Rancangan Kebijakan PLTS Atap Terbaru Dinilai Akan Hadirkan Masalah Baru

Rancangan Kebijakan PLTS Atap Terbaru Dinilai Akan Hadirkan Masalah Baru

Rancangan Kebijakan PLTS Atap Terbaru Dinilai Akan Hadirkan Masalah Baru

Pro kontra revisi Permen PLTS Atap terus bergulir, jika diterbitkan malah berpotensi meningkatkan beban keuangan negara.

Pengembangan energi baru terbarukan semakin masif dilakukan. Salah satunya adalah dari tenaga surya (matahari) sebagai pembangkit listrik. Pemerintah pun memiliki ambisi untuk mengembangan kebijakan dibidang ini agar dapat mentransformasikan energi fosil menjadi energi non fosil.

Secara normatif pengaturan mengenai Pembangkit Tenaga Listrik Surya (PLTS) diatur dalam Pengaturan mengenai pengembangan PLTS Atap ini terdapat pada peraturan berikut ini: 

  1. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap Oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara.
  2. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Perubahan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap Oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara.
  3. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Energi Nomor 49 Tahun 2018 tentang Penggunaan Sistem Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap Oleh Konsumen PT Perusahaan Listrik Negara.

Rencananya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan melakukan revisi atas peraturan di atas untuk pengembangan PLTS di Indonesia beberapa diantaranya mengatur mengenai ketentuan ekspor-impor dan pengembangan PLTS Atap. 

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi menyatakan bahwa pihaknya menyarankan pengembangan PLTS atap difokuskan di daerah yang listriknya tidak oversupply. Dengan demikian kebijakan ini dalam meningkatkan bauran energi baru terbarukan dan meningkatkan pemerataan akses energi. 

Ia juga menyoroti mengenai revisi ekspor dalam ketentuan Rancangan Permen ESDM. ekspor listrik yang dimaksudkan adalah pada saat pengguna  PLTS Atap mengirimkan listrik hasil PLTS kepada PLN di siang hari. Sedangkan impor listrik terjadi pada saat malam hari, apabila produksi listrik dari PLTS tidak berjalan maka pengguna akan mengambil listrik dari PLN. 

“Dengan revisi ekspor 1:1, akan menguntungkan sejengkal konsumen, yang saya sebut konsumen semu. Karena dia sebagai konsumen listrik (PLN), di sisi lain dia produksi listrik. Ini jadi konsumen, tapi ada hitung-hitungan transaksi,” ungkap Tulus dalam keterangan resminya, Selasa 31 Agustus 2021 lalu sebagaimana dikutip dari Media Indonesia.

Artinya, PLN harus membeli listrik yang dihasilkan dari PLTS Atap di tempat pelanggan menjadi 100 persen padahal sebelumnya feed in tariff ekspor-impor listrik adalah 1:0,65. Apabila sektor ekspor listrik sudah 100 persen maka PLN akan membeli listrik sebesar Rp 1.500, dan jika dikomparasikan dengan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berasal dari batu bara dengan biaya Rp 600, maka akan jauh lebih menguntungkan apabila menggunakan PLTU dibandingkan PLTS. 

Pemberlakuan kebijakan baru tersebut secara langsung akan memberikan tekanan bagi keuangan negara. “Ini kurang adil. Tapi, ingat PLN itu punya Pemerintah, jadi Pemerintah harus memikul kekurangan tersebut,” ujar Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Herman Daniel sebagaimana dikutip dari Tempo.

Kebijakan ini dinilai kurang tepat sebab adanya eskalasi cadangan listrik akibat kebijakan pemerintah terkait pembangunan pembangkit 35.000 megawatt (MW) yang tanpa memikirkan serapan pasokan listriknya (surplus).  Menurut Tulus, dengan adanya revisi Permen PLTS Atap, dikhawatirkan pasokan listrik PLN semakin tidak terserap.

Maka dari itu YLKI menghimbau bahwa pengembangan PLTS atap diselenggarakan di wilayah yang belum memiliki akses listrik dari PLN secara langsung bukan pada daerah yang memiliki supply listrik yang terkendali seperti di Sumatera dan Jawa. 

DAS

Dipromosikan