Dosen FHUI Dorong Pemerintah Segera Ciptakan Regulasi Perlindungan Data Pribadi

Jangka panjang membentuk undang-undang, sedangkan jangka pendek dibuat kepatuhan hukum terhadap peraturan menteri.

Ilustrasi Data Pribadi. Sumber Foto: http://wethedata.org.

Dosen hukum telematika atau cyber law Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Edmon Makarim mendorong agar pemerintah segera menciptakan regulasi perlindungan data pribadi.

“Saya rasa berdasarkan amanat konstitusi, perlindungan data pribadi (harus,-red) segera jadi untuk mengisi kekosongan,” ujar Edmon usai memaparkan penjelasannya dalam Seminar Nasional yang bertajuk “Perlindungan Data Elektronik” di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Depok (Selasa 25/4).

Edmon menilai seharusnya UU Perlindungan Data Pribadi dibuat sejak lama. “Nggak bisa ditolak bahwa perlindungan data pribadi harus ada UU-nya. Harusnya sejak kapam? Sejak dulu, logikanya harusnya itu. Kenapa? Karena mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, melindung segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah,” jelasnya.

Lebih lanjut, Edmon menjelaskan bahwa banyak orang yang lupa bahwa data pribadi merupakan sumber daya, selain pertambangan atau sumber daya alam lainnya. “Bayangkan kalau kalau semua perilaku kita, 250 juta warga negara Indonesia, maka semua orang akan dengan enak berdagang dengan kita. Habis di-profile bangsa kita,” ujarnya.

Edmon mengatakan dengan pertumbuhan internet, banyak orang yang semakin lupa dengan perlunya perlindungan data pribadi. Seseorang kerap meng-update setiap aktivitasnya di facebook, tanpa memahami bahwa data pribadinya bisa dimanfaatkan oleh orang lain.

Edmon menjelaskan ada perbedaan signifikan antara data pribadi dengan data perseorangan. Bila merujuk ke UU Administrasi Kependudukan, data pribadi adalah data perseorangan tertentu yang dilindungi kerahasiannya. Oleh karena itu, lingkup data ribadi lebih kecil dari data perseorangan. “Data perseorangan itu lebih luas,” ujarnya.

“Yang dijamin oleh UU Adminduk kerhasiannya adalah segelintir data itu saja,” tambahnya.

Ia mengatakan yang kerap menjadi pertanyaan adalah bagaimana data-data terkait yang di luar tercantum di dalam KTP. Padahal, itu adalah data kependudukan. “Kalau hal itu yang terjadi seakan-akan pemerintah leluas terhadap data setiap perseorangan kita tadi. Nah, pertanyaan sekarang, apa itu sesuai dengan Pancasila? Sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa. Siapa yang paling tahu? (seharusnya,-red) Tuhan, bukan pemerintah,” jelasnya.

Edmon menjelaskan seharusnya pemerintah hanya boleh mengetahui spesifik sektor yang berkaitan dengan urusan warga negaranya. “Nggak bisa pengen tahu semuanya. Apakah dengan dari pajak kemudian semua kartu kredit Saya akan ditelusuri kemana saja. Itu berlebihan tidak? Itu yang menjadi pertanyaan kita,” lanjutnya.

Lebih lanjut, Edmon menegaskan pandangannya ini bukan untuk menghasut, tetapi agar bisa dipikirkan karena telah menjadi permasalahan bersama. “Lalu bagaimana mekanisme perlindungan negara terhadap identitas tadi? Apakah itu tanggung jawab negara atau jangan-jangan tanggung jawab setiap orang,” tukasnya.

Oleh karena itu, Edmon menilai perlunya ada sebuah regulasi untuk mengatur perlindungan data pribadi tersebut. Bila membuat undang-undang dibutuhkan waktu yang panjang, ia menegaskan ada langkah jangka pendek yang bisa dilakukan oleh pemerintah.

“Jangka pendeknya, bikin kepatuhan hukum terhadap Permen Kominfo. Kominfo harus minta bahwa sertifikasinya harus ada. Dibikin itu divisi Trust Mark, segera ada profesi penunjang, maka terjadi penerapan hukum dari Permen (Peraturan Menteri,-red) tadi sambil pembentukan UU-nya berjalan,” pungkasnya.

(PHB/ASH)

Dipromosikan