Di tengah Ambisi Kepariwisataan Halal Indonesia Terselip Regulasi yang Belum Tuntas

Di tengah Ambisi Kepariwisataan Halal Indonesia Terselip Regulasi yang Belum Tuntas

Di tengah Ambisi Kepariwisataan Halal Indonesia Terselip Regulasi yang Belum Tuntas

Pengembangan wisata halal oleh pemerintah terus dijalankan. Mulai dari penyiapan peraturan perundang-undangan, aspek infrastruktur dan pendanaan. Namun, regulasi masih belum siap.

Salah satu tindakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam mendukung pengembangan kepariwisataan halal di Indonesia adalah penanaman modal asing dari Uni Emirat Arab (UAE) yang akan ikut merealisasikan kepariwisataan halal terutama di kawasan wisata Pulau Banyak, Aceh.

Dikutip dari Republika, Menteri Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, sedang menyusun detailnya untuk beberapa insentif dan izin yang mereka minta. Insya Allah November kami akan ke UAE jika memungkinkan,” kata Bahil dalam konferensi pers, Senin 23 Agustus lalu.

Terkait dengan investasi ini melibatkan lintas sektor kementerian seperti Kementerian Investasi/BKPM dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sehingga membutuhkan koordinasi yang sinergis untuk mengaktualisasikan rencana ini seperti dalam penandatanganan kerjasama di bidang penanaman modal sektor pariwisata dan ekonomi kreatif.

Meskipun telah dilakukannya rencana kerjasama dengan negara lain akan tetapi pariwisata halal belum diatur dalam peraturan perundang-undangan. Saat ini secara yuridis kepariwisataan halal ini merujuk pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (UU Kepariwisataan). 

Pariwisata diartikan sebagai Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah sebagaimana dinyatakan pada Pasal 1 angka 3.

Dalam definisi tersebut tidak dijelaskan secara eksplisit mengenai apa itu pariwisata halal. Akan tetapi jika diinterpretasikan secara gramatikal mengenai frasa ‘berbagai macam kegiatan wisata’ memiliki makna bahwa kegiatan pariwisata halal dapat diselenggarakan di Indonesia dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip syariah.

Menariknya, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada 2014 lalu mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyelenggaraan Usaha Hotel Syariah (Permen Usaha Hotel Syariah).

Menjadi catatan KlikLegal bahwa, Permen Usaha Hotel Syariah tidak mencakup keseluruhan aspek kepariwisataan halal sekalipun penyelenggaraan usaha hotel syariah merupakan bagian dari wisata halal, akan tetapi ini belum cukup.

Catatan lainnya adalah mengenai terminologi. Pariwisata halal belum dikenal dalam konstruksi hukum Indonesia. Terminologi kepariwisataan/wisata halal merujuk pada kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

Akan tetapi pada Nota Kesepahaman antara Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dengan Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Nomor NK.11/KS.001/W.PEK/2012, dan Nomor B–459/DSN-MUI/XII/2012 tentang Pengembangan dan Sosialisasi Pariwisata Syariah menggunakan terminologi Pariwisata Syariah dan bukan pariwisata halal.

Namun, kemudian pada tahun 2016 Permen Usaha Hotel Syariah ini dicabut dengan Peraturan Menteri Pariwisata Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pencabutan Atas Peraturan Menteri Pariwisata Dan Ekonomi Kreatif Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Pedoman Penyelenggaraan Usaha Hotel Syariah.

Secara praktis belum ada regulasi yang mengatur mengenai pariwisata halal ini.

Permen pencabutan ini kemudian disusul dengan Dewan Syariah Indonesia Majelis Ulama Indonesia DSN-MUI mengeluarkan Fatwa Nomor 108/DSN-MUI/X/2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pariwisata Berdasarkan Syariah yang mengatur mengenai aspek objek wisata, hotel dan biro perjalanan syariah. Namun fatwa ini bukan merupakan peraturan perundang-undangan di Indonesia.

Investasi Infrastruktur pendukung

Menurut Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Salahuddin Uno mengatakan, “Total investasi untuk kawasan wisata halal di Pulau Banyak diindikasikan bisa mencapai 700 dolar AS atau sekitar Rp 10 triliun. Investasi ini akan digunakan untuk pembangunan tempat penginapan, fasilitas pariwisata, dan pembangunan yang mendukung ekosistem pariwisata khususnya di Aceh. Termasuk bandara dan infrastruktur pendukung,” ujarnya.

Investasi UEA ini memang diprioritaskan untuk Pulau Banyak Aceh, akan tetapi untuk pengembangan wisata halal kedepannya akan dilakukan di daerah Sumatera Barat, Nusa Tenggara Barat, Riau dan Kalimantan.

Berdasarkan laporan dari Global Muslim Travel Index (GMTI) 2021 pada Juli 2021 melaporkan peringkat Indonesia dalam wisata halal pada posisi keempat di dunia.

“Berdasarkan laporan kami ada enam negara yang menempati posisi teratas. Mereka adalah Malaysia, Turki, Arab Saudi, Indonesia, Uni Emirat Arab (UEA), Qatar,” ungkap Founder dan CEO CrescentRating dan HalalTrip, Fazal Bahardeen, dalam peluncuran Mastercard-CrescentRating Global Muslim Travel Index (GMTI) 2021 sebagaimana dikutip dari Liputan 6. 

Posisi ini semakin memperkokoh Indonesia sebagai negara dengan tujuan kepariwisataan halal di Indonesia.

 

DAS

Dipromosikan