa kesulitan dalam mengoptimalkan asset recovery. “Karena ada aset yang mungkin secara formal atas nama tidak terkait dengan persangkaan terdakwa atau terpidana,” katanya.

Karena berbagai pihak juga menuntut keterbukaan BO, Ia berharap pelaksanaan tranparansi dari BO dapat berjalan dengan baik. “Bukan karena semata-mata harus kita wujudkan karena tuntutan masyarakat global, tetapi karena kita mesti mewujudkan transparansi BO, tapi memang faktanya BO ini sering disalahgunakan,” pungkasnya.

(PHB)

Dipromosikan