Hati-Hati Debt Collector Tak Bersertifikasi, Bisa Dilaporkan ke Polisi Lho!

Hati-Hati Debt Collector Tak Bersertifikasi, Bisa Dilaporkan ke Polisi Lho!

Hati-Hati Debt Collector Tak Bersertifikasi, Bisa Dilaporkan ke Polisi Lho!

Perusahaan-perusahaan leasing tetap jadikan eksekusi sebagai opsi terakhir. Namun, jika terpaksa, umumnya perusahaan-perusahaan melakukan dengan sopan. Asosiasi leasing dukung eksekusi berlebihan oleh debt collector tak bersertifikasi dilaporkan ke polisi.

Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), Suwandi Wiratno, mengatakan bahwa debt collector tidak bersertifikasi atau ilegal dapat dilaporkan ke polisi untuk diproses secara hukum.

“Penarikan unit secara berlebihan dengan debt collector ilegal atau tidak tersertifikasi dapat dilaporkan kepada polisi. Kami sepakat debt collector ilegal dapat ditangkap agar bisa dihukum,” ujar Suwandi dalam acara Bulan Inklusi Keuangan yang digelar Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kamis (30/09).

Ia memaparkan bahwa non-performing financing gross (NPF gross) perusahaan pembiayaan pada Juli 2021 berada pada level rendah, yakni sebesar 3,95%. Oleh karena itu, sebenarnya jumlah penarikan unit produk yang debiturnya gagal bayar sangat sedikit.

Perusahaan-perusahaan pembiayaan atau leasing tetap menjadikan penarikan produk sebagai opsi terakhir. Namun, jika terpaksa melakukan penarikan, umumnya perusahaan-perusahaan leasing melakukan dengan sopan.

Sebanyak 5,2 juta debitur juga telah terbantu dengan terbitnya Peraturan OJK (POJK) No. 58 Tahun 2020 tentang Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019 bagi Lembaga Jasa Keuangan Non Bank.

“Kurang lebih 60 sampai 70 persen debitur saat ini sudah kembali membayar normal. Artinya, perusahaan pembiayaan itu sebetulnya tidak tertarik untuk bicara eksekusi, tapi karena yang kami pinjamkan adalah uang, kami lebih senang para debitur membayar cicilan dengan uang, dengan taat sampai lunas,” kata Suwandi.

Suwandi juga memaparkan bahwa mayoritas sengketa, sekitar 90 persen, terjadi ketika unit produk sudah berpindah tangan ke pihak ketiga. Di lain sisi, debitur pertama menghilang, seperti pindah tempat tinggal ke kota atau ke pulau lain.

“Eksekusi pun terjadi karena biasanya pihak ketiga kurang bisa bekerja sama. Biasanya kami edukasi agar sopan santun sesuai prosedur dan kita ajak ke kepolisian untuk dimediasi, atau dibawa ke Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS) di OJK,” tambahnya.

Putusan MK Ringankan Beban

Beban perusahaan leasing dalam mengeksekusi unit produk gagal bayar berkurang. Hal ini berkat terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 2/PUU-XIX/2021 pada 31 Agustus lalu.

Pasalnya, putusan tersebut menyatakan bahwa, eksekusi sertifikat jaminan fidusia melalui pengadilan negeri hanyalah sebuah alternatif, yang dapat dipilih jika tidak ada kesepakatan antara kreditur dan debitur, baik berkaitan dengan wanprestasi, maupun penyerahan secara sukarela objek jaminan dari debitur kepada kreditur.

Sehingga, apabila di awal kreditur dan debitur telah bersepakat adanya penyitaan jika timbul masalah, proses eksekusi tidak lagi perlu dilakukan melalui pengadilan.

Putusan itu juga menyatakan bahwa, bagi debitur yang telah mengakui adanya wanprestasi, eksekusi jaminan fidusia dapat langsung dilakukan oleh kreditur atau bahkan debitur itu sendiri.

Putusan ini disambut baik oleh APPI. Pada kesempatan sebelumnya, Minggu (12/09), Suwandi mengatakan, “Putusan MK yang baru ini bisa membantu kami menekan NPF yang selama ini sangat membebani industri pembiayaan.” tukasnya.

Suwandi berpendapat bahwa, putusan MK terbaru ini memberikan kepastian atas eksekusi fidusia. Sebab, Putusan MK terkait eksekusi fidusia sebelumnya, Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019, menimbulkan penafsiran berbeda-beda terkait eksekusi fidusia.

Yaitu muncul penafsiran bahwa eksekusi harus dilakukan melalui pengadilan, sementara muncul pula penafsiran bahwa eksekusi tidak harus melalui pengadilan.

Debt Collector Wajib Punya 4 Dokumen Ini

Aturan terkait debt collector diatur pada POJK Nomor 35 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan.

Pasal 48 ayat (1) POJK tersebut mengatur bahwa, perusahaan pembiayaan dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain untuk melakukan fungsi penagihan kepada debitur.

Kemudian, Pasal 65 ayat (5) mengatur bahwa pegawai dan/atau tenaga alih daya perusahaan pembiayaan yang menangani fungsi penagihan dan eksekusi agunan wajib memiliki sertifikasi profesi di bidang penagihan dari lembaga sertifikasi profesi di bidang pembiayaan yang terdaftar di OJK.

Lembaga yang dimaksud disini adalah PT. Sertifikasi Profesi Pembiayaan Indonesia atau SPPI. Untuk petugas yang melakukan penagihan, SPPI melakukan Sertifikasi Profesi Penagihan Pembiayaan.

Kemudian, menurut keterangan OJK, ketika melakukan penagihan, debt collector harus membawa 4 dokumen, termasuk sertifikat di atas. “Dalam melakukan penagihan, debt collector perusahaan pembiayaan, wajib membawa sejumlah dokumen, yakni kartu identitas, sertifikat profesi dari lembaga resmi, surat tugas dari perusahaan pembiayaan, dan bukti jaminan fidusia,” papar Juru Bicara OJK, Sekar Putih Djarot, Selasa (27/07) lalu.

AAB

Dipromosikan