DPR Berencana Mengikat Komisioner KPPU dengan Kode Etik

Anggota majelis kehormatan terdiri dari komisioner KPPU, profesional dan akademisi.

Ketua Panja RUU Persaingan Usaha Azam Azman Natawijana. Sumber Foto: Twitter.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berupaya mengikat komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dengan mencantumkan aturan kode etik dan majelis kehormatan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Persaingan Usaha Azam Azman Natawijana menilai aturan ini diperlukan untuk menjaga agar komisioner KPPU tidak melakukan perilaku menyimpang. “Perlu untuk pengendalian komisioner, sehingga tidak menyimpang dari perilaku yang tidak sesuai dengan apa yang harus diikuti oleh komisioner dalam mengelola KPPU,” ujarnya kepada Klik Legal melalui sambungan telepon, Rabu (3/5).

Azam menjelaskan aturan kode etik dan pembentukan majelis kehormatan adalah salah satu hal yang baru dalam RUU Persaingan Usaha yang sebelumnya luput diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat yang berlaku saat ini. “Jadi kalau melanggar kode etik nanti bisa diberhentikan. Kalau dulu tidak ada, sekarang (dalam RUU,-red) ada sudah diatur,” jelasnya.

“Kalau ada masalah dengan anggota KPPU, maka majelis kehormatan yang mengambil keputusan dalam sidang anggota KPPU untuk memberikan sanksi,” tambahnya lagi. (Baca Juga: Sah, RUU Persaingan Usaha Jadi RUU Inisiatif DPR).

Aturan Kode Etik dalam RUU Persaingan Usaha

BAB IX KODE ETIK

Pasal 56

(1) KPPU menetapkan dan menegakkan kode etik.

(2) Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh KPPU berisi norma yang harus dipatuhi oleh anggota KPPU selama menjalankan tugas untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas KPPU.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kode etik dan tata cara penegakan kode etik sebagaimana dimaksud ayat (1) diatur dalam Peraturan KPPU.

Pasal 57

(1) Untuk menegakkan kode etik KPPU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56, dibentuk majelis kehormatan.

(2) Majelis kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat ad hoc.

(3) Keanggotaan majelis kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari unsur:

a.       1 (satu) orang anggota KPPU;

b.       2 (dua) orang profesional; dan

c.       2 (dua) orang akademisi.

(4) Anggota KPPU yang duduk di majelis kehormatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a tidak menangani perkara di KPPU yang diadukan.

Pasal 58

(1) Majelis kehormatan bertugas:

a.       melakukan penyelidikan dan verifikasi, serta pemeriksaan atas pengaduan dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik oleh anggota KPPU;

b.       menetapkan putusan; dan

c.       menyampaikan putusan kepada pihak-pihak terkait untuk ditindaklanjuti.

(2) Majelis kehormatan berwenang:

a.       memanggil anggota KPPU yang diduga melakukan pelanggaran kode etik untuk memberikan penjelasan dan pembelaan;

b.       memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak-pihak lain yang terkait untuk dimintai keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau bukti lain;

c.       menjatuhkan sanksi kepada anggota KPPU yang terbukti melanggar kode etik; dan

d.       rekomendasi tentang pemulihan nama baik anggota KPPU terlapor.

(3) Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berupa:

a.       peringatan tertulis;

b.       rekomendasi pemberhentian sementara sebagai anggota KPPU;

c.       rekomendasi pemberhentian dengan hormat sebagai anggota KPPU; atau

d.       rekomendasi pemberhentian dengan tidak hormat secara tetap anggota KPPU.

(4) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari dan ditetapkan dengan Keputusan KPPU.

(5) Rekomendasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c dan huruf d diusulkan oleh KPPU kepada presiden.

Pasal 59

Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan, keanggotaan, dan tata beracara persidangan majelis kehormatan diatur dalam Peraturan KPPU.

 

Dihubungi terpisah, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (FH USU) Prof Ningrum Natasya Sirait mengatakan sebaiknya DPR menjelaskan terlebih dahulu latar belakang mengapa memasukan aturan kode etik ke dalam RUU Persaigan Usaha. “Perlu atau tidak itu kan perlu dijelaskan dulu,” ujarnya. (Baca Juga: Profesor Mengingatkan Asosiasi Advokat Persaingan Usaha Jangan Justru Jadi Wadah Kartel).

Ningrum mengingatkan bahwa yang perlu diperbaiki adalah pengalaman UU Persaingan Usaha yang telah berusia 18 tahun ini yang tidak berjalan dengan baik. “Kenapa (aturan kode etik,-red) itu sampai diusulkan, berarti ada pengalaman yang membuat UU itu perlu menampung itu, kan gitu? Karena mengamandemen itu berdasarkan pengalaman UU Itu ditegakan,” ujarnya lagi.

Mengenai komposisi keanggotaann majelis kehormatan, Ningrum mengakui KPPU memiliki multi pemangku kepentingan. Ia mengusulkan agar seharusnya hakim bisa menjadi salah satu unsur anggota dari majelis kehormatan. “Kalau sudah masuk akademisi, saya usulkan hakim misalnya,” pungkas Ningrum.

Berdasarkan penelusuran Klik Legal, aturan kode etik KPPU bukan hal yang benar-benar baru, walau memang tidak diatur dalam UU No. 5 Tahun 1999. KPPU sendiri sudah memiliki aturan kode etik sendiri dan komisi pengawas yang diatur dalam Peraturan KPPU No. 22 Tahun 2009 tentang Anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha.

Satu-satunya pertimbangan KPPU menerbitkan peraturan tersebut adalah, “untuk menjaga kehormatan, martabat, integritas, dan independensi anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha dalam menjalankan tugasnya.”

(PHB)

Dipromosikan