Wakil Ketua Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Azam Azman Natawijana mengatakan dengan tegas bahwa aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) atau Local Content Requirement dapat mengesampingkan aturan Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO) sepanjang demi kepentingan nasional.
“Enggak ada (pelanggaran,-red), dan untuk kepentingan nasional, dan aturan-aturan lain bisa dikesampingkan. Seperti India untuk kepentingan nasionalnya dia bisa ngelawan untuk itu soal makanan. Dilawan waktu di Bali itu. Seandainya bertentangan pun bisa diabaikan sejauh untuk kepentingan nasional dan perlu dibicarakan,” terang politisi Partai Demokrat ini kepada Klik Legal, Selasa. (30/5)
Sebagai informasi yang dikutip dari laman BBC.com, Menteri Perdagangan India, Anand Sharma menyatakan tidak setuju terhadap aturan mengenai subsidi makanan yang diajukan oleh WTO ke-9 di Bali. Menurutnya, proposal tesebut tidak memberikan banyak peluang untuk terobosan. Melainkan bisa membahayakan subsidi biji-bijian domestik untuk memberi makan kaum miskin di India.
Azam pun menyarankan supaya pemerintah berani menegaskan aturan TKDN. “Harus diterapkan, cuma saja kementerian lembaga, badan usaha milik negara, kepala-kepala proyek tidak mensyaratkan itu. Jadi pemerintah harus tegas,” tegasnya. (Baca Juga: DPR Meminta Pemerintah Harus Tegaskan Aturan TKDN).
Dihubungi terpisah, Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Golkar Gde Sumarjaya Linggih senada dengan Azam. Gde menilai bahwa aturan TKDN ini tidak tidak bertentangan dengan aturan internasional seperti WTO.
“Nggak, karena state interest kan harus diutamakan, kepentingan negara. Sampai sekarang kan Amerika begitu cara melakukannya. Hampir semua negara sekarang,” katanya.
Gde mencontohkan sejumlah negara yang menjunjung tinggi kepentingan negaranya dengan mengesampingkan aturan internasional sebagai bentuk perlindungan terhadap perekonomian nasionalnya.
“Britain Exit yang disebut Brexit itu, Inggris keluar dari Eropa, terus sekarang Amerika melakukan ekonomi inklusif namanya, yang lebih banyak ke dalam. Bahkan itu yang tadinya fiskal dan tax itu kan dilarang dalam era globalisasi, diberlakukan sekarang. Ya lebih baik sekarang ke deal bilateral namanya, bukan multilateral yang seperti globalisasi gitu. Banyak yang dibuat oleh dia, NAFTA kan dia buat sendiri, TPP dia buat sendiri tapi dia batalin semua,” ujarnya.
Sebagai informasi, pada Sidang Reguler Komite TRIMs (Trade Related Investment Measures) pada pertengahan tahun lalu, isu TKDN di Indonesia sempat disinggung oleh sejumlah anggota WTO, seperti Kanada, Taiwan, Uni Eropa, dan Amerika Serikat. Pada sidang itu, sejumlah negara mengkritik kebijakan Indonesia terkait 4G/LTE sebagai kebijakan yang diskriminasi dan berpotensi melanggar ketentuan WTO.
Ketentuan WTO yang dinilai telah dilanggar adalah artikel III.4 of GATT dan artikel 2.1 and 2.2 of TRIMs Agreement terkait local content requirements karena ketentuan ini merupakan “an investment measure related to trade in goods”.
“Dengan adanya ketentuan kewajiban penerapan TKDN pelaku usaha diwajibkan untuk berinvestasi di bidang industri yang terkait produk-produk tersebut terlebih dahulu sebelum dapat mendistribusikan produknya di Indonesia. Terhadap hal ini, sejumlah anggota dimaksud meminta Indonesia untuk dapat memperbaiki dan mengubah ketentuan penerapan TKDN,” demikian resume sidang sebagaimana dkutip dari situs Direktoral Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan.
Kritikan juga disampaikan terkait kebijakan TKDN di sektor lainnya. “Secara keseluruhan, members mempertanyakan komitmen Indonesia dalam penggunaan local content requirements di sektor telekomunikasi, minerba, retail modern, etc karena pembahasan ini menjadi long standing examples tentang konsistensi untuk ketentuan TKDN berdasarkan WTO Agreement,” salah satu poin dalam resume sidang tersebut.
Dalam sidang, Pemerintah Indonesia menyampaikan tanggapan secara umum bahwa kewajiban pemenuhan TKDN merupakan upaya pemerintah untuk membangun industri nasional, melindungi dan melayani masyarakat Indonesia, perlindungan terhadap lingkungan hidup (pembatasan espropriasi sumber daya alam yang berlebihan), memastikan pelaksanaan ketertiban umum, memberikan added value bagi produk-produk Indonesia dan mendorong pertumbuhan industri kecil dan menengah.
“Dalam menyampaikan pandangan-pandangan tersebut, Delegasi Indonesia juga menyampaikan bahwa pelaksanaan kebijakan yang menjadi concerns sejumlah anggota tetap memperhatikan komitmen Indonesia kepada WTO. Selain itu, pembentukan sejumlah peraturan yang menjadi concern dari sejumlah anggota telah melalui konsultasi dengan pemangku kepentingan terkait guna memastikan acceptance dan sustainibility–nya,” demikian poin pembelaan pemerintah Indonesia sebagaima dikutip dari resume sidang.
(PHB/ASH)