Polemik Organisasi Advokat Tak Kunjung Usai, Luhut MP Tawarkan Sistem Single Bar Relatif

Polemik Organisasi Advokat Tak Kunjung Usai, Luhut MP Tawarkan Sistem Single Bar Relatif

Polemik Organisasi Advokat Tak Kunjung Usai, Luhut MP Tawarkan Sistem Single Bar Relatif

Kita setuju single bar tapi jangan single bar absolut, tapi pakailah single bar relatif, yaitu yang satu itu yang memang harus ditunggalkan, yaitu standar profesi.”

Polemik single bar dan multi bar organisasi advokat di Indonesia, tampaknya tak kunjung usai. Jika menilik ke belakang, polemik ini telah bergulir jauh sebelum disahkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat).

UU Advokat mengamanatkan dibentuknya “Organisasi Advokat”, dengan definisi sebagai organisasi profesi yang didirikan berdasarkan UU Advokat. Sedangkan Pasal 28 ayat (1) UU Advokat, menyatakan Organisasi Advokat merupakan satu-satunya wadah profesi advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk sesuai dengan ketentuan UU Advokat dengan maksud dan tujuan untuk meningkatkan kualitas profesi advokat.

Dalam bukunya yang berjudul “Advokat, Organisasi, dan Kedudukannya dalam Kekuasaan Kehakiman”, praktisi hukum Luhut MP Pangaribuan, memperkenalkan istilah single bar absolut dan single bar relatif.

Terkait hal itu, Luhut berpendapat, bahwa sistem yang lebih baik dipakai oleh profesi advokat Indonesia, ialah single bar relatif. 

“Jadi absolut itu sebenarnya merujuk kepada, jangan pusatkan kekuasaan atau kewenangan pada satu tangan, karena itu kan sudah klasik, dan menurut saya itu lah yang menyebabkan perpecahan itu. Kita setuju single bar tapi jangan single bar absolut, tapi pakailah single bar relatif, yaitu yang satu itu yang memang harus ditunggalkan, yaitu standar pofesi,” ujarnya pada live Instagram Hukumonline, bertajuk “Single Bar dan Kualitas Profesi Advokat Masa Depan”, Selasa (31/08).

Ia menambahkan, bahwa paling tidak ada empat aspek yang perlu disatukan. Pertama, kode etik. Kedua, dewan kehormatan. Kemudian, standarisasi PKPA. Terakhir, pengawasan.

Menurutnya, apabila aspek-aspek tersebut dapat disatukan dapat menyelesaikan separuh masalah profesi advokat yang bergulir hingga kini. “Saya kira paling tidak lebih dari separuh masalah profesi advokat atau keluhan terhadap advokat itu selesai,” pungkasnya.

Kilas Balik

Menurut UU Advokat, organisasi advokat berwenang untuk:

  • Menyelenggarakan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA);
  • Menyelenggarakan ujian advokat;
  • Mengangkat advokat;
  • Menentukan kode etik profesi advokat;
  • Membentuk Dewan Kehormatan;
  • Membentuk Komisi Pengawas;
  • Melakukan pengawasan terhadap advokat; dan
  • Memberhentikan advokat.

Setelah itu, berdirilah Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) pada 7 April 2005. Asal mula PERADI yakni merupakan hasil bentukan Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) yang berisikan 8 (delapan) organisasi advokat yang ada sebelum terbitnya UU Advokat.

Organisasi-organisasi tersebut adalah, Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI).

Berdirinya PERADI tak menghentikan pembentukan sejumlah organisasi advokat lainnya. Apalagi, terdapat sebagian pihak yang menilai bahwa pembentukan PERADI tidak melalui mekanisme yang demokratis, akuntabel, dan transparan. Hingga, dibuat organisasi advokat “tandingan”, yakni Kongres Advokat Indonesia (KAI) yang berdiri pada 28 Oktober 2008 silam.

Dua tahun berselang, pada 25 Juni 2010, MA mengeluarkan SK MA Nomor 089/KMA/VI/2010. Yang pada pokoknya menyatakan, Ketua Pengadilan Tinggi (KPT) dapat mengambil sumpah para advokat yang telah memenuhi syarat dengan ketentuan bahwa usul penyumpahan tersebut harus diajukan pengurus PERADI. Dengan begitu, MA kembali menegaskan supremasi PERADI.

Akan tetapi, perpecahan dalam tubuh PERADI itu sendiri, juga banyaknya permintaan  penyumpahan advokat dari organisasi lainnya, mendorong MA mengeluarkan SK MA Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 bertanggal 25 September 2015. Yang pada intinya menyatakan, KPT berwenang untuk mengambil sumpah para advokat yang telah memenuhi syarat dari organisasi advokat manapun.

SK MA tersebut semakin mendorong menjamurnya organisasi advokat di Indonesia. Sejumlah organisasi advokat juga meluncurkan produk PKPA dan Ujian Profesi Advokat (UPA) miliknya masing-masing. 

Berdasarkan keterangan Sekretaris Jenderal PERADI Rumah Advokat Bersama (RBA), Imam Hidayat, kepada EDITOR.ID, Maret lalu, sudah ada 40-an organisasi advokat yang tersebar di Indonesia.

Sempat pada 2018 lalu, enam advokat dan calon advokat mengajukan permohonan uji materiil UU Advokat kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Para pemohon intinya memohon agar frasa ‘organisasi advokat’ dalam pasal-pasal UU Advokat dimaknai sebagai ‘Perhimpunan Advokat Indonesia’ atau PERADI.

Permohonan ini ditolak dengan Putusan MK No. 35/PUU-XVI/2018. Pada kesempatan ini, lagi-lagi MK menegaskan bahwa secara konstitusional PERADI merupakan wadah tunggal organisasi advokat. Tetapi, sebagai wujud terjaminnya kebebasan berserikat dan berkumpul, MK tidak melarang organisasi advokat lain yang secara de facto ada. Bahkan, advokat dari organisasi selain PERADI diperbolehkan diambil sumpahnya di Pengadilan Tinggi.

Namun, saat membacakan putusan pada 28 November 2019 silam, Hakim Konstitusi, Suhartoyo, mengatakan itu tidak serta merta berarti organisasi advokat selain PERADI dapat melaksanakan 8 (delapan) kewenangan organisasi advokat yang diberikan UU Advokat.

AAB

Dipromosikan