Pelarangan Ekspor Nikel Olahan 30%-40% Dikhawatirkan Timbulkan Potensi Sengketa Dagang

Pelarangan Ekspor Nikel Olahan 30%-40% Dikhawatirkan Timbulkan Potensi Sengketa Dagang

Pelarangan Ekspor Nikel Olahan 30%-40% Dikhawatirkan Timbulkan Potensi Sengketa Dagang

Terdapat risiko kerugian yang besar bagi negara-negara pengimpor nikel olahan

Suatu kebijakan diselenggarakan memiliki konsiderasi yang mendasarinya. Salah satunya kebijakan pelarangan ekspor nikel olahan dengan kandungan sebesar 30%-40% untuk mendorong hilirisasi nikel. Dengan adanya kebijakan ini akan memiliki implikasi positif bagi pengembangan investasi di Indonesia dan memungkinkan adanya penanaman modal baru untuk menghasilkan produk jadi dari Indonesia yang berasal dari nikel.

Harapannya, Indonesia bisa keluar dari “jebakan” pengekspor bahan mentah dan menjadi produsen barang jadi. Kebijakan ini pada dasarnya merupakan kontinuitas dari berbagai kebijakan yang sudah diimplementasikan sebelumnya berkaitan dengan nikel.

Wacana kebijakan ini disampaikan langsung oleh Pemerintah Cq. Kementerian Investasi yang dipimpin oleh Bahlil Lahadalia yang mengatakan, “Ke depan kami berpikir bahwa bahan baku nikel tidak boleh lagi ekspor yang baru 30-40%. Cadangan nikel bisa habis, minimal 70%,” sebagaimana dikutip dari Idx Channel.com. 

Salah satunya adalah Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2019 tentang  tentang Perubahan Kedua Atas Permen ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara Jo. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara (Permen ESDM Pengusahaan Minerba).

Dalam Permen ESDM Pengusahaan Minerba melarang adanya kegiatan dan/atau usaha yang mengekspor bijih. Bijih merupakan kumpulan mineral yang mengandung 1 (satu) logam atau lebih yang dapat diolah secara menguntungkan sebagaimana dinyatakan pada Pasal 1 angka 12 peraturan tersebut.

Dalam Permen ESDM Pengusahaan Minerba ini menyatakan bahwa bijih nikel dengan kadar di bawah 1,7 persen tidak dapat dikirim ke luar negeri sebagaimana dinyatakan pada Pasal 62A (pasal sisipan dalam peraturan ini). Ketentuan ini berlaku terhadap pemegang Izin Usaha Pertambangan Operasi sebelum berlakunya ketentuan peraturan ini yakni 31 Desember 2019. Dengan demikian per-Januari 2020, Pemegang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi tidak dapat lagi mengekspor bijih nikel kadar kurang dari 1,7%. 

Oleh sebab pengaturan yang melegitimasi secara yuridis ini belum ada, maka hendaknya pemerintah mulai merancang instrumen dari penyelenggaraan kebijakan agar memenuhi unsur kepastian hukum dan perlindungan bagi para pihak. Salah satunya adalah dengan menyusun perubahan ketiga atas Permen ESDM Pengusahaan Minerba. 

Perubahan Permen ESDM ini paling relevan untuk dilakukan, sebab pengaturan serupa mengenai ekspor minerba juga diatur dalam jenis peraturan menteri. 

Dengan adanya pelarangan mulai dari bijih hingga nikel olahan 30 %-40% ini akan membuat hilirisasi mineral dapat tercapai dan demi pengamanan cadangan serta peningkatan nilai tambah yang diselenggarakan dalam waktu yang bersamaan.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menyampaikan, “hingga 2025 ditargetkan bakal ada 98 pabrik pengolahan yang ditargetkan berdiri di Indonesia dan baru 31 yang beroperasi sementara lainnya dalam tahapan konstruksi dan perizinan”, sebagaimana dikutip dari nikel.co.id.

Relasi Dengan Pengusaha Negara Pengimpor dan Belajar Dari Larangan Ekspor Bijih Nikel

Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey menyatakan, “Jangan sampai nanti produksi Indonesia yang melarang olahan nikel dibawah 30 persen akan digugat oleh negara lain atau bahkan mungkin dunia, nah ini harus diantisipasi,” dalam Market Review IDX Channel.  

Hal ini menjadi kekhawatiran yang relevan mengingat saat ini hubungan Indonesia dengan pengimpor sangat baik, terutama negara permintaan dari Tiongkok,Ukraina, Jepang, dan Australia. Bahkan di Tiongkok harga komoditas nikel mencapai USD 18.007/MT dan meningkat sebesar 2,45% dibandingkan posisi di tahun lalu.  

Maka terdapat risiko kerugian yang besar bagi negara-negara pengimpor nikel olahan ini. maka dari itu pemerintah hendaknya juga memikirkan masa depan relasi dagang antara Indonesia dengan negara pengimpor dengan meminimalisir potensi terjadi sengketa.

Pada medio bulan Januari 2021 Indonesia menghadapi gugatan di World Trade Organization (WTO) dari Uni Eropa perihal kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel yang dimulai pada 1 Januari 2020 dengan grade konsentrat kurang dari 1,7%. Uni Eropa menilai bahwa Indonesia melakukan kebijakan tidak adil dan mendapatkan keuntungan ilegal atas kebijakan ini.

Sebelumnya Uni Eropa telah mengajukan permintaan konsultasi dan menghendaki Indonesia mematuhi  Pasal 1 dan 4 dari Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes (DSU), Article XXII:1 of the General Agreement on Tariffs and Trade 1994 (GATT 1994), and Article 4.1 of the Agreement on Subsidies and Countervailing Measures (ASCM). 

Belum lagi usai penyelesaian sengketa atas gugatan dari Uni Eropa, kebijakan pelarangan ekspor nikel olahan 30%-40% juga memiliki potensi pragmatis yang sama. Pemerintah harus mencermati setiap kebijakan dan implikasi yang didapatkan dalam menerapkan kebijakan.

DAS

Dipromosikan