Revisi UU Arbitrase: Kompetensi Absolut dan Pembatalan Putusan Arbitrase Jadi Sorotan

Revisi UU Arbitrase Kompetensi Absolut dan Pembatalan Putusan Arbitrase Jadi Sorotan

Revisi UU Arbitrase: Kompetensi Absolut dan Pembatalan Putusan Arbitrase Jadi Sorotan

Seringkali menimbulkan polemik dan dianggap sudah kuno, para pakar arbitrase menilai UU Arbitrase perlu direvisi.

Arbitrase merupakan salah satu lembaga alternatif penyelesaian sengketa selain melalui badan peradilan umum. Lembaga ini dibentuk untuk memberikan keefektifan dan efisiensi dalam menyelesaikan suatu permasalahan atau sengketa, terutama terkait sengketa transnasional.

Lembaga ini bukan hanya berlaku bagi sengketa yang sifatnya transnasional, tetapi juga yang bersifat nasional. Di Indonesia, arbitrase diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase).

Namun, undang-undang ini dianggap sudah terlalu kuno. “Karena sudah menyatu dengan aktivitas internasional, nilai cukup pada UU Arbitrase kita itu menjadi tidak cukup”, ujar Dr. Ricardo Simanjuntak, S.H.,L.L.M.,ANZIIF.,MCIArb.

Di samping itu, pada praktiknya, penyelesaian sengketa melalui badan arbitrase menuai beberapa polemik, di antaranya yaitu mengenai kewenangan absolut arbitrase dan pembatalan putusan arbitrase. Oleh karena itu, beberapa ahli meminta pemerintah untuk merevisi UU Arbitrase yang berlaku.

Terkait Kompetensi Absolut Arbitrase, Prof. Basuki Rekso Wibowo S.H.,M.S., menyoroti mengenai sengketa yang termasuk pada kompetensi absolut arbitrase. Beliau menyampaikan adanya multitafsir yang ditimbulkan pada ketentuan dalam Pasal 5 UU Arbitrase tentang sengketa bisnis yang dapat diadili di badan arbitrase karena tidak dijelaskan lebih lanjut tentang ruang lingkup dari sengketa bisnis.

Selain itu, di dalam undang-undang lain, penyelesaian sengketa melalui arbitrase pun dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa ketenagakerjaan dan sengketa jasa konstruksi.

“Saya memberi rekomendasi di UU Arbitrase baru dirumuskan kembali perihal sengketa apa saja yang dapat diselesaikan lewat arbitrase. Meliputi namun tidak terbatas pada sengketa di bidang perdagangan untuk mengantisipasi dinamika yang ada di masyarakat,” urainya.

Menanggapi hal ini, Ricardo Simanjuntak juga  memiliki pandangan yang sama. Menurutnya frase “perdagangan” harus dipertajam.

Ricardo juga menyampaikan opininya lebih lanjut terkait dengan kompetensi absolut arbitrase pada klausula perjanjian. “Jika dalam kontrak mengandung klausula arbitrase maka sesuai Pasal 10 UU Arbitrase, ia punya kemandirian atau prinsip severability.” jelasnya. Melihat banyaknya sengketa terkait kompetensi absolut arbitrase pada klausula kontrak, ia menyayangkan sikap para pihak yang tidak dapat menerima konsekuensi dari klausula tersebut.

Menambahkan hal ini, Hakim Pengadilan Tinggi Denpasar Dr. Yanto, S.H.,M.H., menilai seharusnya para pihak dalam arbitrase konsekuen pada pilihannya. “Kalau pengadilan ya pengadilan, kalau pilih arbitrase ya tunduk. Ini sebenarnya sikap yang mempermalukan… apabila kita kalah, itu lah konsekuensinya.” tukasnya.

Selain kompetensi absolut, para narasumber juga mengkritisi mengenai polemik pembatalan putusan arbitrase. Ketentuan ini menuai pro dan kontra, baik di kalangan akademisi maupun praktisi hukum. Putusan arbitrase sejatinya bersifat final and binding, tidak ada upaya hukum yang bisa dilakukan atasnya. Namun, menurut Yanto, pengajuan pembatalan putusan arbitrase di pengadilan negeri merupakan bentuk ‘upaya hukum’ secara tidak langsung.

Beliau mengatakan bahwa dalam praktiknya, hal tersebut beberapa kali menghambat eksekusi dari putusan arbitrase sebelumnya.

“Berkaitan dengan eksekusi, hampir semua pengguna itu pada mengajukan pembatalan. Ada juga yang sekedar ingin mengulur-ulur saja. Nah, kalau misal kedepannya permohonan pembatalan itu tidak termasuk ketentuan Pasal 70 UU Arbitrase, seyogyanya dalam UU Arbitrase baru ada pasal lain di mana hakim bisa memberikan putusan sela atau putusan hakim. Tidak perlu pembuktian yang memakan waktu lama karena tidak sesuai dengan karakter arbitrase yang cepat dan efisien,” jelasnya.

Sedangkan Wakil Ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Prof. Huala Adolf, S.H.,L.L.M.,Ph.D.,FCBArb. menyampaikan bahwa UU Arbitrase sebaiknya diamandemen saja. Ia menganggap bahwa UU Arbitrase masih bagus karena prinsip-prinsip arbitrase dari United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) telah termuat dalam undang-undang ini.

Membahas soal pembatalan putusan arbitrase internasional, ia berpendapat bahwa dalam UU Arbitrase yang ada, hal tersebut tidak dapat dibatalkan. “Esensinya, khusus untuk pembatalan, undang-undang kita kuat. Kita tidak menerapkan tujuh alasan pembatalan pada Pasal 5 konvensi New York. Hanya tiga alasan dan itu bukan dibatalkan, namun tidak dapat dilaksanakan.” kata Guru Besar Universitas Padjajaran ini.

 

RS

Dipromosikan