Simpang Siur Kelanjutan Moratorium Kelapa Sawit

Simpang Siur Kelanjutan Moratorium Kelapa Sawit

Simpang Siur Kelanjutan Moratorium Kelapa Sawit

Berakhir 19 September lalu, pemerintah belum juga mengumumkan kepastian dilanjutkan atau tidaknya moratorium kelapa sawit. 

Moratorium perizinan perkebunan kelapa sawit atau moratorium sawit resmi berakhir 19 September lalu, selepas tiga tahun berlaku. Moratorium yang berlaku sejak 19 September 2018 ini memiliki dasar hukum, yakni Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit (Inpres Moratorium Sawit).

Kementerian Pertanian (Kementan) mengaku belum ada keputusan resmi mengenai dilanjutkan atau tidaknya moratorium. Keputusan ini tidak menjadi wewenang Kementan sendiri, karena melibatkan kewenangan sejumlah kementerian dan lembaga lainnya. 

Oleh karena itu, keputusan perlu dihasilkan melalui rapat koordinasi terbatas terlebih dahulu di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian).

“Kelanjutan dari Inpres 8 Tahun 2018 bukan menjadi kewenangan Kementan, sebab bersifat lintas kementerian dan lembaga di pusat serta daerah,” papar Heru Tri Widarto, Direktur Tanaman Tahunan dan Penyegar, Direktorat Jenderal Perkebunan Kementan, Senin (20/09) lalu kepada wartawan.

Kementan kini masih dalam proses mengevaluasi perizinan dan meningkatkan produktivitas kelapa sawit. Kementan juga telah memiliki data valid terkait tutupan luas perkebunan sawit nasional, yakni mencapai 16,381 juta hektar. Lahan ini tersebar di 26 provinsi di Indonesia.

Heru berpendapat, bahwa salah satu dampak nyata dari moratorium sawit ini, adalah dapat terdeteksinya perusahaan-perusahaan sawit yang tidak memenuhi regulasi. 

“Kami mendapat tembusan dari beberapa provinsi dan kabupaten tentang perusahaan-perusahaan sawit yang dicabut izin usahanya, karena tidak mematuhi ketentuan yang diatur dalam Permentan (Peraturan Menteri Pertanian) Nomor 98 Tahun 2013 tentang Izin Usaha Perkebunan,” jelas Heru.

Sebelumnya, Heru menyatakan bahwa Kementan mendukung moratorium sawit untuk dilanjutkan. Diharapkan moratorium ini bisa semakin meningkatkan produktivitas sawit Indonesia. “Dari Kementan, melalui pernyataan Pak Sekjen (Sekretaris Jenderal Kementan, Kasdi Subagyono), Kementan mendukung dilanjutkannya moratorium tersebut,” tutur Heru, Rabu (29/09).

Pada kesempatan yang sama, Heru juga memaparkan bahwa Kemenko Perekonomian masih dalam proses mengevaluasi pelaksanaan Inpres Moratorium Sawit.

Sebagaimana diketahui, Inpres Moratorium Sawit memberikan perintah kepada sejumlah kementerian dan lembaga. Diantaranya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, untuk menunda pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit.

Penundaan tersebut diperuntukan bagi permohonan baru; permohonan yang telah diajukan namun belum memenuhi persyaratan atau telah memenuhi persyaratan namun berlokasi di kawasan hutan produktif; dan permohonan yang telah mendapat persetujuan prinsip, namun belum ditata batas dan berlokasi di kawasan hutan produktif.

Inpres itu juga menginstruksikan kepada Menteri Pertanian untuk menyusun dan memverifikasi data dan peta Izin Usaha Perkebunan Kelapa Sawit dan pendaftaran Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan Kelapa Sawit secara nasional.

Kemenko Perekonomian Gunakan UU Ciptaker

Berbeda dengan pandangan Kementan, Musdhalifah Machmud, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian, mengatakan bahwa selanjutnya akan digunakan aturan yang sudah ada, yakni Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

“Biarkan saja sesuai aturan yang ada,” ujar Musdhalifah pada sebuah konferensi virtual, Rabu (22/09). Ia juga mengatakan, bahwa pihak berwenang sudah mengidentifikasi masalah-masalah yang muncul selama moratorium.

Diantaranya, bahwa beberapa perkebunan yang sudah ada, bahkan sebelum moratorium, tetap beroperasi tanpa izin sebab berada di dalam kawasan hutan yang telah ditentukan.

“Semua kondisi ini belum bisa kita atasi, mari kita usulkan lagi regulasi apa yang mungkin bisa mengatasi permasalahan lebih lanjut,” tuturnya.

Adapun, UU Cipta Kerja tidak memuat ketentuan mengenai penghentian penerbitan izin perkebunan sawit yang baru, juga mengenai batas jumlah perkebunan baru yang diizinkan per tahun. Terkait sawit, UU Cipta Kerja diantaranya mengatur mengenai pembayaran denda administratif pada usaha perkebunan sawit yang berada di dalam kawasan hutan.

Aturan turunan UU Cipta Kerja terkait sawit, diantaranya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan dan PP Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.

Kedua PP tersebut sama-sama tidak menyinggung adanya moratorium sawit. Contohnya, Pasal 60 ayat (1) PP Nomor 23 Tahun 2021, hanya mengatur bahwa Persetujuan Pelepasan Kawasan Hutan untuk kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun dan memiliki Perizinan Berusaha di dalam Kawasan Hutan, sebelum berlakunya UU Cipta Kerja, diterbitkan pada Kawasan Hutan Produksi, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

AAB

Dipromosikan