Inkonsistensi Putusan MK dalam Eksekusi Jaminan Fidusia

Inkonsistensi Putusan MK dalam Eksekusi Jaminan Fidusia

Inkonsistensi Putusan MK dalam Eksekusi Jaminan Fidusia

Segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Semenjak telah diputusnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019 (Putusan No. 18/PUU-XVII/2019), terdapat ambiguitas yang terjadi di masyarakat. Ambiguitas tersebut berkaitan dengan terdapat beberapa pihak yang menyatakan bahwa jaminan fidusia tidak dapat dieksekusi tanpa putusan pengadilan dan ada yang mengatakan bahwa sertifikat jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Ambiguitas ini menyebabkan beberapa kreditur menggunakan kesempatannya untuk mengelak penagihan kredit oleh kreditur. Sebagian debitur berargumen bahwa diperlukan suatu putusan pengadilan untuk melakukan eksekusi jaminan fidusia (fiat executie).

Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 2/PUU-XIX/2021 menerangkan implikasi Putusan 18/PUU-XVII/2019 terhadap jaminan fidusia. 

Menurut MK, pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia melalui pengadilan negeri sesungguhnya hanyalah sebagai sebuah alternatif yang dapat dilakukan dalam hal tidak ada kesepakatan antara kreditur dan debitur baik berkaitan dengan wanprestasi maupun penyerahan secara sukarela objek jaminan dari debitur kepada kreditur. 

Sedangkan terhadap debitur yang telah mengakui adanya wanprestasi dan secara sukarela menyerahkan objek jaminan fidusia, maka eksekusi jaminan fidusia dapat dilakukan oleh kreditur atau bahkan debitur itu sendiri.

Pakar Hukum Tata negara dari Universitas Andalas Feri Amsari menjelaskan syarat agar perusahaan pembiayaan dapat menyita sertifikat jaminan fidusia tanpa putusan PN adalah debitur harus mengakui terlebih dahulu bahwa ada wanprestasi. “Jika debitur mengakui wanprestasi, maka kreditur dapat mengeksekusi tanpa putusan PN. Jadi syaratnya pengakuan dan sukarela debitur dulu,” terang Feri kepada CNNIndonesia.com, Senin (6/9).

Lalu, bagaimana jika hanya kreditur yang mengakui bahwa debitur telah melakukan wanprestasi? Pakar dari Universitas Andalas ini melanjutkan jika debitur tak mengakui ada wanprestasi, maka eksekusi harus dilakukan lewat putusan PN. Setelah PN memutuskan bahwa ada wanprestasi, perusahaan pembiayaan (multifinance) baru bisa mengeksekusi sertifikat jaminan fidusia tersebut.

Suwandi selaku Ketua Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) mengatakan pelaksanaan eksekusi sertifikat jaminan fidusia melalui putusan PN hanya sebagai alternatif. Putusan No. 2/PUU-XIX/2021 menurut Ketua APPI akhirnya mempertegas ketentuan yang telah diatur dalam Putusan No. 18/PUU-XVII/2019.

Alasan Permohonan

Ambiguitas ini dirasakan oleh Joshua Michael Djami yang berprofesi sebagai kolektor internal bersertifikasi pada suatu perusahaan leasing yang juga merupakan pemohon dalam perkara Putusan 18/PUU-XVII/2019. Kolektor bersertifikasi itu pun kerap mengalami berbagai kesulitan semenjak ditafsirkannya undang-undang dalam perkara a quo. Permasalahan-permasalahan tersebut diantaranya adalah berkurangnya pendapatan pemohon hingga sulitnya melakukan eksekusi terhadap barang jaminan fidusia dikarenakan pemberi hak fidusia (debitur) kerap kali mengelak ketika dilakukan penagihan pembayaran.

Zico Leonard Djagardo Simanjuntak selaku kuasa hukum pemohon berpendapat bahwa terdapat kekeliruan paradigma berpikir dalam putusan Putusan No. 2/PUU-XIX/2021. Pemohon Pengujian Undang-Undang MD3 ini berpendapat, raison d’etre Putusan 18/PUU-XVII/2019 adalah ketika pemohon perkara, Aprilliani Dewi dilakukan penagihan dengan cara semena-mena oleh kolektor yang tidak bersertifikasi.

Zico Leonard berpendapat, kasus Aprilliani Dewi sebenarnya hanyalah penyimpangan yang terjadi pada praktik. Padahal, POJK No. 35 tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan telah mengatur setiap kolektor harus memiliki sertifikasi untuk menagih pembayaran debitur. Menurutnya, MK keliru dalam memutus suatu kasus yang hanya terjadi penyimpangan di lapangan, walaupun regulasi terkait telah mengatur secara tepat.

“Kalau kita lihat kondisi pada saat diputus, Pemohon PUU 2019 itu ditagih semena-mena sama kolektor mata elang (tidak bersertifikasi), ya makanya kala itu MK memutus seperti itu. Tapi sebenarnya dari amanat POJK pun kolektor harus bersertifikasi. Jadi sebenarnya, kasus Aprilliani itu regulasinya udah mengatur bener loh, tapi memang praktiknya salah karena tadi, beberapa kolektor mata elang asal tagih.” ujar Zico kepada Kliklegal.

Pemohon Pengujian Undang-Undang MPR, DPR, DPRD dan DPD ini berpendapat, imbas dari Putusan 18/PUU-XVII/2019 lebih merugikan kepada kolektor bersertifikasi. Hal ini dikarenakan debitur sering kali menggunakan argumentasi dalam Putusan 18/PUU-XVII/2019 untuk mengelak eksekusi jaminan.

“Tapi yang jadi miris, karena putusan MK PUU Fidusia 2019 itu, jadinya kolektor bersertifikasi yang kena imbas. Debitur pada gunain kesempatan untuk ngelak. Padahal, kolektor itu bayar loh untuk memiliki sertifikat, tapi performa kerjanya jadi turun by system. Tapi yang ga bersertifikasi malah ga ada dampaknya bagi mereka, masih banyak tuh berita di internet penangkapan-penangkapan kolektor mata elang.l,” urainya lebih lanjut.

Komentari Putusan

Kuasa hukum Pemohon menguraikan terdapat inkonsistensi antara Putusan No. 2/PUU-XIX/2021 dan Putusan 18/PUU-XVII/2019. Beliau mengatakan, dirinya tidak pernah menemukan frasa ‘alternatif’ di dalam putusan Putusan 18/PUU-XVII/2019. Lebih lanjut, MK mengemas itu dengan mengatakan “Pemohon tidak memahami secara utuh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019.”

Zico Leonard secara lebih lanjut juga menguraikan sebenarnya terkait dengan frasa sukarela pun, MK sudah mengamini apa yang dipaparkannya bahwa sukarela dalam melakukan sita jaminan fidusia termasuk eksekusinya sudah termasuk ketika debitur menyetujui perjanjian. “Itu semua sebenarnya ada di dalam persidangan dan risalah sidang. Tapi MK ga nyebutin itu sama sekali dalam putusan.” tukasnya.

Kilas Balik Putusan No. 18/PUU-XVII/2019

Hakim Konstitusi dalam Putusan No. 18/PUU-XVII/2019 menyatakan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (Undang-Undang Fidusia) menyatakan pasal 15 ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945. MK menyatakan terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap

MK juga menjelaskan perihal frasa ‘janji’ yang dimaksud dalam pasal 15 ayat (3) adalah sah sepanjang tidak dimaknai terhadap jaminan fidusia yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji (wanprestasi) dan debitur keberatan menyerahkan secara sukarela objek yang menjadi jaminan fidusia, maka segala mekanisme dan prosedur hukum dalam pelaksanaan eksekusi Sertifikat Jaminan Fidusia harus dilakukan dan berlaku sama dengan pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap

Berdasarkan penguraian MK dalam No. 18/PUU-XVII/2019, maka terdapat beberapa poin yang perlu diperhatikan. Pertama, parate executie dapat dilaksanakan apabila terdapat kesepakatan mengenai wanprestasi antara kreditur dan debitur. Kedua, debitur tidak keberatan menyerahkan secara sukarela objek jaminan fidusia. Ketiga, bilamana tidak terdapat kesepakatan mengenai wanprestasi, maka harus ada upaya hukum yang menentukan waktu terjadinya cidera janji (gugatan).

 

AN

Dipromosikan