Menyoal Hak Kekayaan Intelektual dalam Hubungan Kerja

Menyoal Hak Kekayaan Intelektual dalam Hubungan Kerja

Menyoal Hak Kekayaan Intelektual dalam Hubungan Kerja

Pengaturan dan penjaminan hak kekayaan intelektual dalam hubungan kerja pada dasarnya merupakan upaya untuk mencegah terjadinya sengketa antara pekerja dan pemberi kerja.

Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) merupakan salah satu unsur penting dalam suatu pengembangan dan pengoperasaian bisnis.

Pada praktiknya, kerap terjadi sengketa antara para pihak dalam suatu hubungan kerja terkait kepemilikan hak dari suatu kekayaan intelektual.

Secara garis besar, kekayaan intelektual dapat dibedakan menjadi dua, yaitu Hak Milik Industri dan Hak cipta dan hak terkait. 

Hak milik industri diantaranya meliputi pula hak merek, hak paten, hak desain industri, rahasia dagang, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu (DTLST), dan Perlindungan Varietas Tanaman (PVT).

Sedangkan hak cipta dan hak terkait umumnya digunakan untuk kekayaan intelektual dalam ranah seni, sastra, ilmu pengetahuan, hak pelaku, hak produser rekaman, dan hak lembaga penyiaran.

Partner BP Lawyers, Asharyanto, dalam webinar Friday I’m In Law yang membahas Sengketa HAKI antara perusahaan dan karyawan, menjelaskan bagaimana kepemilikan atas HAKI diperoleh atas hubungan kerja.

Pengaturan Dalam Hubungan Kerja

Dalam bisnis pada umumnya akan memiliki kekayaan intelektual dalam empat bentuk yaitu merek, desain industri, hak cipta, dan paten. 

“Kekayaan intelektual yang dimiliki suatu bisnis akan bergantung pada jenis bisnis yang dijalankan. Suatu bisnis dapat memiliki hanya salah satu dari empat jenis tersebut, namun dapat pula memiliki kekayaan intelektual atas keempatnya,” jelas Asharyanto.

Mengacu ketentuan perundang-undangan mengenai hak merek, terdapat keharusan untuk mendaftarkan merek sesuai dengan itikad baik.  Asharyanto juga menjelaskan contoh sengketa yang kerap terjadi mengenai hak merek.

“Ada beberapa sengketa pelanggaran itikad baik dimana karyawan mengetahui perusahaan belum mendaftarkan mereknya dan justru mendaftarkannya atas nama dan untuk kepentingan pribadi”.

Maka dari itu, terhadap hak merek dalam bisnis, pada dasarnya perusahaan hanya perlu melakukan pendaftaran merek sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Sedangkan dalam Desain Industri, kepemilikan atas hak desain industri apabila mengacu pada Pasal 7 ayat (2) UU No. 31 Tahun 2000, pemegang hak desain industri adalah pihak yang memesan desain industri berdasarkan hubungan dinas kecuali diperjanjikan lain antara para pihak.

Ketentuan tersebut memiliki pengecualian sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 ayat (3) yang menyebutkan bahwa jika suatu desain industri dibuat dalam hubungan kerja atau berdasarkan pesanan, orang yang membuat desain itu dianggap sebagai pemegang hak desain industri, kecuali jika diperjanjikan lain oleh para pihak.

Pada intinya, perbedaanya terletak pada frasa “hubungan dinas” dan “hubungan kerja”. Frasa hubungan kerja umumnya mengacu pada hubungan kerja di internal lingkungan swasta, hubungan akibat pemesanan desain industri oleh lembaga swasta, atau hubungan individu dengan pendesain.

Sedangkan menurut penjelasan Asharyanto, hubungan dinas dapat diartikan sebagai hubungan antara pemerintah dan ASN ataupun pemerintah dengan pihak ketiga.

Kepemilikan hak kekayaan intelektual dalam bentuk hak cipta dan hak paten juga akan dimiliki oleh pemerintah selama masih dalam ranah hubungan dinas.

Selanjutnya, mengenai hak cipta. Pengaturan mengenai kepemilikan hak cipta yang timbul atas hubungan kerja secara umum diatur melalui UU No. 28 Tahun 2014. Dalam UU tersebut, diatur tiga jenis kepemilikan hak cipta.

Pertama, berdasarkan Pasal 34 diatur bahwa orang yang merancang ciptaan (perancang) dianggap sebagai pencipta walaupun ciptaan dikerjakan dan diwujudkan oleh orang lain dibawah pimpinan dan pengawasan perancang.

Kedua, Pasal 36 mengatur pencipta dan pemegang hak cipta atas ciptaan yang dibuat atas hubungan kerja atau pesanan adalah pihak yang membuat pesanan kecuali diperjanjikan lain.

Ketiga, dalam Pasal 37 diatur bahwa badan hukum dianggap sebagai pencipta jika melakukan pengumuman, pendistribusian, atau komunikasi atas ciptaan yang berasal dari badan hukum tersebut tanpa menyebut seseorang sebagai pencipta kecuali jika terbukti sebaliknya.

Kemudian mengenai paten, dalam Pasal 12 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten (UU No. 13/2016) telah dengan tegas disebutkan bahwa pemegang paten atas invensi yang dihasilkan oleh inventor dalam hubungan kerja adalah pihak yang memberikan pekerjaan, kecuali diperjanjikan lain.

Akan tetapi dalam Pasal 12 ayat (3) UU No. 13/2016, diatur bahwa inventor berhak mendapatkan imbalan berdasarkan perjanjian yang dibuat dengan memperhatikan manfaat ekonomi yang diperoleh dari investasi tersebut. 

Dalam Pasal 12 ayat (3) UU No. 13/2016 kemudian dijelaskan bahwa imbalan dapat dibayarkan berdasarkan jumlah tertentu dan sekaligus, persentase, gabungan antara jumlah tertentu dan sekaligus dengan hadiah atau bonus, dan bentuk lainnya yang disepakati inventor dan pihak pemberi kerja

Adapun dalam hal hak kekayaan intelektual, baik dalam bentuk apapun, apabila kepemilikan hak dianggap menjadi milik karyawan dan kemudian terjadi sengketa dengan pihak ketiga, maka perusahaan tetap akan turut bertanggung jawab atas penyelesaian sengketa.

 

PNW

Dipromosikan