Praktisi Hukum Menilai Musica Studios Salah Memahami UU Hak Cipta

Praktisi Hukum Menilai Musica Studios Salah Memahami UU Hak Cipta

Praktisi Hukum Menilai Musica Studios Salah Memahami UU Hak Cipta

“Tidak bisa seperti jual motor tinggal balik-nama. Lagu tidak bisa dibalik-nama karena melekat secara unik pada kreatornya,”

PT Musica Studios, perusahaan rekaman musik (Musica) menguji Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta) ke Mahkamah Konstitusi. Sidang perdana permohonan pengujian UU ini digelar MK pada Senin 13 Desember 2021 lalu. Musica melalui kuasa hukumnya Otto Hasibuan, mengajukan uji materiil terhadap Pasal 18, Pasal 30, Pasal 122, Pasal 63 ayat (1) huruf b UU Hak Cipta.

Musica selaku pemohon menilai hak cipta yang dimaksudkan dalam perkara ini adalah soal hak ekonomi. Pemohon pada intinya mendalilkan Pasal 18 UU Hak Cipta menghalangi hak milik pemohon atas suatu karya yang telah diperoleh dari perjanjian beli putus suatu karya cipta.

“Sebab pasal tersebut memberikan ketentuan batas waktu atas sebuah karya cipta, yang kemudian suatu karya tersebut harus dikembalikan pada pemilik cipta setelah 25 tahun,” urai kuasa hukum pemohon, Otto Hasibuan secara virtual pada sidang pemeriksaan pendahuluan di MK.

Kadri Muhammad, seorang praktisi hukum yang juga merupakan seorang musisi, merasa keberatan dengan argumentasi Musica yang disampaikan melalui kuasa hukumnya, Otto Hasibuan, yang memaparkan bahwa hak cipta itu adalah hak kebendaan. Menurut partner pada kantor hukum Guido Hidayanto & Partners ini, kali ini Musica luput memahami bahwa hak cipta tidak bisa dialihkan.

“Tidak bisa seperti jual motor tinggal balik-nama. Lagu tidak bisa dibalik-nama karena melekat secara unik pada kreatornya,” tegas Kadri.

Kadri pun kemudian menjelaskan, yang dialihkan adalah hak ekonominya saja dan dibatasi hingga 25 tahun. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam UU Hak Cipta sekarang yang mengadopsi konsep universal.

Menurut Kadri, hak cipta yang dimiliki komposer lebih utama dari hak terkait yang dimiliki produser atas master rekaman. Ia pun menegaskan, dalam konteks Undang-Undang Dasar 1945, hak cipta ini lebih fundamental. Peringkat lebih tinggi tentunya harus dilindungi dari perspektif hak asasinya.

Selain itu, Kadri juga menilai pemahaman Musica mengenai hak cipta yang berfokus pada kesepakatan dalam perjanjian adalah keliru. Pasalnya, Kadri menilai bahwa asas kebebasan berkontrak bukan berarti bahwa para pihak dapat membuat kontrak dengan sebebas-bebasnya. Kadri mengingatkan bahwa asas kebebasan berkontrak dibatasi juga dengan nilai kesetaraan dan itikad baik.

Menurutnya, sering kali terjadi dimana pencipta lagu hanya mendapatkan 2-5 juta, sedangkan produser mengeksploitasi karya tersebut sampai 25 tahun.

“UU Hak Cipta sudah membatasi sistem jual putus ini, kok malah sekarang mau dihapus. Kita akan kembali ke jaman sebelum ada UU Hak Cipta,” kata Kadri

Akhir kata, beliau mengemukakan bahwa seharusnya setelah 25 tahun produser telah mengeksploitasi lagu tersebut, maka produser harus mengurus izin edar dari artis yang bersangkutan dan memberikan royalti.

Merasa Dirugikan

Musica mengajukan 4 pasal terkait permohonan pengujian undang-undang kepada MK. Keempat pasal tersebut adalah Pasal 18, Pasal 30, Pasal 122, Pasal 63 ayat (1) huruf b UU Hak Cipta.

Dengan berlakunya 4 pasal tersebut, PT. Musica Studios merasa dirugikan karena Musica bertindak seolah sebagai penyewa, sehingga sewaktu-waktu harus mengembalikan hak tersebut pada pencipta karya tersebut. Akibatnya, dengan dikembalikannya hak cipta kepada pencipta, maka pemohon tidak dapat mengambil royalti atas eksploitasi yang dilakukan pihak lain atas atas fonogram dari sebuah karya tersebut.

Sebagaimana dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan di MK, Otto Hasibuan menyampaikan bahwa hak cipta merupakan hak kebendaan tidak berwujud.

“Perlakuannya semuanya sama dalam rangka transaksi atau peralihan daripada hak itu karena dia adalah hak kebendaan, tapi tidak berwujud. Maka dia tetap dapat dialihkan kepemilikannya, baik hak ekonominya.” kata Otto

Kemudian, Otto berpendapat bahwa setiap jual-beli atau peralihan hak tentu berlaku ketentuan yang ada di pasal 1338 KUH Perdata yang mengatur tentang kebebasan berkontrak. Semua jual-beli atau perjanjian yang dibuat di antara para pihak berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak. “Jadi, kalau sudah ada peralihan seperti ini, maka seorang yang menerima pengalihan hak atau pembeli, maka dia menjadi pemilik daripada hak tersebut untuk selama-lamanya,” kata Otto.

Dalam sidang itu, Otto menegaskan, pasal 18 UU Hak Cipta bertentangan dengan hak konstitusional Musica. Hal ini mengingat Musica sebagai produser telah membeli karya cipta.

Dalam petitumnya, Musica meminta kepada Majelis Hakim menyatakan Pasal 18, 30, 122 UU Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Di sisi lain, Musica Studios juga meminta majelis hakim untuk menyatakan Pasal 63 ayat 1 huruf b UU Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, selama 70 tahun.

 

AN

Dipromosikan