Begini Hukum Syariah Mengatur Patungan Usaha

Ada tiga syarat ketika akan bersyarikah.

Prof Huzaemah T Yango. Sumber Foto: http://iiq.ac.id/

Patungan Usaha merupakan bisnis usaha yang dilakukan dengan cara menghimpun dana masyarakat dan hasil dari dana yang terkumpul diinvestasikan di satu atau beberapa tempat supaya menghasilkan keuntungan. Konsep ini populer setelah digalakan oleh Ustadz Yusuf Mansur beberapa waktu lalu. Lalu bagaimana pandangan hukum syariah yang mengatur mengenai patungan usaha ini?

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa, Prof DR Hj Khuzaemah Tahido Yanggo menjelaskan bahwa patungan usaha berdasarkan hukum syariah menggunakan sistem musyarakah atau syirkah. Ia menuturkan musyarakah itu akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

“Nanti kan modalnya kalau misalnya masing-masing punya saham ya, nanti keuntungannya dibagi sesuai saham masing-masing. Pengelolaannya kan tergantung dari mereka kan tergantung siapa yang mengerjakan atau ada orang yang disuruh mengerjakan diupah untuk itu, kalau orang lain yang mengerjakan kan mereka itu yang akan diupah,” kata Khuzemah kepada Klik Legal melalui sambungan telepon, pada Selasa (16/9), di Jakarta.

“Dan semuanya bertanggung jawab bersama. Jadi ini yang punya saham masing-masing dibagi sesuai dengan keuntungan tergantung akadnya dari awal. Berapa dan kapan pembagiannya begitu. Masing-masing juga menanggung kerugian sesuai sahamnya. Patungan usaha itu dilakukan oleh dua orang atau lebih, seperti koperasi itu lebih dari dua orang. Jadi akadnya sama-sama punya saham. Jadi yang disebut musyarakah atau syirkah itu minimal dua dan beberapa orang banyak,” lanjutnya.

Khuzemah menuturkan karakteristik hubungan hukum dalam perjanjian patungan usaha itu tergantung pada akadnya yang disepakati oleh para pihak. “Iya semuanya itu tergantung berdasarkan akadnya. Kesepakatan-kesepakatan seperti apa yang dibuat, apakah misalnya antara dua orang atau lebih itu ada yang mengelola. Nah itu kan lain lagi pembicaraan tergantung operasionalnya. Kalau mereka tidak mau melaksanakan itu tapi gaji orang lain, maka mereka itu yang bertanggungjawab. Nah nanti tergantung kesepakatan mereka yang mau menggaji itu. Pokoknya harus sudah jelas semua kalau syariah,” ujarnya.

Lebih lanjut, Khuzaemah pun menyebutkan di berbagai negara termasuk timur tengah juga sudah mengatur mengenai patungan usaha ini yang dikenal istilah musyarakah, namun yang berbeda hanya perihal yang diatur sesuai kesepakatan masing-masing pihak.

“Semua ada, dimana-mana ada, untuk hukum Islam sama seluruh dunia tidak beda. Hanya teknisnya itu masing-masing dijalankan sesuai kesepakatan. Syariah kan berlaku untuk seluruh dunia dimana saja,” kata Dosen Fiqih Muqaran di Fakultas Dirasat Islamiyah, UIN Jakarta.

Menurut Khuzemah dalam bersyarikah juga perlu memenuhi beberapa syarat terlebih dahulu. Pertama, syarat akad berupa shigat yang terdiri dari ijab dan qabul. “Iya, ada ijab kabulnya, tidak hanya diucapkan tetapi harus tertulis juga. Sesuai akad masing-masing dan sesuai persetujuan masing-masing. Itu yang wajib kan. Ada perjanjian masing-masing yang dituangkan dalam akadnya,”ujarnya.

Kedua, dua pihak yang berakad (aqidani) syaratnya harus memiliki kecakapan (ahliyah) melakukan tasharruf (pengelolaan harta). Ketiga, obyek akad (mahal), disebut juga ma’qud alaihi, yang mencakup pekerjaan (amal) dan/atau modal (mal). “Syaratnya juga barangnya apa, seperti apa, tentu dalam usaha kerja sama itu harus halal kalau berdasarkan konsep syariahnya kan begitu. Jangan nanti tidak ada, maka itu harus dicantumkan ketentuannya,” kata Khuzaemah.

“Terus harus pada yang  halal, jangan misalnya untuk minuman keras, atau buat sewa rumah untuk bilyard, atau lainnya yang tidak halal. Jadi harus yang halal semua,” pungkasnya.

(PHB)

Dipromosikan