Perhitungan Ganti Rugi Dalam Gugatan Pelanggaran Merek Belum Ada, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Perlu direvisi

Perhitungan Ganti Rugi Dalam Gugatan Pelanggaran Merek Belum Ada, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Perlu direvisi

Perhitungan Ganti Rugi Dalam Gugatan Pelanggaran Merek Belum Ada, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 Perlu direvisi

Masyarakat Anti Pemalsuan (MIAP) mengadakan webinar dengan tema Best Practice Gugatan Ganti Rugi Pelanggaran Merek dengan perbandingan berdasarkan sudut pandang hukum Indonesia dan praktek internasional, pada Jumat, (28/05).

Hadir sebagai narasumber, Hakim Agung Mahkamah Agung RI, Dr. Ibrahim, S.H., M.H., LLM.,Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Albertus Usada, S.H., M.H., dan Kin Wah Chow yang merupakan Registered Foreign Lawyer di Rouse&Co. Acara ini dimoderatori langsung oleh Dr. Widyaretna Buenastuti, S.H., MM. yang juga merupakan Lead Advisor MIAP.

Dalam kesempatan ini, Ibrahim menyampaikan materinya mengenai tuntutan ganti rugi pelanggaran merek, ia menjelaskan bahwa pemilik merek yang terdaftar memiliki hak atas merek yang bersifat eksklusif sehingga tidak ada orang lain yang boleh menggunakan merek tersebut tanpa seizin pemegang hak atas merek. “Siapa yang menggunakan tanpa hak dari pemilik merek itu dianggap melakukan pelanggaran.” Ungkap Ibrahim.

Namun, Ibrahim menjelaskan permasalahan utama dalam ganti rugi pelanggaran merek adalah belum diatur secara pasti bagaimana cara menghitung bahaya yang harus diganti rugi. “Dalam konteks kekayaan yang bersifat tangible, pasal 1365 KUHPerdata adalah sebagai rujukan. Pertanyaannya, apakah ketentuan pasal 1365 cukup menjadi dasar dalam persoalan ganti rugi atas pelanggaran merek ini, saya ragu karena pasal 1365 ini lebih diarahkan untuk ganti rugi properti yang bersifat tangible sementara hak kekayaan intelektual itu bersifat intangible right.” Tegasnya.

Ia juga mengungkapkan bahwa dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016 juga tidak ditemukan tipe-tipe kerugian yang dapat diajukan oleh penggugat. Ini bisa mengkibatkan ekspektasi yang dimiliki pemilik merek tidak tercapai ketika variabel yang harus dipertimbangkan tidak dapat dibuktikan.

“Undang-Undang Nomor 20 maupun Pasal 365 KUHPerdata itu tidak menguraikan mengenai macam-macam kerugian yang dapat diminta ganti rugi makan menurut saya Undang-undang Nomor 20 ini ada baiknya diamandemen dan diberi tambahan mengenai jenis kerugian apa saja yang dapat dituntut, jika tidak Ketua Mahkamah Agung mengeluarkan Sema yang berisi petunjuk teknis kerugian apa saja yang dapat diperhitungkan dan bagaimana menghitungnya.” Jelas Ibrahim.

Sejalan dengan pendapat Ibrahim, Albertus mengungkapkan bahwa di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, pengajuan gugatan pembatalan merek sering tidak diikuti dengan tuntutan ganti rugi. “Benar yang disampaikan yang mulia Dr. Ibrahim dalam Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis belum ditentukan adanya pedoman bagaimana mnentukannuumlah besaran ganti rugi itu, apakh itu yang menyebabkan pemilik merek terdaftar itu hanya mengajukan gugatan pembatalan merek tanpa diikuti gugatan ganti rugi.” Ungkap Albertus.

Ia mengatakan, untuk mencapai Best Practice gugatan ganti rugi pelanggaran merek terlebih dahulu harus dipahami 3 kategori jenis pelanggaran merek yang terdiri dari : pelanggaran merek karena kemiripan yang menimbulkan kekeliruan; pelanggaran merek karena pertambahan keuntungan yang tidak dibenarkan atau memengaruhi keistimewaan atau reputasi dari merek; dan pelanggaran merek karena penjualan kembali merek.

“Atas dasar jenis pelanggaran itu maka Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis menganut sistem pendaftaran pertama atau first to file system. Kemudian dalam gugatan pembayaran ganti rugi penggugat harus dapat membuktikan kerugian bagi dirinya dan dimaksudkan untuk menempatkan posisi penggugat seolah-olah sebelum terjadi pelanggaran ini yang harus dipahami.” Jelas Albertus.

Terkait penilaian besaran ganti rugi, albertus menyatakan itu digantungkan pada kebijaksanaan hakim dengan menilai kedudukan, kemampuan kedua belah pihak dan keadaan.

Menanggapi itu, Kin Wah Chow menyatakan ini merupakan permasalahan rumit yang juga dihadapi negara lain. “The Common Law trisections such as Singapore, Malaysia, Uk have the sama challenge.” ungkapnya.

Kin menjelaskan, ada dua bentuk ganti rugi, yaitu ganti rugi yang didasarkan pada kerugian penjualan, dan berdasarkan kerugian royalti. Namun, aturan umumnya sama yaitu untuk menempatkan pihak yang dirugikan kembali ke keadaan semestinya bila pelanggaran itu tidak terjadi. “The general rule is that the award of damages is to put the injured party back in the position he would have been in case the tort not accured. The objective is to compensate the plaintiff and not to punish the defendant.” Jelasnya.

Dalam materi yang disampaikan Kin, ada dua poin penting bagi pengadilan dalam memutuskan besaran ganti rugi terhadap pelanggaran merek, yang pertama adalah mengingat bahwa penjualan barang tiruan milik tergugat tidak sama dengan penurunan penjualan produk asli penggugat, dan dalam gugatan Passing Off, Pengadilan tidak berhak menganggap bahwa setiap penjualan barang palsu milik tergugat, akan diperoleh penggugat.

Di akhir kegiatan, ketiga narasumber menyatakan harapannya untuk segera dibentuk panduan yang jelas dan memiliki kepastian hukum terkait dengan perhitungan ganti rugi dalam pelanggaran merek.

SA

Dipromosikan