Penerbitan Regulasi Soal Rasio Pembiayaan UMKM Oleh BI Dinilai Offside

Penerbitan Regulasi Soal Rasio Pembiayaan UMKM Oleh BI Dinilai Offside

Penerbitan Regulasi Soal Rasio Pembiayaan UMKM Oleh BI Dinilai Offside

PBI ini diterbitkan sebagai salah satu upaya BI dalam meningkatkan inklusi ekonomi dan membuka akses keuangan serta memperkuat peran Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dalam pemulihan ekonomi nasional.

Pada akhir bulan Agustus 2021 ini Bank Indonesia (BI) menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 23/13/PBI/2021 tentang Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudensial (RPIM) bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum Syariah, dan Unit Usaha Syariah, yang berlaku efektif pada 31 Agustus 2021.

Dalam keterangan resminya, Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI, Erwin Haryono, mengatakan bahwa PBI ini diterbitkan sebagai salah satu upaya BI dalam meningkatkan inklusi ekonomi dan membuka akses keuangan serta memperkuat peran Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dalam pemulihan ekonomi nasional. 

Ia juga mengatakan kebijakan tersebut memberikan opsi yang lebih luas bagi perbankan untuk berpartisipasi dalam pembiayaan UMKM, Perorangan Berpenghasilan Rendah (PBR), dan pembiayaan yang bersifat inklusif lainnya.

Pembiayaan Inklusif

Peraturan tersebut memberikan penjelasan mengenai pelaksanaan RPIM oleh perbankan, ruang lingkupnya, dan kewajiban pemenuhan pembiayaan yang dilakukan secara bertahap yang terdiri dari sekurang-kurangnya 20% pada tahun 2022, 25% pada tahun 2023, dan 30% pada tahun 2024.

RPIM adalah rasio yang menggambarkan porsi Pembiayaan Inklusif bank dengan formula perhitungan membandingkan antara hasil pengurangan nilai Pembiayaan Inklusif dengan nilai sertifikat deposito Pembiayaan Inklusif terhadap total kredit atau pembiayaan.

Pembiayaan inklusif ini bisa dilakukan dalam empat opsi yakni memberikan kredit secara langsung ke UMKM dan rantai pasok, pemberian kredit melalui lembaga jasa keuangan, badan layanan umum dan badan usaha, pembelian surat berharga pembiayaan inklusif, serta pembiayaan inklusif lainnya yang ditetapkan BI.

Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Yuda Agung mengatakan, apabila bank tidak memiliki ekspertise lakukan pembiayaan langsung ke UMKM, dengan aturan RPIM ini ada opsi lain. Bisa menyalurkan kredit lewat mitra lembaga jasa keuangan lainnya yang non bank (channeling) seperti fintech peer to peer (P2P) atau membeli surat berharga pembiayaan inklusif (SBPI) yang underlying-nya pembiayaan UMKM.

Ia juga melanjutkan SBPI bisa berupa Surat Berharga Negara (SBN) inklusif yang diterbitkan pemerintah yang komitmen penggunaannya untuk program pengembangan UMKM/PBR dan pembiayaan inklusif. Kemudian bisa dalam bentuk Efek Beragun Aset (EBA) inklusif yang memiliki underlying pembiayaan inklusif, covered bonds dan sukuk BI inklusif. Selain itu, SBPI bisa berupa obligasi/MTN inklusif yang komitmen penggunaan dananya  untuk pembiayaan inklusif serta sertifikat deposito pembiayaan inklusif.

Lebih lanjut, peraturan tersebut juga merinci tata cara penghitungan RPIM, pelaporan, publikasi, pengawasan, evaluasi dan bantuan teknis, serta penghargaan dan sanksi.

Menuai Banyak Kritik

Dilansir dari Tribunnews, Menurut Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, penerbitan peraturan tersebut dengan substansi yang seperti itu merupakan di luar kewenangan BI. Domain BI lebih ke pengaturan makro dan tidak pada tataran mikro, misalnya mengatur bagaimana bank beroperasi. 

Piter mengaku setuju bank didorong untuk meningkatkan penyaluran kredit, tetapi harus sesuai dengan kewenangannya, karena pengaturan dan pengawasan perbankan sudah beralih ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak 31 Desember 2013.

Jika tidak memenuhi ketentuan PBI RPIM tersebut, bank akan mendapatkan sanksi berupa teguran tertulis sampai denda materiil sebesar 0,1 kali nilai pencapaian penyaluran kredit ke UMKM atau maksimal denda Rp 5 miliar. Sanksi ini dinilai Piter diluar kewenangan BI.

Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara juga berpendapat sama. Menurutnya, ada sejumlah tantangan yang akan dihadapi perbankan dalam memenuhi ketentuan PBI RPIM. Di antaranya, terkait pengalaman bank dalam menyalurkan kredit UMKM. Hal ini, terutama bagi bank yang fokus bisnisnya ke segmen korporasi dan konsumsi. 

Walaupun tersedia skema channeling pembiayaan UMKM, bank yang core business-nya non UMKM, masih akan kesulitan mendapatkan mitra. Kalaupun ada, misalnya koperasi, juga tidak menjamin penyaluran kredit bank ke UMKM akan meningkat. Sebab, tidak semua koperasi punya kredibilitas dalam penyaluran kredit ke UMKM.

Selain itu, banyak koperasi yang ketika diberikan channeling pembiayaan UMKM dalam jumlah yang besar, justru operasionalnya bermasalah. Maka dari itu akan sulit bagi bank untuk memenuhi PBI ini. Maka dari itu, apabila kebijakan pemerintah dan regulator arahnya benar-benar mendukung pengembangan UMKM, perbankan tidak perlu dipaksa menyalurkan kreditnya ke segmen tersebut. Tanpa dipaksa dengan PBI, bank dengan sendirinya akan lebih tertarik masuk ke UMKM.

MAL.

Dipromosikan