Belajar dari Gugatan Praperadilan Jackson Tandiono, Pahami Tata Cara Penetapan Tersangka yang Sah

Belajar dari Gugatan Praperadilan Jackson Tandiono, Pahami Tata Cara Penetapan Tersangka yang Sah
Image Source by aktual.com

Belajar dari Gugatan Praperadilan Jackson Tandiono, Pahami Tata Cara Penetapan Tersangka yang Sah

“Jika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, sementara syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, maka tersangka dapat mengajukan gugatan praperadilan kepada pengadilan.”

Baru-baru ini, Jackson Tandiono ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian. Belum diketahui hingga saat ini penyebab utama dari ditetapkannya Presiden Direktur PT Nipress Tbk tersebut sebagai tersangka. Akan tetapi, terhadap penetapan dirinya sebagai tersangka tersebut, Jackson nyatanya diketahui melakukan gugatan praperadilan terhadap Kepolisian, atau secara khusus Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri, ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan dalil bahwa penetapan tersangka dirinya adalah tidak sah.

Sebagaimana diketahui, dikutip dari situs Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), tujuan dari pelaksanaan praperadilan adalah melindungi hak asasi manusia dari tersangka dan terdakwa. Tahapan ini juga dilaksanakan sebagai bentuk mekanisme kontrol terhadap penggunaan wewenang dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, supaya penggunaan wewenang tersebut tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku dan tidak dilakukan secara sewenang-wenang.

Demikian hal ini kemudian menjadi pelajaran bagi setiap orang bahwa dalam konteks ini penting untuk memahami bagaimana tata cara penetapan tersangka yang sah itu dilakukan untuk melindungi dari tercederainya hak asasi manusia dari seorang tersangka. Lantas, tahukah Anda bagaimana hukum Indonesia mengatur tata cara penetapan tersangka yang sah?

Berdasarkan Pasal 1 angka 14 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), tersangka sejatinya adalah salah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, dijelaskan bahwa “bukti permulaan” untuk penetapan tersangka harus berdasarkan minimal 2 (dua) alat bukti dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya.

Adapun berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat bukti yang sah dijelaskan dalam pasal tersebut terdiri dari:

  1. Keterangan saksi
  2. Keterangan ahli
  3. Surat
  4. Petunjuk
  5. Keterangan terdakwa

Hal ini kemudian juga ditegaskan dalam Pasal 66 ayat (1) dan (2) Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menjelaskan bahwa status sebagai tersangka hanya dapat ditetapkan oleh penyidik kepada seseorang setelah hasil penyidikan yang dilaksanakan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti. Kemudian, untuk menentukan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti ditentukan melalui gelar perkara.

Dilansir dari situs DNT Lawyers, jika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, sementara syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, maka tersangka dapat mengajukan gugatan praperadilan kepada pengadilan. Hal ini didasari sebagaimana Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, Mahkamah menambah bahwa penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan termasuk sebagai objek praperadilan yang sebagaimana termaktub pada Pasal 77 KUHAP.

“Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan,” bunyi Pasal 77 KUHAP.

 

AA

Dipromosikan