Blue Carbon: Potensi Perdagangan Karbon Indonesia

Blue Carbon: Potensi Perdagangan Karbon Indonesia
Image source: NDC Partnership

Blue Carbon: Potensi Besar Perdagangan Karbon Indonesia

Sebagai negara maritim yang mempunyai 17.000 pulau, Indonesia memiliki potensi dalam pelaksanaan perdagangan karbon di sektor pesisir.”

Praktik pelaksanaan perdagangan karbon di Indonesia secara khusus memiliki misi utama guna merealisasikan target pemenuhan Nationally Determined Contribution (NDC) sebesar 29% dengan usaha sendiri serta 41% dengan bantuan pihak internasional. NDC sendiri merupakan target penurunan nilai emisi pada suatu negara yang diproyeksikan akan terpenuhi sebelum tahun 2030.

Secara konkrit, penurunan nilai emisi berdasarkan NDC akan berdampak pada terjaganya ambang batas suhu bumi sampai dengan 1,5 derajat Celcius. Pemenuhan NDC di Indonesia merupakan mandat dari Paris Agreement yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang No. 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change.

Selain guna memenuhi target NDC negara, perdagangan karbon di Indonesia juga memiliki peran dalam pertumbuhan ekonomi dan investasi Indonesia. Hal demikian karena dalam perdagangan karbon terdapat hubungan bisnis dari investor seraya dengan pelaksanaan pembangunan infrastruktur dalam negeri.

Saat ini, setidaknya ada 3 (tiga) jenis perdagangan karbon yang dikenal di Indonesia. Dilansir goodnewsfromindonesia.id (23/06/2022), diantaranya:

  1. Cap and Trade dan Cap and Tax

Dalam mekanisme cap and trade dan cap and tax diberlakukan adanya skema jual beli sertifikat karbon. Sertifikat karbon merupakan izin emisi yang diberikan kepada pelaku industri secara merata. Dalam hal ini, pelaku industri hanya dapat melakukan kegiatan industrinya (umumnya mencemari lingkungan) berdasarkan jatah sertifikat yang diberikan. 

Apabila ditemukan adanya situasi terpenuhinya seluruh jatah izin emisi (terpakainya seluruh sertifikat karbon) pada suatu industri (offset). Maka, kebijakan cap and trade dapat dilakukan dengan pembelian sertifikat karbon kepada pelaku industri yang masih memiliki jatah sertifikat karbon. Sedikit berbeda dengan cap and trade, mekanisme cap and tax menggunakan sistem pajak dalam terjadinya offset pada suatu industri;

  1. Clean Development Mechanism (CDM)

Pada mekanisme CDM, pelaku industri yang mengalami offset melakukan investasi (umumnya) kepada negara berkembang guna membangun infrastruktur Energi Baru Terbarukan (EBT), seperti PLTS, PLTU, maupun PLTA di negara yang memiliki sumber daya yang mendukung. 

Nantinya, hasil dari pembangunan tersebut akan ditukar dengan sertifikat karbon guna memenuhi jatah sertifikat yang sebelumnya telah offset.

  1. Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+)

Pada Mekanisme REDD+ ini, pelaku industri yang mengalami offset melakukan investasi kepada negara-negara yang memiliki kawasan hutan karbon. Melalui investasi tersebut, hutan karbon akan dipelihara guna memaksimalkan penyerapan karbon dunia. Setelahnya, apabila pemeliharaan berdasarkan pendanaan investasi tersebut telah berhasil, pelaku industri akan mendapatkan sertifikat karbon.

Dalam pelaksanaannya, ketiga jenis perdagangan karbon yang dilaksanakan di Indonesia tersebut, selain didorong oleh diratifikasinya Paris Agreement dalam Undang-Undang No. 16 Tahun 2016 sebagai komitmen Indonesia dalam memenuhi NDC. 

Juga karena diterbitkannya Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon. Pada peraturan tersebut dalam Pasal 1 termaktub beberapa poin tambahan guna mendukung aspek bisnis perdagangan karbon, antara lain: (a) Penentu harga satuan sertifikat karbon; (b) Baseline Business as Usual Emisi GRK; dan (c) Konsep perdagangan emisi yang lebih jelas.

Baca Juga: Memahami Mekanisme Perdagangan Karbon PLTU dalam Permen ESDM No. 16/2022

Di tengah beragamnya mekanisme perdagangan karbon serta proporsionalnya regulasi pelaksanaanya di Indonesia. Dalam perkembangannya, terdapat mekanisme perdagangan karbon lainnya yang dinilai memiliki sentimen positif apabila dilakukan di Indonesia, yakni Blue Carbon. Lantas apa itu blue carbon?

Potensi Blue Carbon dalam Perdagangan Karbon

Dilansir dari lindungihutan.com (18/03/2022), Blue Carbon (karbon biru) merupakan suatu istilah yang digunakan untuk cadangan emisi karbon yang diserap, disimpan, serta dilepaskan oleh ekosistem pesisir dan laut. 

Dalam praktiknya, blue carbon memanfaatkan ekosistem pesisir yang diantaranya hutan mangrove, hutan bakau, padang lamun dan lahan gambut guna melakukan aktivitas penyerapan karbon.

Indonesia sebagai salah satu negara pesisir di dunia, diproyeksikan dapat menyelenggarakan perdagangan karbon berbasis blue carbon dengan baik. 

Dilansir kkp.go.id (30/08/2022), potensi pelaksanaan perdagangan karbon dengan memanfaatkan blue carbon sangat besar, yakni 3.4 Giga Ton atau setara dengan 17% dari cadangan blue carbon seluruh dunia.

Di samping manfaat terhadap lingkungan yang dihadirkan perdagangan karbon berbasis blue carbon. Terdapat manfaat lainnya, khususnya dalam konteks bisnis yang dapat dimanfaatkan Pemerintah Indonesia.

Selain itu, Dilansir ppid.menlhk.go.id (05/05/2021), berdasarkan melimpahnya cadangan blue carbon di Indonesia, Prof. Daniel Murdiyarso menjelaskan bahwa terdapat nilai ekonomi yang tinggi dari ekosistem blue carbon di Indonesia. 

Ia menganalogikan salah satu ekosistem dalam blue carbon, yakni pada tanaman mangrove yang memiliki potensi nilai ekonomi mencapai lebih dari US$90.000 per-hektare. Nilai ini bukan hanya dari kemampuan tanaman mangrove dalam menyerap serta menyimpan karbon, tetapi juga jasa lingkungan yang dapat diciptakan. Misalnya, sebagai upaya pencegahan abrasi, peningkatan industri perikanan, dan ekowisata.

MIW

Dipromosikan