Alasan Pembatalan Putusan Arbitrase Terbatas, UU Arbitrase Perlu Diamandemen?

Bedanya‌ ‌Pembatalan‌ ‌Kasus‌ ‌Arbitrase‌ ‌dalam‌ ‌BANI‌ ‌dan‌ ‌SIAC‌

Alasan Pembatalan Putusan Arbitrase Terbatas, UU Arbitrase Perlu Diamandemen?

Indonesia dinilai perlu melakukan amandemen UU Arbitrase, terutama untuk syarat pembatalan putusan arbitrase.

Arbitrase menjadi salah satu alternatif penyelesaian sengketa perdata di luar peradilan umum. Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat sehingga tidak dapat diajukan banding. Hal itu berbeda dengan putusan di peradilan umum yang masih dapat diajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali. 

Meskipun bersifat final dan mengikat, putusan arbitrase masih dapat diajukan pembatalan putusan. Untuk dapat mengajukan pembatalan putusan arbitrase di Indonesia harus memenuhi syarat yang dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase), yaitu:

“Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

    1. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
    2. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau
    3. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.”

Sekretaris I BANI, Eko Dwi Prasetiyo, mengungkapkan bahwa pembatalan putusan arbitrase di Indonesia hanya limitatif atau terbatas dalam Pasal 70 UU Arbitrase saja, bahkan untuk permasalahan prosedural belum ada pengaturannya.

“Pada saat ini, secara normatif yang dapat dilakukan untuk membatalkan suatu putusan arbitrase hanya 3 sebagaimana diatur dalam Pasal 70 UU Arbitrase,” ujar Eko dalam webinar yang diselenggarakan Kliklegal beberapa waktu lalu.

Kemudian Eko mengatakan bahwa mengenai kesalahan prosedural yang dilakukan oleh arbiter terhadap putusan arbitrase melalui BANI pada saat ini belum bisa dilakukan koreksi. Karena sampai saat ini belum diatur dalam peraturan BANI.

Untuk meminimalisir arbiter salah menerapkan fakta, Eko menganjurkan kepada para pihak dengan itikad baik mengungkapkan seluruh bukti dan fakta sehingga majelis dapat melihat faktanya secara utuh karena Indonesia belum menerapkan discovery process.

Sejalan dengan permasalahan pembatalan putusan arbitrase, Member of SIAC Court of Arbitration, Eri Hertiawan, mengatakan bahwa penangan pembatalan putusan arbitrase di Singapura berbeda dengan di Indonesia dan lebih maju penanganannya.

Fortunately, mungkin saya melihatnya ada progress atau kemajuan yang lebih beberapa langkah,” Ujar Eri dalam webinar bertajuk “Efektifitas Penyelesaian Sengketa Melalui Lembaga Arbitrase Bagi Pelaku Usaha,” Pada Sabtu (19/6).

Di Singapura sendiri sudah menerapkan discovery process sehingga para pihak yang bersengketa tidak dapat menyembunyikan dokumen karena terdapat perintahnya. Hal ini dapat meminimalisir terjadinya pengajuan pembatalan putusan arbitrase karena tidak ada dokumen yang disembunyikan.

Pasal 70 Limitatif?

Terkait permasalahan pembatalan putusan arbitrase yang disebabkan oleh kelalaian arbiter, Eri memberi contoh apabila arbiter tertidur saat sedang menangani kasus, maka hal tersebut dapat diajukan sebagai alasan pembatalan putusan. Karena arbiter tersebut dianggap tidak memeriksa perkara secara seksama.

“Alasan tersebut dapat diterima pada saat itu dan konteks dari pembatalan tersebut dalam konteks luar negeri dimana negara para pihak yang bersengketa tunduk pada SIAC Rules, bukan dalam konteks Pasal 70 UU Arbitrase yang ada di Indonesia,” sambung Eri.

Kembali pada permasalahan yang ada di Indonesia, pada praktiknya mulai dari Pengadilan Negeri (PN) hingga Mahkamah Agung (MA) dapat dijumpai alasan pembatalan putusan arbitrase yang tidak hanya berdasar pada Pasal 70 UU Arbitrase.

Terdapat dua sisi dimana MA menegaskan jika syarat pembatalan hanya berdasarkan pada Pasal 70 UU Arbitrase, akan tetapi di sisi lain MA menyatakan jika mungkin untuk membatalkan putusan arbitrase di luar syarat dalam Pasal 70 UU Arbitrase.

Berdasarkan salah satu putusan MA, yaitu Putusan Mahkamah Agung RI. No. 03/Arb.Btl/2005 tanggal 17 Mei 2006, dapat disimpulkan bahwa MA sepakat dengan PN Jakarta Selatan yang membatalkan putusan arbitrase antara Yemen Airways dan PT Comarindo Express Tama Tour & Travel dengan alasan pembatalan di luar syarat Pasal 70 UU Arbitrase.

Penyelesaian sengketa tersebut dilakukan melalui BANI Perwakilan Surabaya. Akan tetapi, sebenarnya BANI tidak memiliki kewenangan, yurisdiksi, dan kompetensi untuk memeriksa serta memutus perkara sengketa yang terjadi karena tidak terdapat klausula arbitrase yang secara tegas memberikan kewenangan kepada BANI Surabaya untuk memeriksa dan memutus sengketa antara para pihak. 

Selain itu, dasar hukum MA membatalkan putusan arbitrase adalah perluasan dari Penjelasan Umum UU Arbitrase yang berkaitan dengan alasan-alasan pembatalan putusan arbitrase yang terdapat kata “antara lain” dimana kata tersebut disimpulkan oleh MA pada dasarnya UU Arbitrase memungkinkan dan memberikan kesempatan untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrase dengan alasan di luar Pasal 70.

Dengan demikian, dalam perkara ini MA memiliki pendapat jika alasan dalam pembatalan putusan arbitrase itu tidak bersifat limitatif sebagaimana diatur dalam Pasal 70. Walaupun terjadi pembatalan putusan arbitrase, bukan berarti putusan arbitrase tidak bersifat final and binding.

“Jika ada pembatalan suatu putusan arbitrase, bukan berarti putusan arbitrase tidak final karena pembatalan putusan itu berbeda dengan banding dimana pembatalan putusan diajukan bukan karena tidak setuju dengan keputusan hakim,” ujar Eko

Alasan Pembatalan

Terkait dengan alasan pembatalan putusan arbitrase, pada saat kemerdekaan Indonesia dan sebelum adanya UU Arbitrase, berlaku Rv (Reglement op de Recthvordering) yang dijadikan referensi untuk pembatalan putusan arbitrase.

Dalam Pasal 643 Rv diatur 10 alasan pembatalan, yaitu apabila:

  1. putusan melampaui batas-batas persetujuan;
  2. putusan berdasarkan pada persetujuan yang batal atau telah lewat waktunya;
  3. putusan telah diambil oleh anggota arbiter yang tidak berwenang atau anggota arbiter yang tidak dihadiri oleh anggota arbiter yang lain, seperti putusan diambil oleh arbiter minoritas;
  4. putusan telah mengabulkan atau memutus mengenai hal-hal yang tidak dituntut, atau telah mengabulkan lebih daripada apa yang dituntut atau “ultra petitum partium” atau “ultra virus”;
  5. putusan mengandung saling pertentangan antara pertimbangan yang satu dengan yang lain, atau  saling pertentangan antara pertimbangan dengan diktum putusan;
  6. mahkamah melalaikan untuk memutus tentang suatu atau beberapa bagian dari persetujuan, padahal itu telah diajukan untuk diputus;
  7. mahkamah melanggar tata cara beracara menurut hukum yang diancam dengan batalnya putusan. Pelanggaran demikian termasuk tata cara yang disepakati para pihak dalam persetujuan maupun tata cara yang diatur dalam hukum acara;
  8. putusan didasarkan atas surat-surat yang palsu dan kepalsuan itu diakui atau dinyatakan palsu sesudah putusan dijatuhkan;
  9. setelah putusan ditemukan surat-surat yang menentukan dan selama proses pemeriksaan disembunyikan para pihak;
  10. putusan didasarkan atas kekurangan, atau itikad buruk, dan  hal itu baru diketahui setelah putusan dijatuhkan.

Eri merekomendasikan agar sebaiknya di Indonesia melakukan judicial review dan mengadakan amandemen UU Arbitrase, terutama untuk syarat pembatalan putusan arbitrase.

“Ini dapat menjadi suatu bahan diskusi yang harus kita bahas secara mendalam, maksudnya bukan lagi kembali ke Rv, akan tetapi dalam judicial review tersebut mungkin saja tiga alasan dalam Pasal 70 itu diperluas lagi,” ujar Eri.

Syarat pembatalan yang ada dalam UU Arbitrase dapat diperluas lagi dengan memasukkan substansi yang perlu dimasukkan ke dalam amandemen pasal 70 UU Arbitrase.

Walaupun sempat terjadi judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK), Eri menyayangkan bahwa judicial review tersebut hanya dilakukan terhadap penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase dan syarat pada Pasal 70 UU Arbitrase hanya tetap tiga alasan saja. Diperlukan partisipasi dari seluruh pihak terkait mengenai judicial review ini.

“Sebagai lawyer dan para praktisi hukum kita harus pikirkan bersama, jangan sampai alasannya menjadi kebablasan dimana nantinya akan ada salah satu pihak yang mencoba melakukan pembatalan padahal sudah jelas mereka kalah,” ujar Eri.

Selain itu Eri juga mengatakan, “Jangan memasukkan alasan ketertiban umum ke dalam syarat pembatalan karena hal tersebut terlalu luas definisinya.”

Oleh sebab itu, syarat-syarat pembatalan putusan arbitrase harus dipikirkan secara mendalam dan harus definitif sehingga tidak bisa disalahgunakan oleh para pihak yang tidak bertanggung jawab untuk membatalkan putusan.

SS

Dipromosikan