Banyak Yang Belum Jelas, UU Arbitrase Dinilai Perlu Dilakukan Perubahan

Omnibus Law Cipta Kerja Cangkup 76 Undang Undang, Cek Aturan Terkait PPh Dividen

Banyak Yang Belum Jelas, UU Arbitrase Dinilai Perlu Dilakukan Perubahan

“UU Arbitrase dan APS ini tidak tepat secara materi muatan sebab mencampuradukkan antara arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.”

Berbagai catatan kritis diungkapkan oleh Prof Dr. Basuki Rekso Wibowo S.H.,M.S selaku salah satu panelis dalam webinar “Pentingnya Revisi UU Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa yang diselenggarakan pada 26 Agustus 2021.

Penjabaran oleh Prof. Basuki berawal dari permasalahan pembentukan undang-undang secara formil hingga aspek materi muatan (secara materil) dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase dan APS).

Beliau menilai bahwa, UU Arbitrase dan APS ini tidak tepat secara materi muatan sebab mencampuradukkan antara arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa. Selain itu pengaturan mengenai alternatif penyelesaian di luar arbitrase diatur limitatif.

Secara formil UU 30/1999 bermasalah dari proses pembentukan karena pada tahun ini merupakan masa transisi pasca runtuhnya orde baru. Hal ini pun berimplikasi terhadap penyusunan naskah akademik yang tidak komprehensif. Idealnya, dalam pembentukan peraturan perundang-undangan terutama undang-undang harus memiliki naskah akademik yang menjabarkan aspek filosofis, sosiologi dan yuridis.

“Saya menyarankan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia dan/atau Pemerintah Cq. Presiden untuk memasukan perubahan UU Arbitrase dan APS ini dalam Program Legislasi Nasional Prioritas”, ujarnya.

Tujuannya adalah agar pengaturan dalam UU Arbitrase dan APS mencerminkan secara konkret dinamisasi kehidupan dan paradigma hukum yang terjadi dengan mengundang hakim, pelaku usaha, advokat sebagai bahan pertimbangan.

Pelaksanaan Putusan arbitrase nasional dan internasional masih mengalami problematika sekarang ini. Pada ketentuan Pasal 59 sd Pasal 64. Pasal 61 mengatur bahwa “dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela, putusan dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa”. Penjelasan Pasal 61 menyebutkan “cukup jelas”. Rumusan ketentuan tersebut tidak membedakan apakah putusan arbitrase yang dimaksud adalah putusan arbitrase non syariah ataukah putusan arbitrase syariah.

Prof Basuki merekomendasikan agar adanya pengaturan kewenangan pelaksanaan putusan arbitrase melalui Pengadilan Negeri, sedangkan pelaksanaan putusan arbitrase syariah melalui Pengadilan Agama. Secara paralel perlu dilakukan perubahan terhadap rumusan penjelasan Pasal 59 ayat (1) dan ayat (3) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Soal Ketertiban Umum

Pada pelaksanaan putusan arbitrase internasional merujuk pada ketentuan Pasal 65 sd Pasal 69 UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa jo Konvensi New York 1958 (Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award) yang telah diratifikasi berdasarkan Keppres No.4 Tahun 1981 jo. PERMA No.1 Tahun 1990.

Permasalahan nya adalah mengenai Pasal 66 huruf c yang mengatur Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf “a” hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum”. Penjelasan Pasal 66 huruf “c” cukup jelas. Padahal apa yang dimaksud dengan “ketertiban umum” masih belum mendapatkan kejelasan makna dan batas batasnya. Persoalan tersebut merupakan isu sensitif bagi pemohon eksekusi putusan arbitrase internasional di wilayah hukum Republik Indonesia.

Prof Basuki merekomendasikan agar UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa secara spesifik memberikan parameter yang jelas mengenai ketertiban hukum dalam hubungannya dengan adanya permohonan pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di wilayah hukum negara Republik Indonesia.

Pembatalan Putusan Arbitrase

Salah satu yang dicermati secara mendalam oleh Prof Basuki ini adalah mengenai Pasal 70 Arbitrase dan APS yang mengatur mengenai alasan-alasan pembatalan putusan arbitrase.

Pasal 70 UU Arbitrase dan APS

Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

  1. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu;
  2. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan ; atau
  3. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

Berdasarkan hal di atas maka untuk mengajukan suatu permohonan pembatalan putusan arbitrase harus didasarkan pada alasan-alasan yang tercantum dalam pasal 70 UU Arbitrase dan APS.

Beliau-pun mengajukan beberapa rekomendasi terkait dengan Pasal 70 di atas antara lain:

UU Arbitrase dan APS perlu memperluas alasan pembatalan putusan arbitrase meliputi:

  1. Apabila surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan palsu;
  2. Apabila setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan atau
  3. Apabila putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa;
  4. Apabila setelah putusan arbitrase dijatuhkan, perjanjian arbitrase yang menjadi dasar kewenangan arbitrase dibatalkan pengadilan berdasarkan putusan berkekuatan tetap
  5. Apabila arbiter memutus sengketa di luar kewenangan absolutnya yang hal itu diketahui setelah dijauhkan putusan arbitrase
  6. Apabila arbiter memiliki konflik kepentingan dengan pihak berperkara yang hal itu diketahui setelah dijatuhkan putusan arbitrase;
  7. Apabila terbukti arbiter memiliki itikad tidak dalam menjalankan fungsinya sebagai arbiter atau majelis arbitrase.

Selain beberapa ketentuan diatas, Prof Basuki juga menyoroti beberapa persoalan seperti pengaturan relasi antara arbitrase dengan peradilan umum sebagaimana terdapat pada banyak pasal dalam UU Arbitrase dan APS.

Pengaturan tersebut dapat dipahami mengingat pada saat itu (1999), pengadilan yang berwenang menyelesaikan “sengketa perdagangan” adalah pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Namun dalam perkembangan selanjutnya, berdasarkan Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, diatur bahwa Pengadilan Agama berwenang mengadili sengketa ekonomi syariah. Kewenangan mana dipertahankan berdasarkan UU N0. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Beliau-pun merekomendasikan agar pengertian “Pengadilan” harus menyesuaikan dengan perkembangan peraturan perundang-undangan. Arbitrase pada umumnya memiliki relasi dengan Pengadilan negeri, sedangkan arbitrase syariah memiliki relasi dengan Pengadilan Agama.

Sedangkan Dr. Yanto S.H.,M.H selaku Hakim Pengadilan Tinggi Denpasar menilai alasan-alasan yang digunakan sebagai dasar pembatalan putusan arbitrase hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan dan harus terlebih dahulu dinyatakan dengan putusan pengadilan.

DAS

 

Dipromosikan